Jumat, 27 Februari 2015

Kajian Sabtu Pagi.

ADAB-ADAB MAKAN DAN MINUM

Adab-adab makan dan minum meliputi tiga hal; adab sebelum makan, adab ketika makan dan adab setelah makan.

1. Adab Sebelum Makan
a. Hendaknya berusaha (memilih untuk) mendapatkan makanan dan minuman yang halal dan baik serta tidak mengandung unsur-unsur yang haram, berdasarkan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu..." [Al-Baqarah/2: 172]

b. Meniatkan tujuan dalam makan dan minum untuk menguatkan badan, agar dapat melakukan ibadah, sehingga dengan makan minumnya tersebut ia akan diberikan ganjaran oleh Allah.

c. Mencuci kedua tangannya sebelum makan, jika dalam keadaan kotor atau ketika belum yakin dengan kebersihan keduanya.[1] 

d. Meletakkan hidangan makanan pada sufrah (alas yang biasa dipakai untuk meletakkan makanan) yang digelar di atas lantai, tidak diletakkan di atas meja makan, karena hal tersebut lebih mendekatkan pada sikap tawadhu'. Hal ini sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:

مَا أَكَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلاَ فِيْ سُكُرُّجَةٍ.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah makan di atas meja makan dan tidak pula di atas sukurrujah [2]." [HR. Al-Bukhari no. 5415]

e. Hendaknya duduk dengan tawadhu', yaitu duduk di atas kedua lututnya atau duduk di atas punggung kedua kaki atau berposisi dengan kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Hal ini sebagaimana posisi duduk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang didasari dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ.

"Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang hamba." [HR. Al-Bukhari no. 5399]

f. Hendaknya merasa ridha dengan makanan apa saja yang telah terhidangkan dan tidak mencela-nya. Apabila berselera menyantapnya, jika tidak suka meninggalkannya. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

مَا عَابَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعاَماً قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَ إِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan, apabila beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berselera, (menyukai makanan yang telah dihidangkan) beliau memakannya, sedangkan kalau tidak suka (tidak berselera), maka beliau meninggalkannya."[3] 

g. Hendaknya makan bersama-sama dengan orang lain, baik tamu, keluarga, kerabat, anak-anak atau pembantu. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

اِجْتَمِعُوْا عَلَى طَعاَمِكُمْ يُبَارِكْ لَكُمْ فِيْهِ.

"Berkumpullah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian." [HR. Abu Dawud no. 3764, hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 664]

2. Adab Ketika Sedang Makan
a. Memulai makan dengan mengucapkan, 'Bismillaah.'
Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى، فَإِذَا نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ.

"Apabila salah seorang di antara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: 'Bismillaah', dan jika ia lupa untuk mengucapkan bismillaah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan: 'Bismillaah awwaalahu wa aakhirahu' (dengan menyebut Nama Allah di awal dan akhirnya)."[4] 

b. Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنَ أَكَلَ طَعَاماً وَقَالَ: اَلْحَمْدُ ِِللهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

"Barangsiapa sesudah selesai makan berdo'a: 'Alhamdulillaahilladzi ath'amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin (Segala puji bagi Allah yang telah memberi makanan ini kepadaku dan yang telah memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku),' niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu."[5]

c. Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.[6] 
Menyedikitkan suapan, memperbanyak kunyahan, makan dengan apa yang terdekat darinya dan tidak memulai makan dari bagian tengah piring, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ.

"Wahai anak muda, sebutlah Nama Allah (bismillaah), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu."[7]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pula:

الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوْا مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ.

"Keberkahan itu turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-piring dan janganlah memulai dari bagian tengahnya."[8]

d.Hendaknya menjilati jari-jemarinya sebelum dicuci tangannya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَاماً فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا.

"Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai makan, maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilatkan (kepada isterinya, anaknya)."[9] 

e. Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya. Berdasarkan hadits:

إِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمِطْ ماَ كَانَ بِهَا مِنْ أَذَى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ.

"Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang di antara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan."[10]

d. Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin. Tidak boleh juga, untuk meniup pada minuman yang masih panas, apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas sebanyak tiga kali sebagaimana hadits Anas bin Malik.

كَانَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّراَبِ ثَلاَثاً.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika minum, beliau bernafas (meneguknya) tiga kali (bernafas di luar gelas)."[11] 

Begitu juga hadits Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu:

نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشُّرْبِ.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk meniup (dalam gelas) ketika minum."[12] 

Adapula hadits dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhu: 

نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي اْلإِناَءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيْهِ.

