Sabtu, 29 Juni 2013

Taklim Ahad Pagi 30 Juni 2023, Masjid Almanjilatul Khiriyah.

Pembahasan yang hanat adalah tentang Hadiah,.. suatu yang dihalalkan oleh agama kemudian diharamkan oleh negara,?
Mana yang harus diikuti ?

PERTANYAAN:
Saudara saya seorang pejabat ketika menikahkan anaknya,  mendapatkan sumbangan dari saudara, kerabatnya dan coleganya dengang jumlah yang sangat besar,  apakah harus menyershkan ke KPK, bagaimana hukumnya?
Terima kasih.

Gratifikasi dan Hadiah Proyek

Terciptanya hubungan yang harmonis antara seluruh anggota masyarakat adalah harapan setiap muslim, tanpa terkecuali Anda. Yang demikian itu karena Anda menyadari bahwa hubungan yang harmonis merupakan sumber kejayaan umat. Sebaliknya perpecahan adalah awal dari kehancuran setiap umat. Allah berfirman, yang artinya,

وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَتَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal: 46)

Karena itulah, wajar bila dalam syariat diajarkan berbagai kiat untuk merajut persatuan. Di antara kiat manjur untuk menyuburkan kasih sayang antara dua insan adalah saling memberi hadiah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Hendaknya kalian saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada. Janganlah seorang wanita meremehkan arti suatu hadiah yang ia berikan kepada tetangganya, walau hanya  berupa kikil (kaki) kambing."  (HR. At-Tirmidzi)

Dengan jelas hadis ini, menggambarkan fungsi hadiah dalam Syariat Islam. Anjuran saling memberi hadiah bertujuan mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis segala bentuk jurang pemisah antara duapemberi dan penerima hadiah.

Hadiah Pejabat
Dengan mencermati dalil di atas dan juga lainnya dapat disimpulkan bahwa konsep memberi hadiah dalam Syariat Islam benar-benar karena latar belakang sosial, tanpa ada embel-embel komersial sedikit pun. Makna inilah yang secara tegas dinyatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadisnya tentang fungsi hadiah yang benar-benar hadiah:

"Hendaknya kalian saling bertukar hadiah agar kalian saling mencintai." (Bukhari dalam kitab Adab Mufrad)

Mungkin inilah alasan mengapa hadiah tidak pernah singgah ke rumah orang yang tak berpangkat dan miskin walaupun dia adalah orang yang patuh beragama. Namun sebaliknya, hadiah dengan berbagai jenisnya senantiasa membanjiri orang yang berpangkat atau kaya walau buruk agamanya.

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melimpahkan tugas kepada seorang lelaki untuk memungut sedekah. Dalam menjalankan tugasnya, ternyata utusan itu menerima hadiah dari penyetor zakat. Seusai dari tugasnya lelaki tersebut berkata: "Wahai Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serakan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan." Menanggapi sikap utusan tersebut tersebut, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda,

"Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah: adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?" Selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah: Amma ba'du: Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas, lalu ketika pulang, ia berkata: "Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku? Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat, adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seorang dari kalian yang mengambil  sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari kiyamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor onta maka dia membawa ontanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini." (Muttafaqun 'alaih)

Pada hadis ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  meletakkan standar yang jelas dalam hal hadiah yang Anda terima. Hadiah yang Anda terima karena peran atau jabatan yang Anda pangku, hakikatnya adalah gratifikasi dan tentu hukumnya haram.

Pada hadis ini, Nabi  shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum Anda menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelah menjalankan tugas Anda. Karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan, "Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?"

Pada hadis lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menekankan ketentuan ini melalui sabdanya,
"Hadiah para pejabat adalah korupsi." (HR. Ahmad dan lainnya)

Hadis ini, selain menekankan pemahaman di atas, juga menjelaskan bahwa segala bentuk hadiah, baik yang berupa barang, uang, atau lainnya, statusnya dianggap sebagai suap. Sebagaimana hadiah pejabat dianggap sebagai gratifikasi walaupun pejabat terkait menjalankan tugasnya secara profesional dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ketentuan gratifikasi secara syariat ini tentu lebih luas dari ketentuan yang ada dalam pasal 5 UU no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada undang-undang tersebut suatu hadiah hanya dianggap sebagai gratifikasi bila dengan maksud, supaya pegawai terkait melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau hadiah tersebut diberikan terkait dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban. Baik kewajiban itu dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Bila Anda renungkan, maka Anda pasti merasakan bahwa Syariat Islam dalam urusan gratifikasi lebih tegas dan lebih jelas. Dengan pemahaman gratifikasi secara syariah, maka segala celah praktik gratifikasi dapat dicegah dan ditanggulangi. Sedangkan undang-undang no 20 tahun 2001 masih menyisakan celah sangat lebar bagi pemberian gartifikasi. Pada undang-undang tersebut suatu hadiah dianggap sebagai gratifikasi bila dengan maksud buruk yaitu agar penerima hadiah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya.

