Sabtu, 24 Agustus 2013

Mengapa Harus Belajar Tauhid?

Tauhid merupakan pokok keselamatan dunia dan akhirat sekaligus hal pertama kali yang harus dipelajari oleh manusia, oleh karenanya tauhidlah yang seharusnya yang pertama-tama disampaikan dan didakwahkan kepada manusia
Selain itu dakwah tauhid juga harus dijadikan sebagai proiritas utama sebagaiman dakwah para Rasul Allah yang diutus untuk ummatnya dan juga apa yang telah telah Allah perintahkan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” [Yusuf: 108]

Wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari tauhid yang merupakan awal yang harus dia tuntut kemudian direalisasikan dalam ibadahannya. 

Dan juga mempelajari tentang syirik yang merupakan lawan dari tauhid dan macam-macam syirik untuk dijauhi dan agar tidak terjerumus ke dalam kesyirikan.



Senin, 19 Agustus 2013

Antara akal dan dalil yang sahih

Allah telah memberikan kemuliaan dan keutamaan kepada manusia dengan akal. Dan di dalam kitab-Nya, Dia memuji orang-orang yang memiliki pikiran dan akal-akal yang terang. Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
"Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran" (QS. Ar-Ra'du: 19)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو اْلأَلْبَابِ
"Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang yang memiliki pikiran bisa mengambil pelajaran" (QS. Shaad: 29)
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak membiarkan akal pada kedudukan yang telah Allah tetapkan, yang menghalangi mereka untuk ittiba'
. Bahkan mereka tergelincir menjadi dua golongan manusia:
  * Golongan yang meniadakan akal dan tidak menghargainya sedikitpun.
  * Golongan yang berlebih-lebihan terhadap akal, menjadikannya sebagai sumber pembuatan syariat dan mendahulukannya di atas dalil-dalil yang shahih. Mereka membangun kesesatan-kesesatan pada diri mereka dengan menamakannya kadang-kadang sebagai hakikat, perkara yang meyakinkan atau maslahat dan tujuan yang hendak diwujudkan oleh nash-nash – meskipun sesungguhnya tidak ditunjukkan oleh nash itu. Kemudian mereka mengambil nash-nash shahih yang mereka istilahkan dengan "zhanniyyat "(yang masih berupa persangkaan, tidak memberi faidah yakin -pen), lalu mereka menghadapkannya dengan kesesatan-kesesatan itu. Maka nash yang sesuai dengannya mereka terima, sedangkan yang bertentangan dengannya mereka tolak, dengan bersandar kepada suatu kaidah ""al-yaqin laa yazuulu bisy syakk" "(sesuatu yang meyakinkan tidak bisa hilang dikarenakan sesuatu yang meragukan–pen).
Mereka tidak mengetahui bahwa akal memiliki batasan-batasan di dalam mengetahui sesuatu. Dan Allah tidak memberikan jalan bagi akal untuk mengetahui segala sesuatu1
. Sebagaimana mereka tidak mengetahui bahwa Allah menjaga agama-Nya dan melindungi Nabi-Nya dari ketergelinciran dan penyimpangan di dalam menyampaikan agama-Nya. Maka segala sesuatu yang beliau bawa adalah kebenaran yang tidak ada keraguannya, sedangkan yang mereka namakan dengan hakikat dan perkara yang meyakinkan adalah kebatilan. Hal itu ditunjukkan oleh adanya perbedaan akal dan pemahaman manusia di dalam menentukan hakikat-hakikat dan maslahat-maslahat. Dan juga, Allah telah memerintahkan kita untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya dengan penerimaan yang mutlak tanpa menghadapkan nash itu kepada akal sebelum menerimanya. Sebagaimana di dalam firman Allah,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (QS. An-Nisaa: 65)
Alangkah bagusnya perkatan Ibnu Abil 'Izz Al-Hanafi ketika menjelaskan perkataan Ath Thahawi, "Tidak akan kokoh telapak kaki islam kecuali diatas permukaan "taslim" (menerima) dan "istislam "(pasrah)". Beliau berkata, "Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah
, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau berkata, dari Allah datangnya risalah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima"2
.Catatan Kaki
1
 Lihat Al-I'tisham karya Asy-Syathibi (2/349).
2
 Syarh Ath-Thahawiyah (1/231) dan lihat Shahih Bukhari dengan Fathul Bari (13/512).