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya."[13]

e. Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ حَسْبُ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ."

"Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya."[14]

f. Hendaknya memulai makan dan minum dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilahkan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki derajat keutamaan. Hal tersebut merupakan bagian dari adab yang terpuji. Apabila tidak menerapkan adab tersebut, maka berarti mencerminkan sifat serakah yang tercela.

g. Hendaknya tidak memandang kepada temannya ketika makan, dan tidak terkesan mengawasinya karena itu akan membuatnya merasa malu dan canggung. Namun sebaiknya menundukkan pandangan dari orang-orang yang sedang makan di sekitarnya dan tidak melihat ke arah mereka karena hal itu menyinggung perasaannya atau mengganggunya.

h. Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan, tidak pula membersihkan tangannya dalam piring, dan tidak pula menundukkan kepalanya hingga dekat dengan piring ketika sedang makan, mengunyah makanannya agar tidak jatuh dari mulutnya, juga tidak boleh berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang kotor dan menjijikkan karena hal itu dapat mengganggu teman (ketika sedang makan). Sedangkan mengganggu seorang muslim adalah perbuatan yang haram.

i. Jika makan bersama orang-orang miskin, maka hendaknya mendahulukan orang miskin tersebut. Jika makan bersama-sama teman-teman, diperbolehkan untuk bercanda, senda gurau, berbagi kegembiraan, suka cita dalam batas-batas yang diperbolehkan. Jika makan bersama orang yang mempunyai kedudukan, maka hendaknya ia berlaku santun dan hormat kepada mereka. 

3. Adab Setelah Makan
a. Menghentikan makan dan minum sebelum sampai kenyang, hal ini semata-mata meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, menghindarkan diri dari kekenyangan yang menyebabkan sakit perut yang akut dan kerakusan dalam hal makan yang dapat menghilangkan kecerdasan.

b. Hendaknya menjilati tangannya kemudian mengusapnya atau mencuci tangannya. Dan mencuci tangan itu lebih utama dan lebih baik.

c. Memungut makanan yang jatuh ketika saat makan, sebagai bagian dari kesungguhannya dalam menerapkan adab makan dan hal itu termasuk cerminan rasa syukurnya atas limpahan nikmat yang ada.

d. Membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di sela-sela giginya, dan berkumur untuk membersihkan mulutnya, karena dengan mulutnya itulah ia berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan berbicara dengan teman-temannya.

e. Hendaknya memuji Allah Azza wa Jalla setelah selesai makan dan minum. Dan apabila meminum susu, maka ucapkanlah do'a setelah meminumnya, yaitu:

اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَزِدْنَا مِنْهُ.

"Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami pada apa-apa yang telah Engkau rizkikan kepada kami dan tambahkanlah (rizki) kepada kami darinya."[15] 

Jika berbuka puasa di rumah seseorang, hendaklah dia berdo'a:-editor

اَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ.

"Telah berbuka di rumahmu orang-orang yang berpuasa, telah makan makananmu orang-orang baik dan semoga para Malaikat bershalawat (berdo'a) untukmu."[16] 

[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis 'Abdul Hamid bin 'Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H - Maret 2006M]
________
Footnote
[1]. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَإِذَا َأرَادَ أَنْ يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ

"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak tidur sedangkan beliau dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' terlebih dahulu dan apabila hendak makan, maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu." [HR. An-Nasa-i I/50, Ahmad VI/118-119. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 390, shahih]

[2]. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitab Syamaa-il Muhammadiyyah hal. 88 no. 127 memberikan pengertian tentang sukurrujah yaitu piring kecil yang biasa dipakai untuk menempatkan makanan yang sedikit seperti sayuran lalap, selada dan cuka. Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (IX/532) berkata: "Guru kami berkata dalam Syarah at-Tirmidzi, "Sukurrujah itu tidak digunakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya karena kebiasaan mereka makan bersama-sama dengan menggunakan shahfah yaitu piring besar untuk makan lima orang atau lebih. Dan alasan yang lainnya adalah karena makan dengan sukurrujah itu menjadikan mereka merasa tidak kenyang."-penj.
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3563), Muslim (no. 2064) dan Abu Dawud (no. 3764).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3767), at-Tirmidzi (no. 1858), Ahmad (VI/143), ad-Darimi (no. 2026) dan an-Nasa-i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (no. 281). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1965)
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4023), at-Tirmidzi (no. 3458), Ibnu Majah (no. 3285), Ahmad (III/439) dan al-Hakim (I/507, IV/192) serta Ibnu Sunni dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (no. 467). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1984).
[6]. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ، فَِإذَا فَرَغَ لَعِقَهَا.