Hak Pejabat
Sebagai masyarakat, tentu Anda merasa berutang budi ketika mendapatkan layanan dari seorang pejabat. Baik layanan tersebut berkaitan dengan proyek Anda atau urusan pribadi lainnya. Dan biasanya Anda ingin mengungkapkan rasa terimakasih Anda kepada pejabat tersebut dengan memberikan hadiah kepadanya. Sebagaimana pejabat terkait sering kali juga merasa telah berjasa kepada Anda yang telah mendapatkan layanannya, kerenanya ia merasa berhak untuk mendapatkan balas budi atas jasanya tersebut.

Apa yang Anda rasakan dan yang dirasakan oleh pejabat terkait, walaupun itu adalah suara batin banyak orang atau bahkan setiap orang, namun sejatinya itu tidak pada tempatnya. Betapa tidak, pejabat terkait telah mendapatkan imbalan atas pekerjaannya tersebut, berupa gaji yang diberikan oleh instansi atau perusahaan tempat dia bekerja. Dengan demikian sejatinya ia tidak berhak untuk mengambil imbalan selain yang telah ia sepakati dengan instansi atau perusahaan tempat dia bekerja.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  menjelaskan fakta ini dalam sabdanya,
"Barang siapa yang kami limpahi tugas atas suatu pekerjaaan, hendaknya ia menyerahkan semua yang ia peroleh, sedikit ataupun banyak. Selanjutnya imbalan apapun yang (kami) berikan kepadanya atas pekerjannya itu, silahkan ia ambil. Sedangkan  segala yang ia dilarang darinya hendaknya ia tidak mengambilnya."  (HR. Muslim)

Adanya hadiah yang diberikan kepada pejabat sebagai wujud terima kasih atas layanannya, dapat dipastikan menjadi biang hilangnya amanah dan keadilan, sebagaimana yang kita rasakan di negeri kita tercinta ini. Karena itu guna menegakkan keadilan di tengah masyarakat, Islam mengharamkan segala bentuk hadiah yang diberikan kepada pejabat.

Dosa Penyuap
Sebagai rakyat atau orang yang tidak memangku jabatan, mungkin Anda berkata, dosa suap hanyalah dipikul oleh pejabat yang menerimanya, sedangkan pemberi suap dapat melenggang kangkung karena bebas dari jerat dosa suap.

Saudaraku! Persangkaan Anda di atas ternyata tidak benar. Sebagai buktinya simaklah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  berikut,
"Semoga laknat Allah menimpa penyuap dan penerima suap." (HR. Ibnu Majah).

Karena itu, status Anda sebagai penyuap dan mereka yang disuap sama. Posisi Anda sama-sama dilaknat.

- – - -  – - – -   – - – -  – - – -  – - – -   – - – - – - – -  – - – -   – - – - – - -
Keterangan di atas adalah cuplikan artikel tentang gadai emas syariah yang ditulis oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi di majalah Pengusaha Muslim edisi 27.

Tema menarik lainnya yang dikupas di majalah Pengusaha Muslim edisi 27 adalah

Korupsi yang Tidak Anda Sadari, oleh Dr. Erwandi Tarmudzi.
Artikel ini mengupas beberapa pelanggaran yang TIDAK dianggap korupsi oleh umumnya masyarakat. Salah satunya, menggunakan mobil plat merah dan fasilitas kantor lainnya, untuk selain kepentingan dinas

Korupsi Tidak Sama dengan Mencuri, oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi
Apa beda ketiga hal itu? Apa hakikat hadiah sebenarnya? Bagaimana status hadiah bagi pegawai/pejabat? Apa saja hak pegawai?  Semuanya ada di artikel ini.

Cara Taubat Koruptor dan Penerima Suap, oleh Ammi Nur Baits
Artikel ini sejatinya adalah sinopsis dari berbagai fatwa ulama kontemporer seputar hadiah, suap, dan korupsi. Bagaimana dia disuap tanpa berharap? Bolehkah hasil suap diberikan ke orang miskin?  Bagaimana cara taubat dari suap? Semuanya ada di sini.

Zakat Profesi bagi Pegawai, oleh Muhammad Yasir, Lc.
Menjelaskan kesalah-pahaman sekelompok masyarakat yang menganjurkan zakat profesi. Bagaimana solusi jika instansi mewajibkan? Dan cara perhitungan zakat pegawai yang benar.

Suap yang Dibolehkan, oleh Muhammad Wasitho, Lc.
Ternyata ada suap yang dibolehkan, tapi… ada syaratnya! Temukan jawabannya..