Penulis: Ustadz
 Kholid Syamhudi, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
Dari artikel 'Penghalang Ittiba' (4) : Mendahulukan Akal Di Atas Dalil Yang Shahih — Muslim.Or.Id
'

Kisah Al-Mubarak dan Buah Delima yang Kecut

Dahulu kala ada seorang laki-laki yang bernama Al-Mubarak, dia adalah seorang pembantu dari seorang saudagar penduduk Hamdzan dari Bani Hanzhalah di daerah Khurasan. Ia bekerja di perkebunan saudagar itu dalam jangka waktu yang lama.
Pada suatu hari, datanglah saudagar tersebut ke perkebunannya. Ia menyuruh Al-Mubarak mengambilkan buah delima yang manis dari kebunnya. Al–Mubarak pun bergegas mencari pohon delima dan memetik buahnya kemudian menyerahkan kepada tuannya.
Setelah tuannya membelah dan memakannya, ternyata rasanya kecut. Maka marahlah dia sambil berkata, “Aku minta yang rasanya manis, malah kamu berikan aku yang kecut. Ambilkan yang manis!”
Al-Mubarak pun pergi dan memetik delima dari pohon yang lain. Ketika tuannya tersebut membelah dan memakannya untuk kedua kalinya, ternyata rasanya sama kecut, maka tuannya sangat marah kepadanya dan memerintahkan Al-Mubarak untuk ketiga kalinya memetik buah delima tersebut, dan ternyata sang tuan masih mendapatkan rasa yang kecut.
Akhirnya tuannya bertanya: ”Apa kamu tidak bisa membedakan yang manis dan yang kecut?“
Al-Mubarak menjawab: “Tidak.”
“Mengapa?” tanya tuannya.
“Karena saya tidak pernah mencicipi sedikit pun buah tersebut sehingga saya tidak mengetahui rasanya,” jawab Al-Mubarak.
“Mengapa kamu tidak mencicipinya?” tanya tuannya dengan perasaan kesal bercampur heran.
“Karena tuan tidak pernah mengizinkan saya untuk memakannya.”
Tuannya terdiam dan merenungkan ucapan Al-Mubarak dan akhirnya dia menyadari kejujuran pembantunya itu. Maka menjadi mulialah al-Mubarak di mata tuannya sehingga sang tuan pun menikahkan beliau dengan putrinya. Dari perkawinan tersebut, lahirlah seorang anak laki-laki dari negeri Khurasan yang diberi nama Abdulloh Ibnul Mubarak yang kelak menjadi salah seorang ulama besar dalam sejarah islam.
(Sumber: Siyar Alamu Nubala, Imam Adzahabi)
Mutiara Kisah:
1) Mengenal lebih dekat seorang ulama yang bernama Abdulloh ibnul Mubarak
2) Kejujuran adalah sifat yang terpuji
3) Lawan kejujuran adalah sifat dusta
4) Kejujuran akan membuahkan berkah pada kehidupan seorang hamba
5) Hendaknya orang tua menjaga dirinya dari memakan makanan yang haram untuk menghasilkan anak-anak yang sholeh
6) Seseorang itu akan menjadi mulia karena ilmu yang ada pada dirinya
Penulis: Ustadz Abu Imron Sanusi
Sumber: Kisah-kisah Keteladanan, Kepahlawanan, Kejujuran, Kesabaran, Menggugah, serta Penuh dengan Hikmah dan Pelajaran Sepanjang Masa. Penerbit: Maktabah At-Thufail, Panciro-Gowa (Makassar-Sulsel).

Sabtu, 17 Agustus 2013

Nasehat Ulama

Siapakah orang yang cerdas...
Sebuah kajian islam oleh Syaikh Abdurahman bin Muhammad Musa Alu Nasr..

Kamis, 08 Agustus 2013

Perbedaan Mathla Dalam Tinjauan Syari'at

PERBEDAAN MATHLA' DALAM TINJUAN SYARI'AT

Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsari Al Maidani

Masalah klasik yang acap kali mencuat setiap menjelang Ramadhan dan akhir Ramadhan, yaitu berkaitan dengan penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan. Sampai sekarang, masalah ini masih terus dibicarakan oleh para ulama. Perbedaan pendapat dalam masalah ini sudah dikenal luas di kalangan ulama maupun para penuntut ilmu. Pada edisi kali ini, kami mencoba mengangkat kembali pembahasan masalah ini. Mudah-mudahan berguna bagi para pembaca, dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan.

Syari'at telah menjadikan tanda-tanda alam, seperti: hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai batas waktu penetapan ibadah dan hukum muamalah. Sebagai contoh, misalnya waktu shalat, puasa, haji, masa iddah dan lainnya. Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam berfirman dalam kitabNya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji". [al Baqarah:189]

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Allah telah menjadikan bulan sabit (hilal) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari." [1] 

Termasuk di dalamnya, yaitu ibadah puasa pada bulan Ramadhan, Allah mengaitkannya dengan hilal. Allah berfirman, yang artinya: "Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka (wajiblah baginya bershiyam)". [al Baqarah:185].

Hanya saja, kemudian timbul pertanyaan, bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempatnya sendiri? Cukupkah dengan melihat hilal di satu negeri saja, atau tiap-tiap negeri harus melihat hilal di tempatnya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Karena itulah para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.

Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, sebagai berikut:

Pendapat Pertama : Jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa. 

Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa'ad, pendapat sebagian ulama Syafi'iyyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: "Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk satu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa. Ini adalah pendapat Al Laits dan sebagian rekan Asy Syafi'i."

Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
a. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ 

"Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya". [Hadits riwayat Al Bukhaari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu].

b. Juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ 

"Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Pendapat Kedua : Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi'iyyah.

Pendapat Ketiga : Hampir sama dengan pendapat yang kedua, yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan. 

Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: "Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla' hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla'), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa beliau berkata: "Setiap penduduk negeri wajib melihat hilalnya masing-masing." Ini merupakan Madzhab Al-Qasim, Salim dan Ishaq. Diantara para ulama mutaakhirin yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[2]

Akan tetapi mereka berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Ada yang mengatakan apabila berita terlihatnya hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga. Dan pendapat lainnya.

Dalil mereka adalah hadits Kuraib yang diutus oleh Ummul Fadhl binti Al Harits untuk menemui Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu. Dia berkata: Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah Ummul Fadhl. Bertepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum'at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas c bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya,"Bilakah kalian melihat hilal?" Aku menjawab,"Kami melihatnya pada malam Jum'at!" Tanya beliau lagi,"Apakah engkau menyaksikannya?" Jawabku,"Ya. Orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu'awiyah turut berpuasa!" Abdullah bin Abbas berkata,"Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal." Aku berkata,"Tidak cukupkah kita mengikuti ru'yat hilal Mu'awiyah dan puasanya?" Abdullah bin Abbas menjawab,"Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami." [Hadits riwayat Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad. At Tirmidzi berkata,"Hadits hasan shahih gharib."]

Pendapat Keempat : Kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah telah mengumumkan berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa.

Dalil mereka adalah hadits Abu Hurairah yang kami sebutkan di depan: "Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Dari keempat pendapat tersebut, yang terpilih adalah pendapat pertama. Yaitu, jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama dahulu dan sekarang, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [3], Asy Syaukani [4], Syaikh Al Albani[5] dan ulama lainnya. Inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada, sebagaimana yang telah kami sebutkan di depan, diantaranya hadits:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

"Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya'ban tiga puluh hari.

Dan hadits:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Dan pendapat ini, juga selaras dengan kaidah umum syari'at yang menganjurkan kaum muslimin agar bersatu dan tidak berpecah-belah.

Akan tetapi timbul pertanyaan, bagaimanakah caranya menerapkan pendapat yang pertama ini?

Untuk sekarang ini, pendapat pertama sulit diterapkan. Karena realitanya, negeri kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa negara. Tiap-tiap negara memiliki kebijaksanaan dan kewenangan terhadap rakyatnya, dan tidak tunduk kepada kebijaksanaan negara lain. Termasuk dalam menetapkan awal Ramadhan dan dua Hari Raya, yakni 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Kecuali bila ada kesepakatan diantara negara-negara Islam tersebut. Namun kenyataannya, sampai hari ini kesepakatan itu tidak ada. 

Realitanya, sampai sekarang masih terjadi perbedaan kebijaksanaan masing-masing negara tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Jika pendapat ini dipaksakan untuk diterapkan sekarang ini, maka akan terjadi perselisihan kaum muslimin di satu negara. Ada yang berpuasa dan berhari raya bersama pemerintahnya, sedangkan yang lain berpuasa dan berhari raya mengikuti kebijaksanaan negara lain. Tentu saja perselisihan semacam ini tidak dibenarkan.