Jumat, 28 Juni 2013

Khotbah Jum'at, Sudahkah Anda Mempersiapkan Ilmu Sebelum Ramadhan .?

Puasa punya keutamaan yang besar. Bulan Ramadhan pun demikian adalah bulan yang penuh kemuliaan. Maka tentu saja untuk memasuki bulan yang mulia ini dan ingin menjalani kewajiban puasa, hendaklah kita punya persiapan yang matang. Persiapan yang utama yang mesti ada adalah persiapan ilmu. Karena orang yang beribadah pada Allah tanpa didasari ilmu, maka tentu ibadahnya bisa jadi sia-sia. Sebagaimana ketika ada yang mau bersafar ke Jakarta lalu tak tahu arah yang mesti ditempuh, tentu ia bisa 'nyasar' dan tersesat. Ujuk-ujuk sampai di tujuan, bisa jadi malah ia menghilang tak tahu ke mana. Demikian pula dalam beramal, seorang muslim mestilah mempersiapkan ilmu terlebih dahulu sebelum bertindak. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, العامل بلا علم كالسائر بلا دليل ومعلوم ان عطب مثل هذا اقرب من سلامته وان قدر سلامته اتفاقا نادرا فهو غير محمود بل مذموم عند العقلاء "Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang berjalan tanpa penuntun tadi akan mendapatkan kesulitan dan sulit bisa selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan." Guru dari Ibnul Qayyim yaitu Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, من فارق الدليل ضل السبيل ولا دليل إلا بما جاء به الرسول "Siapa yang terpisah dari penuntun jalannya, maka tentu ia bisa tersesat. Tidak ada penuntun yang terbaik bagi kita selain dengan mengikuti ajaran Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam-." (Lihat Miftah Daris Sa'adah, 1: 299) 'Umar bin 'Abdul 'Aziz juga pernah berkata, مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ "Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia perbuatan lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh." (Majmu' Al Fatawa, 2: 282) Juga amalan yang bisa diterima hanyalah dari orang yang bertakwa. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala, إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ "Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al Maidah: 27). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Tafsiran yang paling bagus mengenai ayat ini bahwasanya amalan yang diterima hanyalah dari orang yang bertakwa. Yang disebut bertakwa adalah bila beramal karena mengharap wajah Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentu saja ini perlu didasari dengan ilmu." (Miftah Daris Sa'adah, 1: 299) Ulama hadits terkemuka, yakni Imam Bukhari membuat bab dalam kitab shahihnya "Al 'Ilmu Qoblal Qouli Wal 'Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)". Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah Ta'ala, فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ "Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu" (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan. Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1: 108) Mengapa kita mesti belajar sebelum beramal? Karena menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah no. 224, dari Anas bin Malik. Hadits ini hasan karena berbagai penguatnya. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Hadits ini diriwayatkan dari beberapa sahabat di antaranya Anas bin Malik, 'Abdullah bin Mas'ud, Abu Sa'id Al Khudri, Ibnu 'Abbas, Ibnu 'Umar, 'Ali bin Abi Tholib, dan Jabir. Lihat catatan kaki Jaami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlihi, 1: 69) Ilmu apa saja yang mesti disiapkan sebelum puasa? Yang utama adalah ilmu yang bisa membuat puasa kita sah, yang bila tidak dipahami bisa jadi ada kewajiban yang kita tinggalkan atau larangan yang kita terjang. Lalu dilengkapi dengan ilmu yang membuat puasa kita semakin sempurna. Juga bisa ditambahkan dengan ilmu mengenai amalan-amalan utama di bulan Ramadhan, ilmu tentang zakat, juga mengenai aktifitas sebagian kaum muslimin menjelang dan saat Idul Fithri, juga setelahnya. Semoga dengan mempelajarinya, bulan Ramadhan kita menjadi lebih berkah. Semoga Allah memudahkan kita dalam meraih ilmu sebelum memasuki Gunungkidul, Malam Sabtu, 20 Sya'ban 1434 H. Dari Artikel Rumaysho.Com

Kamis, 27 Juni 2013

Keutamaan Shalat Jumat

471. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang mandi Jumat seperti mandi junub kemudian berangkat (ke masjid), maka seolah-olah ia berkurban unta. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang kedua, maka seolah-olah ia berkurban lembu. Barangsiapa yang berangkat pada saat ketiga, maka seolah-olah ia berkurban kibas yang bertanduk. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang keempat, maka seolah-olah ia berkurban ayam. Dan, barangsiapa yang berangkat pada saat kelima, maka seolah-olah ia berkurban telur. Apabila imam keluar (naik mimbar), maka para malaikat mendengarkan khutbah."
(HR Buhari.)

Keutamaan Mandi Pada Hari Jumat, dan Apakah...

Keutamaan Mandi Pada Hari Jumat, dan Apakah Anak-Anak atau Wanita Wajib Menghadiri Shalat Jumat?