Jadi, melihat kondisi kaum muslimin dan negara-negara Islam sekarang ini, maka alternatif satu-satunya adalah menerapkan pendapat keempat. Yaitu, kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri masing-masing. Sampai nantinya kaum muslimin berada di bawah satu pemerintahan, atau negara-negara Islam saling berkonsolidasi dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Sehingga tercapailah kesepakatan dan kesatuan kalimat kaum muslimin dimanapun mereka berada.

Inilah kesimpulan yang dipilih oleh Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab Tamamul Minnah (hlm. 398) sebagai berikut:

"Sampai nanti negara-negara Islam mencapai kesepakatan dalam masalah ini. Maka menurutku, setiap orang harus berpuasa mengikuti kebijaksanaan pemerintah negaranya. Janganlah ia terpisah seorang diri. Sebagian orang berpuasa bersama pemerintahnya dan sebagian lain berpuasa bersama negara lain. Baik penetapan dari pemerintahnya itu maju sehari atau mundur sehari. Karena hal itu dapat meluaskan perselisihan dalam satu negara. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara-negara Arab semenjak beberapa tahun belakangan ini. Wallahul musta'an".

Demikian pula beliau menjelaskan dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/253-254). Demikian pula kesimpulan yang diambil oleh Syaikh Al Faqih Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam kitab Syarah Mumti' (VI/322) sebagai berikut:

"Inilah –yaitu berpuasa bersama negara masing-masing- yang dipraktekkan oleh kaum muslimin sekarang ini. Yaitu apabila telah ditetapkan oleh waliyul amri (pemerintah), maka wajib bagi kaum muslimin yang berada di bawah kekuasaannya untuk berpuasa atau berhari raya. Kalau dilihat dari efek sosiologisnya, pendapat ini sangat kuat, meskipun kita memilih pendapat kedua yang kita ambil yaitu perbedaan mathla', wajib bagi orang yang berpendapat bahwa masalah penetapan puasa didasarkan atas perbedaan mathla' untuk tidak menampakkan perbedaannya dengan orang banyak."

Demikian pula Lajnah Daimah Dan Majelis Tinggi Ulama Dan Lembaga Fatwa Dan Riset Saudi Arabia, telah mengeluarkan fatwa yang senada dengan pendapat yang keempat ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya sebagai berikut:

وَسُئِلَ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ عَنْ رَجُلٍ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ وَتَحَقَّقَ الرُّؤْيَةَ : فَهَلْ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ وَحْدَهُ ؟ أَوْ يَصُومَ وَحْدَهُ ؟ أَوْ مَعَ جُمْهُورِ النَّاسِ ؟

Beliau ditanya –semoga Allah menyucikan ruh beliau- tentang seorang lelaki yang melihat hilal seorang diri dan ia benar-benar telah melihatnya. Apakah ia boleh berhari raya sendiri atau berpuasa sendiri? Ataukah ia harus berpuasa bersama orang banyak?

Beliau menjawab:
"Alhamdulillah, jika ia melihat hilal Ramadhan seorang diri atau hilal Syawal seorang diri, apakah ia harus berpuasa karena ru'yatnya itu? Atau apakah ia harus berhari raya dengan ru'yatnya itu? Atau ia tidak boleh berpuasa dan berhari raya, kecuali bersama orang banyak?

Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama, dan merupakan tiga pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad.

Pertama : Ia harus berpuasa dan berhari raya sembunyi-sembunyi. Ini adalah madzhab Asy Syafi'i.

Kedua : Ia wajib berpuasa namun tidak wajib berhari raya, kecuali bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, Malik dan Abu Hanifah.

Pendapat ketiga : Ia wajib berpuasa dan berhari raya bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang paling tepat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan ia berkata,"Hasan gharib." Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Dan dalam riwayatnya hanya disebutkan 'Idul Fithri dan 'Idul Adha saja. At Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Ja'far dari Utsman bin Muhammad dari Al Maqburi dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطَرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Hari berpuasa kamu adalah hari berpuasa orang banyak. Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari orang banyak ber'idul fithri. Dan hari 'Idul Adha kamu adalah hari orang banyak ber'idul adha."

At Tirmidzi berkata,"Hadits ini hasan gharib." Kemudian ia berkata,"Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini. Mereka mengatakan, maknanya adalah berpuasa dan berhari raya bersama jama'ah dan orang banyak."

Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang lain. Dia berkata: Muhammad bin Ubaid telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad bin Zaid Bin Dirham telah menceritakan kepada kami dari Ayyub dari Muhammad bin Al Munkadiri dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ . وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ . وَكُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ وَكُلُّ مِنًى مَنْحَرٌ وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ وَكُلُّ جَمْعٍ مَوْقِفٌ

"Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari kamu semua ber'idul fithri. Dan hari 'Idul Adha kamu adalah hari kamu semua ber'idul adha. Dan seluruh wilayah Arafah adalah tempat wuquf. Seluruh wilayah Mina adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Seluruh jalan-jalan di Makkah adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Dan seluruh wilayah Muzdalifah adalah tempat bermalam (mabit)".

Karena kalau ia melihat hilal, pastilah akan diketahui oleh orang banyak. Hilal adalah ungkapan untuk sesuatu yang diketahui orang banyak. Maka dari itu, Allah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia dan penetapan waktu untuk haji. Dan itu terjadi, bila orang-orang mengetahuinya secara luas.

Penetapan bulan adalah perkara yang jelas. Jika tidak ada hilal tentu tidak ada pula bulan baru. Dasar masalah ini, adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengaitkan sejumlah hukum syar'i dengan hilal dan bulan. Misalnya, seperti ibadah puasa, 'Idul Fithri, 'Idul Adha. Allah berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji". [al Baqarah:189]

Allah Subhanhu wa Ta'ala menjelaskan, hilal adalah tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadat haji. Allah berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ -إلَى قَوْلِهِ - شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ

"Diwajibkan atas kamu berpuasa.... Sampai firman Allah: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia." [al Baqarah:183-185].

Allah telah mewajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Masalah ini telah disepakati oleh segenap kaum muslimin. Namun yang diperselisihkan oleh mereka adalah tentang hilal, apakah istilah untuk bulan sabit yang muncul di langit? Meskipun manusia tidak mengetahuinya? Dan dengan kemunculannya, sebagai pertanda masuknya bulan baru? Ataukah hilal bermakna nama bagi sesuatu yang diketahui orang banyak, dan bulan adalah sesuatu yang dikenal diantara mereka? Dalam masalah ini ada dua pendapat.

Bagi yang memilih pendapat pertama mengatakan: Barangsiapa melihat hilal seorang diri, maka ia telah masuk waktu berpuasa dan telah masuk bulan Ramadhan bagi dirinya. Malam itu bagi dirinya termasuk bulan Ramadhan, meskipun orang lain tidak mengetahuinya. Bagi yang tidak melihatnya, jika telah nyata baginya bahwa hilal telah muncul, maka ia wajib mengqadha' puasa. Demikian pula qiyasnya dengan 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Akan tetapi berkaitan dengan bulan haji, setahuku belum ada orang yang mengatakan bahwa barangsiapa melihat hilal, maka ia wuquf sendiri (berdasarkan ru'yatnya sendiri) tidak bersama jama'ah haji lainnya, ia menyembelih hewan kurban di hari berikutnya dan melempar jumrah Aqabah dan bertahallul sendiri tidak bersama jama'ah haji lainnya.

Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang 'Idul Fithri. Mayoritas ulama menyamakannya dengan Hari Raya Kurban. Mereka mengatakan, ia tidak boleh berhari raya, kecuali bersama kaum muslimin. Sementara yang lain mengatakan, ia harus berhari raya seperti halnya puasa, Allah tidak memerintahkan hambaNya berpuasa tiga puluh satu hari. 

Kontroversi pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar, adalah masalah puasa Ramadhan dan 'Idul Fithri sama seperti haji pada bulan Dzulhijjah. Jadi, syarat hilal dan bulan adalah pengenalan orang banyak terhadapnya dan pengetahuan mereka tentangnya. Sehingga, apabila sepuluh orang telah melihat hilal, namun tidak diketahui secara luas oleh mayoritas penduduk negeri, bisa jadi karena persaksian sepuluh orang ini tertolak, atau karena mayoritas penduduk negeri belum menyaksikannya. Maka, hukum sepuluh orang ini, sama seperti hukum mayoritas kaum muslimin lainnya (yakni belum wajib berpuasa meskipun telah melihat hilal dengan mata kepala mereka sendiri –pent). Sebagaimana halnya mereka tidak boleh wuquf, menyembelih kurban dan mengerjakan shalat 'Id, kecuali bersama kaum muslimin. Demikian pula ia tidak boleh memulai berpuasa Ramadhan, kecuali bersama kaum muslimin. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Oleh karena itu, Imam Ahmad menjelaskan dalam sebuah riwayat dari beliau: "Ia harus berpuasa bersama imam (penguasa, pemerintah) dan jama'ah kaum muslimin, baik pada saat cuaca cerah[6] maupun mendung" [7]. 