468. Abdullah bin Umar r.a. berkata (dan dari jalan lain darinya, berkata, "Saya mendengar 1/215) Rasulullah (berkhutbah di atas mimbar, lalu 1/220) bersabda, "Jika seseorang dari kamu mendatangi shalat Jumat, maka hendaklah ia mandi."

469. Ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa Umar ibnul-Khaththab ketika sedang berdiri khutbah Jumat tiba-tiba masuklah seorang laki-laki dari golongan kaum Muhajirin Awwalin[2] (yakni orang-orang yang ikut berpindah dari Mekah ke Madinah dan yang terdahulu masuk Islam) dari sahabat Nabi saw.. Lalu, Umar berseru kepadanya, "Saat apakah ini?" Orang itu menjawab, "Aku disibukkan oleh suatu hal, maka tiada kesempatan bagiku untuk pulang kepada keluargaku, sehingga aku mendengar suara azan. Oleh sebab itu, aku tidak dapat berbuat lebih dari pada berwudhu saja." Umar berkata, "Juga hanya berwudhu saja, padahal Anda tentu mengetahui bahwa Rasulullah menyuruh mandi?"

Catatan Kaki:

[2] Orang ini adalah Utsman bin Affan r.a. sebagaimana yang akan dijelaskan pada catatan kaki pada hadits nomor 472.

Rabu, 26 Juni 2013

Islam menjawab kegelisahanku..


Islam Menjawab Kegelisahanku

Aku ingin berbagi mengenai kisah perjalanan keislamanku, mengapa aku memilih Islam sebagai agamaku.

Di dunia ini terdapat banyak agama dan sebelum aku memeluk Islam, aku benar-benar merasakan dilemma antara Kristen dan Islam. Aku memiliki sebuah Bible (seseorang memaksaku untuk membacanya), ketika aku membacanya, masya Allah segalanya berkaitan dan sama dengan buku 25 Rasul yang aku baca ketika berumur 10 tahun. Teman-temanku mengatakan bahwa Kristen adalah agama yang berasal dari Allah, sama halnya dengan Islam, meskipun orang-orang Islam tidak mengikuti ajaran Krsiten karena menurut orang Islam Bible telah mengalami perubahan yang radikal. Betapa banyak orang-orang yang mengajakku menerima keyakinan Kristen, namun entahlah tidak terbesit dalam pikiranku untuk menerima sepatah kata pun dari mereka. Islam telah menyelami hati dan memenuhi pikiranku.

Akhirnya, ketika ada seseorang mendakwahiku melalui Skype, dengan tema "Mengapa aku memilih Islam?" ternyata jawabannya sangat sederhana.

Sebagai seorang non-muslim, aku tidak mencintai dunia ini. Aku sangat meyakini bahwa ketika aku mati, aku tidak akan membawa sesuatu pun di kuburanku: popularitas, kekayaan, bahkan keluarga, semuanya tidak akan kubawa bersamaku.

Aku terus bertanya pada diriku, bertanya tentang apa tujuan aku diciptakan? Apakah Tuhan hanya menyalurkan kesenagannya dengan menciptakanku? Mengapa terkadang aku merasa bahagia dan memiliki kehidupan yang menyenangkan dan terkadang aku merasa sedih dan merasakan getir dan pahitnya kehidupan? Apa hikmah dari ini semua?

Islam menjawab semua pertanyaanku tersebut dengan jawaban yang benar-benar logis dan bisa diterima.

- Percaya hanya kepada satu pencipta.

- Tidak ada sesuatu pun yang sebanding dengan-Nya.

- Dia-lah penguasa alam gaib.

- Dia mengutus para rasul agar manusia paham apa yang Dia inginkan.

Jika kalian bertanya, apakah aku mecintai Allah sebelum atau di awal-awal aku masuk Islam? Maka jawabku, aku tidak mencintai Allah pada saat itu.

Aku tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah satu-satunya yang menciptakan alam semesta dan tidak ada sekutu bagi-Nya, meski demikian rasa cintaku pada-Nya belum muncul. Cinta memang membuthkan waktu untuk bersemi.

Rasa cinta itu datang setelah suatu keajaiban terjadi dalam hidupku. Setelah beberapa bulan, pengetahuanku tentang Allah kian bertambah, semakin aku mempelajari-Nya, maka semakin aku mencintai-Nya.

Ketika rasa cinta itu telah muncul, secara otomatis aku langsung menaati-Nya tanpa ada rasa terpaksa sedikit pun. Aku merasakan kebahagiaan dan kegembiraan dalam beribadah kepada-Nya sesuai dengan petunjuk Alquran dan sunah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Alquran bahwa orang-orang yang menaati-Nya dan mengikuti sunah nabi-Nya akan merasakan kebahagian di kehidupan akhirat. Insya Allah, itulah tujuan hidupku sekarang, dan aku pun paham tujuan penciptaanku.