Imam Ahmad mengatakan:

يَدُ اللَّه عَلَى الْجَمَاعَةِ 

"Tangan Allah bersama jama'ah."

Seperti yang kita ketahui, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang berpendapat ittihadul mathla' (satu mathla') untuk semua. Akan tetapi, beliau mengambil kesimpulan seperti yang telah kami nukil di atas tadi. Demikian pula Imam Ahmad, seperti yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah dari beliau. Terutama pada saat negeri kaum muslimin terpecah menjadi beberapa negeri. Masing-masing negeri memiliki kebijakan yang terpisah dengan negeri lainnya. Kecuali kalau ada koordinasi dan kesepakatan dari masing-masing negeri untuk menetapkan satu kebijaksanaan dalam penetapan hari-hari besar Islam ini. 

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa seorang muslim tidak boleh memulai puasa Ramadhan dan berhari raya seorang diri atau menyempal dari kaum muslimin yang lainnya. Dia harus mengikuti jama'ah dan imam atau pemimpinnya. Dari situ, barangkali dapat kita tafsirkan hadits Kuraib, bahwa pemerintahan di Syam tidak tunduk kepada kebijaksanaan pemerintahan di Madinah. Sehingga tiap-tiap negeri memiliki kebijaksanaan dan ketetapan masing-masing yang terpisah. Dan bagi tiap-tiap penduduk negeri mengikuti kebijaksanaan pemerintahnya. Sehingga dengan demikian, kalimat kaum muslimin dapat disatukan, khususnya dalam ibadah dan perayaan terbesar bagi kaum muslimin. Tentu saja, yang kita harapkan negeri-negeri Islam dapat bersatu dalam menetapkan hari besar mereka. Itu harapan kita, seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Silakan lihat kembali uraian beliau di atas.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin, sehingga tidak ada perselisihan tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Semoga!

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (I/281).
[2]. Silakan lihat Syarah Al Mumti' (VI/322) dan Fiqhun Nawazil, tulisan Dr. Bakar bin Abdillah Abu Zaid (II/222-223).
[3]. Silakan lihat Majmu' Fatawa (XXV/105).
[4]. Silakan lihat Nailul Authar (IV/203-210).
[5]. Silakan lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/235) dan Tamamul Minnah (hlm. 397 dan 398).
[6]. Yakni hilal kemungkinan bisa terlihat oleh siapa saja, Pent.
[7]. Yakni hilal kemungkinan tidak bisa terlihat, Pent.

Dari http:\\almanhaj.or.id

Senin, 05 Agustus 2013

Shalat 'Ied Di Tanah Lapang Adalah Sunnat

Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
Disunnahkan bagi imam atau wakilnya untuk berangkat menunaikan shalat 'Ied di tanah lapang dan tidak ke masjid, kecuali karena alasan tertentu. [1]
Dan dikecualikan dari demikian yaitu yang berdiam di Makkah yang semoga Allah tambahkan padanya kemuliaan. Oleh karena itu tidak pernah sampai kepada kita satu (riwayat) pun dari pendahulu mereka, bahwa mereka shalat kecuali di masjid mereka (Masjidil Haram) [2]
Dan dalil shalat dua hari raya di lapangan diantaranya :
[1]. Riwayat yang telah lewat pada hadits Ummu 'Athiyyah mengenai perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar (shalat) ke lapangan.
[2]. Riwayat yang datang dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika keluar (shalat) di hari Raya, beliau menyuruh menancapkan tombak, lalu meletakkannya di antara tangannya, lalu ia shalat menghadapnya dan para sahabat (mengikuti) di belakangnya. Hal ini dilakukannya sewaktu bepergian, kemudian para pemimpin mengikuti (sunnah) tersebut.
Dalam riwayat lain, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menancapkan tombak di depannya pada 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adha kemudian beliau shalat.
Dan dalam riwayat lain :
Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat shalat ke lapangan, dan tombak kecil ada ditangannya, ia membawa dan menancapkannya di lapangan, lalu ia shalat menghadapnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim] [3]
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi' Fii Shalaatit Tathawwu', edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
__________
Foote Note
[1]. Syarhus Sunnah (IV/294)
[2]. Al-Umm oleh Imam Asy-Syafi'i (1/234)
[3]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam beberapa tempat. Beberapa lafazh dan riwayat pada beberapa tempat berikut ini dalam Kitaabush Shalaah, bab Sutratul Imaam Sutratu Man Khalfahu, (hadits no. 494), dalam Kitaabul 'Iedain, bab Ash-Shalaah Ilal Harbati Yaumal 'Ied, (hadits no. 972) dan dalam bab Hamlil Anazah Awil Harbah Baina Yadayil Imaam Yaumal 'Ied, (hadits no. 973). Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitaabush Shalaah, bab Sutratul Mushalli, (hadits no. 501).
Penjelasan
Al-'Alamah Muhammad Nashruddin Al-Albani rahimahullah memiliki risalah (buku) mengenai permasalahan ini, demikian pula Syaikh Ahmad Muhammad Syair telah membahas tentang shalat 'Ied di lapangan dan tentang keluarnya wanita ke lapangan, ia memasukkan pembahasan tersebut berserta tahqiqnya untuk kitab Sunan At-Tirmidzi (2/421-424)
 