Aku diciptakan dengan tujuan "belajar" lalu menghadapi hisab amalku di hari kiamat. Apabila aku berhasil, maka insya Allah aku masuk ke dalam surga. Namun apabila gagal, maka aku pantas menemani setan di dalam neraka. Inilah alasan mengapa kita harus menaati Allah, agar kita bisa terhindar dari neraka. Alasan Allah menciptakan kita hanya satu, yaitu untuk beribadah kepada-Nya.

Berikut ini aku sampaikan kepada mereka yang masih ragu untuk memeluk Islam dengan berbagai alasan mereka. Islam bukanlah sebuah tradisi budaya tapi Islam adalah jalan hidup dan bagaimana seharusnya kita hidup di dunia berdasarkan tuntunan dan aturan yang menciptakan alam semesta ini.

Contohnya: ibumu akan selalu membimbingmu, selalu mengatakan "lakukanlah itu" atau "jangan lakukan itu" karena ibumulah yang melahirkanmu, ia mencintaimu. Sama halnya dengan Allah yang menciptakan alam semesta, memerintahkanmu melakukan sesuatu atau melarangmu untuk melakukan sesuatu di dalam Alquran.

Pertanyaanku: kalian bisa mencintai wanita yang melahirkan kalian, akan tetapi mengapa kalian tidak mampu mencintai Allah yang menciptakan kalian?

Oleh Dr. Raghib as-Sirjani

Artikel www.KisahMuslim.com

Terkirim dari Samsung Mobile

Senin, 24 Juni 2013

MARHABAN YA RAMADHAN

Tidak terasa, hari berganti  minggu, minggu berganti bulan, kini pada tahun l434 H kita kembali menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan Marhaban Ya Ramadhan.
            Membalik lembaran sejarah, suatu ketika seorang sahabat bernama Abu Usamah Radhiallahuanhu bertanya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam menjawab : “Alaika bishshiami. la mitsla lahu”. Berpuasalah engkau, tak ada ibadah seumpamanya. (HR Annasai,Ibnu Hibban dan Al Hakim dengan sanad yang shahih}. Itu puasa dihari-hari biasa, apalagi berpuasa di bulan Ramadhan. Merugilah orang yang tak mau memanfaatkan bulan Ramadhan yang penuh dengan rahmat dan maghfirah Allah Subhana wa ta'ala ini.
            Jika diperhatikan bunyi ayat Al-Quran Surah Al-Baqarah 183 terdapat keistimewaan perintah berpuasa ini. Penyerunya tersembunyi. ”Ya ayyuhalladzina amanu kutiba ‘alaikumushshiyamu kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum la’allakum tattaqun “.
            Seruan puasa itu ditujukan kepada orang-orang yang beriman, percaya, yakin terhadap keberadaan Allah yang ghaib. Sadar bahwa ia dijadikan Allah adalah untuk mengabdi kepadaNya. Tapi  dalam ayat ini tidak nyata disebut Allah  disana. “ Kutiba ‘alaikum “, diwajibkan atas kamu. Redaksi ini tidak menunjukkan siapa pelaku yang mewajibkan. Agaknya kata Prof Dr Quraish Shihab dalam Al—Mishbah hal ini untuk mengisyaratkan bahwa puasa itu sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang dan kelompok sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia itu sendiri  yang akan mewajibkannya atas dirinya
            Muslim meriwayatkan sebuah hadis berasal dari Abu Hurairah, suatu ketika tatkala naik ke mimbar untuk berkhutbah,Nabi mengatakan : Amin, amin… Abu  Hurairah heran, lalu bertanya kenapa Nabi bercakap sendirian mengatakan Amin. Rupanya Nabi Shalallahu alaihi wassalam   sedang didatangi Malaikat  Jibril yang mengatakan : Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan, sedangkan dia tidak mendapat ampunan Allah Subhana wa ta’ala, maka kemungkinan dia akan masuk ke neraka,  semakin jauh dari ( rahmat )  Allah Subhana wa ta’ala.