Jumat, 02 Agustus 2013

Maaf-Memaafkan Dalam Rangka Hari Raya, Disyariatkan?

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh. [al-A'raf/7:199]
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. [Ali Imran/3:159]
Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali-Imran/3:134]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan besarnya keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)" [1]
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia dimuliakan dan diagungkan di hati manusian karena sifatnya yang mudah memaafkan orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi Allah Azza wa Jalla. [2]
MAAF-MEMAAFKAN DI HARI RAYA?
Akan tetapi, amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut. Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.
Ini termasuk perbuatan bid'ah [3] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka" [4]
Kalau ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid'ah yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam keterangan diatas ?
Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil (argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka berubah menjadi perbuatan bid'ah yang sangat tercela dalam Islam.
Sebagai contoh shalat malam dan puasa sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, dua jenis ibadah ini jika pelaksanaannya dikhususkan pada hari Jum'at, maka dua masalah besar tersebut menjadi tercela dan haram untuk dilakukan [5], sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لاَ تَخْتَصُّوالَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ مِنْ بَيْنَ اللَّيَالِى وَلاََ تخُصُّوايَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ مِنْ بَيْنِ الأَيَامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum'at di antara malam-malam lainnya (melaksanakan) shalat malam, dan janganlah mengkhususkan hari Jum'at di antara har-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang bisa dilakukan oleh salah seorang darimu. [6]
Inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan nama "bid'ah idhafiyyah", yaitu perbuatan yang secara umum dianjurkan dalam Islam, akan tetapi sebagian kaum Muslimin mengkhususkan perbuatan tersebut dengan waktu, tempat, sebab, keadaan atau tata cara tertentu yang tidak bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [7]
Contoh lain dalam masalah ini adalah shalat malam yang dikhususkan pada bulan Rajab dan Sya'ban. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata tentang dua shalat ini : "Shalat (malam di bulan) Rajab dan Sya'ban adalah bid'ah yang sangat buruk dan tercela" [8]
Imam Abu Syamah rahimahullah menjelaskan kaidah penting ini dalam ucapannya: "Tidak diperbolehkan mengkhususkan ibadah-ibadah dengan waktu-waktu (tertentu) yang tidak dikhususkan oleh syariat, akan tetapi hendaknya semua amal kebaikan tersebut bebas (dilakukan) di setiap waktu (tanpa ada pengkhususan). Tidak ada keutamaan satu waktu di atas waktu yang lain, kecuali yang diutamakan oleh syariat dan dikhsusukan dengan satu macam ibadah…. Seperti puasa di hari Arafah dan Asyura, shalat di tengah malam, dan umrah di bulan Ramadhan…"[9]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : "… Termasuk (contoh) dalam hal ini bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan larangan mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa dan hari Jum'at, agar tidak dijadikan sebagai sarana menuju perbuatan bid'ah dalam agama (yaitu) dengan pengkhususan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak dikhususkan oleh syarat" [10]
MENIMBANG ACARA HALAL BIL HALAL
Termasuk acara yang marak dilakukan oleh kaum Muslimin di Indonesia dalam rangka saling memaafkan setelah hari raya Idhul Fithri adalah apa yang biasa dikenal dengan acara Halal bil halal.
Acara ini termasuk perbuatan bid'ah yang tercela dengan alasan seperti yang kami paparkan diatas. Acara ini tidak pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini, para sahabat Radhiyallahu anhum, serta para imam ahlus sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan baik. Padahal mereka adalah orang-orang yang telah dipuji pemahaman dan pengamalan Islam mereka oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang benar. [at-Taubah/9 : 100]
Dan dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para Sahabat), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka. [11]
Disamping itu acara ini ternyata berisi banyak kemungkaran dan pelanggaran terhadap syariat Allah Azz wa Jalla, diantaranya :
1. Terjadinya ikhtilath (bercampur baur secara bebas) antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada ikatan yang dibenarkan dalam syariat. Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, bahkan ini merupakan biang segala kerusakan di masyarakat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan" [12]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mejelaskan hal ini dalam ucapan beliau : "Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bergaul bebas dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai malapetaka yang merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua perkara yang umum maupun yang khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab berkembang pesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasaan massal (umat manusia) dan munculnya wabah penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan" [13]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah lebih menegaskan hal ini dalam ucapan beiau : "Dalil-dalil (dari al-Qur'an dan hadist Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki) berduaan dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula diharamkan) memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia) ke dalam perkara yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Dalil-dalil tersebut sangat banyak dan kuat (semuanya) menegaskan keharaman –ikhtilath (bercampur baur secara bebas antara laki-laki dengan perempuan kepada perkara (kerusakan) yang sangat buruk akibatnya" [14]
2. Bersalaman dan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya).
Perbuatan ini sangat diharamkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya dari pada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya" [15]
3. Kehadiran para wanita yang besolek dan berdandan seperti dandanan wanita-wanita Jahiliyah.
Ini juga diharamkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Dan hendaklah kalian (wahai kaum perempuan Mukminah) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (bersolek dan berhias) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu. [Al-Ahzab/33 : 33]
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) setan akan mengikutinya (menghiasinya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaannya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya" [16]
PENUTUP
Demikianlah pemaparan ringkas tentang hukum saling maaf-memaafkan dalam rangka hari raya. Wajib bagi setiap muslim untuk meyakini bahwa semua sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla semua itu telah dijelaskan dan dicontohkan dengan lengkap oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam petunjuk yang beliau bawa.
Sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliu Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kami ilmu tentang hal tersebut". Kemudian Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
مَا بَقِيَ شَيءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَا عِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidak ada (lagi) yang tertinggal sedikit pun dari (ucapan'perbuatan) yang bisa mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, kecuali semua itu telah dijelaskan kepadamu" [17]
Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah dan menjauhi segala sesuatu yang menyimpang dari sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita. Amin
Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [18]
Wallahu a'lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim no. 2588 dan imam-imam lainnya
[2]. Lihat syarh Shahih Muslim 16/14 dan Tuhfatul Ahwadzi 6/150
[3]. Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[4]. HR. Muslim no. 867, an-Nasai no. 1578 dan Ibnu Majah no.45
[5]. Lihat Ilmu Ushulil Bida' hlm.151
[6]. HR. Muslim no. 1144
[7]. Lihat Ilmu Ushulil Bida' hlm.147-148
[8]. Fatawa al-Imam an-Nawawi hlm.26
[9]. Al-Baits 'ala Inkaril Bida'i wal Hawadits hlm.165
[10]. Ighatsatul Lahfan I/368
[11]. HR. al-Bukhari dan Muslim
[12]. HR. al-Bukhari no. 4808 dan Muslim no. 2740
[13]. Seperti penyakit AIDS dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya. Na'udzu billahi min dzalik.
[14]. Majalatul Buhutsil Islamiyah 7/343
[15]. HR ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir no. 486 dan 487 dan ar-Ruyani dalam al-Musnad 2/227, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 226
[16]. HR Ibnu Khzaimah no. 1685, Ibnu Hibban no. 5599 dan ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Ausath no. 2890, dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan al-Albani dalam ash-Shahihah no. 2688
[17]. HR ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir 2/155, no. 1647 dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1803
[18]. Doa yang selalu diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal yang dikutip oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam tarikh Baghdad 9/349
Posting ulang dari http:\\www.almanhaj.or.id