 Selalu Terdorong Berbuat Kebajikan
            Dalam terminologi Islam, melaksanakan puasa ditinjau dari aspek akidah menunjukkan keimanan yang kuat, dari segi ibadah melaksanakan puasa merupakan bentuk ketaatan kepada  Allah, mencari ridhaNya. Dipandang dari sudut akhlak puasa menghaluskan budi pekerti , menanamkan disiplin waktu, kejujuran, kesabaran, dsb. Dari aspek muamalah menumbuhkan dan meningkatkan kepedulian sosial dengan berinfak, bersedekah, mengeluarkan zakat yang lebih besar pahalanya di bulan Ramadhan.
            Begitu beragamnya manfaat puasa itu, tidak habis untuk dibahas, sebagai siraman rohani bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah puasa.
            Suatu kenyataan di tengah-tengah masyarakat, bila bulan Ramahan tiba, selalu oramg terdorong berbuat berbagai  kebajikan.. Siangnya  berpuasa serta menjaga diri dari memperturutkan hawa nafsu, menjaga diri dari hal-hal  yang membatalkan puasa. Lalu pada malam harinya  beribadah, qiyamullail, mengerjakan sholat Tarawih ,tadarus Al-Quran, dsb dalam ragka untuk mendapatkan maghfirah dari Allah Sebhana wa ta'ala.
            Adakah keuntungan yang lebih besar daripada menerima maghfirah dan diselamatkan dari api neraka. Jawabnya tentu tidak ada, sebab rahmat yang diberikan Allah dalam menerima amal ikhlas kita, dengan balasan surga, justru merupakan dambaan setiap muslim dan mukmin di mana saja ia berada. Nabi  Shalallahu alaihi wassalam bersabda :”Man shoma Ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min  zambihi. Barangsiapa yang melaksanakan puasa karena iman dan ikhlas, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu Dalam hadis lainnya disebutkan “ Wa man qoma Ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min zanbihi”. Dan barangsiapa yang mengerjalan puasa dan sholat Tarawih pada bulan Ramadhan karena iman dan ikhlas, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. ( HR Bukhari-Muslim ).
Dalam hubungan  melaksanakan sholat Tarawih hendaknya dihidupkan semangat toleransi  dalam melaksanakannya. Tak perlu dipertentangkan antara 11 rakaat disertai witir sebagaimana dikerjakan Nabi Shalallahu alaihi wassalam sesuai hadis Aisyah yang diriwayatkan Bukhari Muslim, dengan 23 rakaat sejak zaman khalifah Umar bin Khattab. Bahkan 39 rakaat dizaman  khalifah  Umar bin Abdul Aziz.
Ulama kontemporer Saudi Arabia yang dikenal keras terhadap bid’ah, seperti Muhammad  bin Shaleh Ibnu Utsaimin dalam Al Jawahir Fi Khutabil Manabir menandaskan khilafiah itu tak perlu diperuncing. Maksudnya sikapi sajalah dengan toleransi.  Katanya yang perlu diperhatikan jika jumlah rokaatnya banyak jangan sholatnya dilaksanakan terburu-buru, sehingga tak tentu lagi thomakninahnya. Dan hilang pula makna kesempurnaan shalat itu. Karena itu muliakanlah Allah ketika membacanya serta aplikasikan maknanya dengan amal kebajikan.
Merupakan ibadah sirri.
Berbeda dengan ibadah lainnya seperti sholat, zakat dan haji yang pelaksaannnya zahirnya dapat dilihat oleh manusia, puasa merupakan ibadah “ sirri “, sehingga terjauh  dari  sifat  “riya”. Hanya ia sendiri yang paling tahu benarnya ia berpuasa karena taat kepada Allah Subhana wa ta’ala. Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan   “ Tiap-tiap amal Bani Adam  (manusia) untuknya kecuali puasa. Sebab ia puasa untukKu dan Aku akan memberi pahalanya. Dia tidak makan dan tidak berhubungan dengan isterinya karena menuruti perintahKu. (Hadis diriwayatkan Bukhari-Muslim). Itulah keistimewaan ibadah puasa, seruan bagi orang mukmin guna meraih ketaqwaan kepada Allah, karena  berhasil memerangi hawa nafsu. Meraih ketaqwaan inilah faktor penting yang membedakan puasa seorang   mukmin   dari    puasa   umat-umat   terdahulu    dan    penganut   non    muslim.
Ada yang berpuasa bukan karena Allah, tapi karena pengabdian buat berhalanya, karena takut terhadap kemarahan patung-patung sembahannya, menghormati bulan , bintang, atau berpuasa dengan cara yang berbeda dengan umat Islam. Tak ada kewajiban puasa untuk orang yang sakit, uzur, ketika musafir, perintah puasa itu luwes penuh kemudahan, sesuai dengan  aturan Al-Quran  dan tuntunan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam Ramadhan jangan diartikan sebagai bulan penebus dosa, atau suatu ketaatan  penuh yang hanya bersifat musiman. Sebab ketaqwaan, ketataan kepada Allah yang diperoleh pada bulan suci ini harus membias sepanjang kehidupan kaum muslimin guna memperoleh kebahagiaan di dunia dan  di akhirat.
Di sisi lain, mari kita manfaatkan bulan Ramadhan ini sebagai momentum meningkatkan jalinan silaturahmi antara sesama muslim, misalnya dengan mengadakan kegiatan berbuka puasa bersama, kunjungan dakwah ke pelosok-pelosok daerah sambil mmberikan bantuan kepada kaum dhuafa ,dsb. Sekali lagi  Marhaban Ya Ramadhan. Semoga dengan melaksanakan ibadah puasa keimanan dan ketaqwaan kita meningkat. Amin.***

Oleh :Drs  H.Syariful Mahya Bandar. MAP     



Minggu, 23 Juni 2013

Malam Nisfu Sya’ban,

Malam Nisfu Sya’ban, Sunnahkah.....?

Hari Sabtu tanggal 23 Juni 2012, atau tepatnya malam nisfu sya’ban. Banyak umat muslim melakukan ibadah ibadah khusus, seperti shalat 12 rakaat antara Maghrib dan isya ada juga yang melkukan shalat khusus 100 rakaat dimalah hari dan ibadah ibadah lainnya, serta pengususan pada hari itu untuk memohon maaf dari kerabat-kerabat mereka baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Semua itu meraka lakukan karena kekurang pahaman akan ilmu agamanya, mereka begitu saja mernerima hadist-hadist yang lemah yang disampaikan oleh ustad-ustad mereka bahkan haduits yang maudhu/palsu mereka sampaikan sebagai dasar dalam melakukan ibadah ibadah tersebut. Padahal para ulama telah sepakat tentang haramnya melakukan ibadah berdasarkan hadits lemah atau maudhu tesebut.

Sebagaimana  ditulis oleh Al-'Allaamah Syaukani dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu'ah, bahwa sebagian dari mereka melakukan amalan bid’ah mereka berlandaskan Hadits berikut:
"Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya... dan seterusnya."

Hadits ini adalah maudhu', pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu' dan perawi-perawinya majhul.

Dalam kitab "Al Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu 'anhu: Jika datang malam Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas rakaat ... dan seterusnya adalah maudhu' (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Dan masih banyak lagi ulama ulama sunnah yang menjelaskan tentang bid’ahnya mengkhuskan amalan amalan pada malam nisfu syaban,
Demikian semoga hal ini bisa menjadi pegangan bagi kita dalam melaksanakan amalan amalan agama dengan benar al Qur’an dan hadist-hadits yang sahih sesuai dengan  manhaj para salufush sholih.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.

Jakarta, 15 Sya’ban 1434

Abu Afifah, 

Kamis, 06 Juni 2013

Membangun Masjid di Muka Bumi....

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barangsiapa yang Allah sesatkan, tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Membangun masjid, memakmurkan dan menyediakan untuk orang-orang shalat termasuk amal  yang  utama. Allah akan memberikan kepadanya pahala nan agung. Ia termasuk shadaqah jariyah yang pahalanya berlanjut hingga seseorang telah meninggal dunia.
Allah berfirman:
 إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ  (سورة التوبة: 18)
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS At-Taubah: 18)
Nabi  sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ  (رواه البخاري، رقم 450،  ومسلم، رقم 533، من حديث عثمان رضي الله عنه)
“Barangsiapa yang membangun masjid, maka Allah akan bangunkan baginya semisalnya di surga.” (HR. Bukhari, 450 dan Muslim, 533 dari Hadits Utsman radhiallahu’anhu)
Diriwayatkan Ibnu Majah, 738 dari Jabir bin Abdullah radhiallahu’anhuma sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam bersabda:
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ ، أوْ أَصْغَرَ ، بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ 
“Barangsiapa membangun masjid karena Allah sebesar sarang burung atau lebih kecil. Maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (Dishahihkan oleh Al-Albany)
Al-Qutho adalah jenis burung yang sudah dikenal. ‘Mafhasu al-qotho adalah sarang untuk bertelur di dalamnya. Dikhususkan burung semprit (kecil bentuknya) dengan (penyerupaan) ini karena ia tidak bertelur di pohon juga tidak di puncak gunung, akan tetapi ia membuat di dataran tanah, berbeda dengan burung-burung lainya. Oleh karena itu diserupakan dengan masjid, silahkan melihat kehidupan burung karangan Ad-Dumairy.

Ahli ilmu mengatakan, hal ini sebutkan untuk mubalaghoh (ukura terkecil), maksudnya meskipun masjid sampai ukuran sekecil ini. Dan barangsiapa yang ikut serta dalam pembangunan masjid, maka dia akan mendapatkan pahala sesuai dengan keikutsertaannya, dan dia mendapatkan pahala lain yaitu membantu orang lain dalam kebaikan dan ketaakwaan.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya: “Dua orang atau tiga orang atau lebih, bekerja sama dalam membangun masjid. Apakah masing-masing di antara mereka dicatat pahala membangun masjid atau kurang dari (membangun masjid) itu? Beliau menjawab: “Apakah anda telah membaca surat “idza zulzilat’ Apa yang Allak firmankan di akhir ayat?

Penanya: “Faman ya’mal mitsqala dzarrotin khairan yarah” (Dan barangsiapa yang melakukan (kebaikan) sebesar dzarrah (atom), maka dia akan melihatnya). (QS. Az-Zalzalah: 7)
Syekh: “Faman ya’mal .. Al-Ayat  (Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (QS. Az-Zalzalah: 7-8)

Masing-masing akan mendapatkan pahala apa yang dikerjakan. Bahkan dia mendapatkan pahala kedua dari sisi lain, yaitu bekerja sama terhadap kebaikan. Karena jika mereka tidak bekerjasama,  masing-masing hanya dapat melakukan sedikt, maka tidak akan berdiri bangunan. Maka kami katakan, dia mendapatkan pahala pekerjaannya dan mendapatkan pahala membantu dan melengkapi. Contoh hal seperti itu, seseorang menginfakkan seratus real shadaqah, dia akan mendapatkan pahalanya. Jika dia menginfakkan seratus real untuk membangun masjid, maka infak tersebut memberikan manfaat dari dua sisi; Pertama pahala perbuatan, yaitu pahala dari uang tersebut. Kedua, (pahala) membantu sampai menjadi masjid. Akan tetapi kalau ada menyumbangkan untuk masjid dua puluh ribu, dan yang lain  (menymbang) dua pulu real, maka kita tidak mungkin mengatakan, mereka sama (pahalanya), dan masing-masing sama mendapatkan pahala membangun secara sempurna. Hal ini tidak mungkin.

Lihatlah wahai saudaraku! Pahala sesuai dengan amalan. Kami katakan: “(Orang) ini mendapatkan pahala amalan sesuai dengan apa yang diinfakkan dan mendapatkan pahala saling membantu untuk mendirikan masjid. (Liqa Al-bab Al-Maftuh, 21/230)

Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya: ”Kalau seseorang menyumbangkan sejumlah uang untuk dirinya dan keluarganya untuk membangun masjid bersama sekelompok orang, apakah hal itu termasuk shodaqah jariyah bagi setiap masing-masing?

Mereka menjawab: ”Shadaqah harta atau ikut serta dalam membangun masjid termasuk shadaqah jariyah bagi orang yang bershadaqah atau untuk orang yang dia niatkan, jika niatnya baik dan sumber hartanya dari penghasilan yang baik.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 6/237)

Jika saudara anda ikut serta menyumbangkan tanah atau membangun masjid, maka semuanya mendapat pahala dan balasan. Pertanyaan ini bercabang dengan pertanyaan lainnya, yaitu mana yang lebih utama membangunmasjid kecil atau ikut serta dalam (membangun) masjid besar?

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mempunyai fatwa seputar ini, kami sertakan disini untuk mendapatkan faedah.

Beliau rahimahullah ditanya: ”Kalau sekiranya sebagian orang berkeinginan untuk membangun masjid dengan sejumlah uang. Manakah yang lebih utama, apakah ikut serta bersama orang lain dalam membangun masjid besar, sehingga nantinya tidak perlu lagi direnovasi atau diperluas apabila penduduknya semakin bertambah. Atau membangun masjid kecil tanpa mengikutsertakan  seorang  pun juga?

Beliau menjawab:
“Yang terbaik adalah yang pertama, karena jika bangunannya kecil, terkadang di sekitarnya penduduk yang asalnya sedikit, kemudian bertambah, akhirnya bangunannya diruntuh dan dibangun kedua kali. Akan tetapi jika penduduk di sekitar masjid kecil lebih mendesak kebutuhannya dibandingkan dengan penduduk di sekitar masjid besar, maka mereka lebih utama dipenuhi kebutuhannya. Akan tetapi kalau kondisinya sama, keikutsertaan dalam membangun masjid besar lebih utama, karena (hal itu) lebih terjamin.

Maka, masalah perlu dirinci, apabila penduduk di sekitar masjid kecil sangat membutuhkan masjid itu dihancurkan, lalu dibangun lagi, maka hal itu lebih utama dibandingkan berpartisipasi membangun masjid besar. Akan tetapi, jika mereka tidak terlalu membutuhkan atau kebutuhannya sama-sama mendesak, maka partisipasi dalam membangun masjid besar lebih utama.” (Al-Liqa As-Syahri, 24/18)

Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ‘Mafhasu qutha’ dipahami secara zahir (tekstual). Maka maksudnya maksudnya adalah kalau ada sekelompok orang ikut serta dalam membangun masjid, dan   masing-masing mereka ambil bagian (sebesar) sarang burung semprit. Maka Allah akan bangunkan rumah baginya di surga. Dan keutamaan Allah Ta’ala itu luas.

Silahkan lihat kitab ‘Fathul Bari’ penjelasan hadits no. 450.
Wallallahu’alam .