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa makan dengan meng-gunakan tiga jari tangan (kanan) apabila sudah selesai makan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjilatinya." [HR. Muslim no. 2032 (132), Abu Dawud no. 3848].-penj.

Tiga jari yang dimaksud adalah jari tengah, jari telunjuk dan ibu jari, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fat-hul Baari IX/577.-penj.
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5376), Muslim (no. 2022), Ibnu Majah (no. 3267), ad-Darimi (II/100) dan Ahmad (IV/26).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2031 (129)), Abu Dawud (no. 3772) dan Ibnu Majah (no. 3269). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiihul Jaami' (no. 379)
[9]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5456) dan Muslim (no. 2031 (129)).
[10]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2033 (135)), Abu Dawud (no. 3845) dan Ahmad (III/301). Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no. 1404), karya Syaikh al-Albani.
[11]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5631), Muslim (no. 2028), at-Tirmidzi (no. 1884), Abu Dawud (no. 3727).
[12]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1887), hasan. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1977), karya Syaikh al-Albani.
[13]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1888), Abu Dawud (no. 3728), Ibnu Majah (no. 3429), (Ahmad I/220, 309). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1977) , karya Syaikh al-Albani.
[14]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/132), Ibnu Majah (no. 3349), al-Hakim (IV/ 121). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1983), karya Syaikh al-Albani rahimahullah.
[15]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3730), at-Tirmidzi (no. 3451) dan an-Nasa-i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (no. 286-287). Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahiih Jami'ush Shaghiir (no. 381). Lafazh ini terdapat dalam kitab Ihyaa' 'Uluumiddiin (II/6).
[16]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3854) dan Ibnu Majah (no. 1747). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Abi Dawud (II/703

Kamis, 19 Februari 2015

Hukum Istri yang Berani dan Durhaka kepada Suaminya

Sesungguhnya Allah -Subhanahta'ala menciptakan istri bagi kita, agar kita merasa tentram dan tenang kepadanya.

Sebagaimana firman Allah -Subhanahu wa Ta'la-

"Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
(QS. Ar-Ruum :21)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata menafsirkan ayat ini,

"Kemudian diantara kesempurnaan rahmat-Nya kepada anak cucu Adam, Allah menciptakan pasangan mereka dari jenis mereka, dan Allah ciptakan diantara mereka mawaddah (yakni, cinta), dan rahmat (yakni, kasih sayang).
Sebab seorang suami akan mempertahankan istrinya karena cinta kepadanya atau sayang kepadanya dengan jalan wanita mendapatkan anak dari suami, atau ia butuh kepada suaminya dalam hal nafkah, atau karena kerukunan antara keduanya, dan sebagainya". [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (3/568)]

Istri Durhaka Dalam Islam (Perempuan / Wanita Durhaka) - jadi, maksud adanya pernikahan adalah untuk menciptakan kecenderungan (ketenangan), kasih sayang, dan cinta. Sebab seorang istri akan menjadi penyejuk mata, dan penenang di kala timbul problema.
Namun, jika istri itu durhaka lagi membangkang kepada suaminya, maka alamat kehancuran ada didepan mata.Dia tidak lagi menjadi penyejuk hati, tapi menjadi musibah dan neraka bagi suaminya.

Kedurhakaan seorang istri kepada suaminya amat banyak ragam dan bentuknya, seperti mencaci-maki suami, mengangkat suara depan suami, membuat suami jengkel, berwajah cemberut depan suami, menolak ajakan suami untuk jimak, membenci keluarga suami, tidak mensyukuri (mengingkari) kebaikan, dan pemberian suami, tidak mau mengurusi rumah tangga suami, selingkuh, berpacaran di belakang suami, keluar rumah tanpa izin suami, dan sebagainya.

Allah -Subhanahu wa Ta'la- telah mengancam istri yang durhaka kepada suaminya melalui lisan Rasul-Nya ketika Beliau -Shollallahu 'alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ

"Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya" .
[HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (9135 & 9136), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (2349), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2771), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (289)]

Tipe wanita seperti ini banyak disekitar kita.

Suami yang lelah banting tulang setiap hari untuk menghidupi anak-anaknya, dan memenuhi kebutuhannya, namun masih saja tetap berkeluh kesah dan tidak puas dengan penghasilan suaminya.

Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain, sehingga hal itu menjadi beban yang berat bagi suaminya. Maka tidak heran jika neraka dipenuhi dengan wanita-wanita seperti ini, sebagaimana sabda Nabi -Shollallahu 'alaihi wasallam-,

أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟ , قال: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ , لَوْ أَحْسَنْتَ إَلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ , ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا, قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْراً قَطُّ

"Telah diperlihatkan neraka kepadaku, kulihat mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka telah kufur (ingkar)!" Ada yang bertanya, "apakah mereka kufur (ingkar) kepada Allah?" Rasullah -Shollallahu 'alaihi wasallam- menjawab, "Tidak, mereka mengingkari (kebaikan) suami.
Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, "Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu".
[HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]

Pembaca yang budiman, jika para wandu mengetahui betapa besar kedudukan seorang suami di sisinya, maka mereka tidak akan berani durhaka dan membangkang kepada suaminya.

Cobalah tengok hadits Hushain bin Mihshon ketika ia berkata, "Bibiku telah menceritakan kepadaku seraya berkata,

أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَعْضِ الْحَاجَةِ, قَالَ: (أَيْ هَذِهِ أَذَاتُ بَعْلٍ أَنْتِ), قُلْتُ : (نَعَمْ), قَالَ: (فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ), قَالَتْ: (مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ), قال: (فَأَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ, فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ)

"Saya mendatangi Rasulullah -Shollallahu 'alaihi wasallam- untuk suatu keperluan. Beliau bertanya:"siapakah ini? Apakah sudah bersuami?."sudah!", jawabku. "Bagaimana hubungan engkau dengannya?", tanya Rasulullah. "Saya selalu mentaatinya sebatas kemampuanku". Rasulullah -Shollallahu 'alaihi wasallam- bersabda, "Perhatikanlah selalu bagaimana hubunganmu denganya, sebab suamimu adalah surgamu, dan nerakamu".
[HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (8963), Ahmad dalam Al-Musnad (4/341/no. 19025), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2612), dan Adab Az-Zifaf (hal. 213)]

Dari hadits ini, kita telah mengetahui betapa besar dan agungnya hak-hak suami yang wajib dipenuhi seorang istri sampai Rasulullah -Shollallahu 'alaihi wasallam- pernah bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمُرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

"Sekiranya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada lainnya, niscaya akan kuperintahkan seorang istri sujud kepada suaminya" .
[HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (1159), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (1998)]

Jika seorang istri tidak memenuhi hak-hak tersebut atau durhaka kepada suami, maka ia mendapatkan ancaman dari Allah -Ta'ala- lewat lisan Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-,

اِثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا : عَبْدٌ أَبَقَ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ , وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ

"Ada dua orang yang sholatnya tidak melampaui kepalanya: budak yang lari dari majikannya sampai ia kembali, dan wanita yang durhaka kepada suaminya sampai ia mau rujuk (taubat)".
[HR. Ath-Thobroniy dalam Ash-Shoghir (478), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (7330)]

Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمْ آذَانَهُمْ : الْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ , وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ , وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ

"Ada tiga orang yang sholatnya tidak melampaui telinganya: Hamba yang lari sampai ia mau kembali, wanita yang bermalam, sedang suaminya marah kepadanya, dan seorang pemimpin kaum, sedang mereka benci kepadanya".
[HR. At-Tirmidziy (360). Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1122)]

Ini merupakan ancaman yang amat keras bagi para wandu (wanita durhaka), karena kedurhakaannya menjadi sebab tertolaknya amal sholatnya di sisi Allah. Dia sholat hanya sekedar melaksanakan kewajiban di hadapan Allah.
Adapun pahalanya, maka ia tak akan mendapatkannya, selain lelah dan capek saja. Wal'iyadzu billahmin dzalik.

Al-Imam As-Suyuthiy-rahimahullah- berkata dalam Quuth Al-Mughtadziy saat menjelaskan kandungan dua hadits di atas,
"Maksudnya, sholatnya tak terangkat ke langit sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas di sisi Ibnu Majah, "Sholat mereka tak akan terangkat sejengkal di atas kepala mereka".

Ini merupakan perumpamaan tentang tidak diterimanya amal sholatnya sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas di sisi Ath-Thobroniy, "Allah tak akan menerima sholat mereka" sampai ia rujuk (kembali)…"
[Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (2/291)]

Diantara bentuk kedurhakaan seorang istri kepada suaminya, enggannya seorang istri untuk memenuhi hajat biologis suaminya.
Keengganan seorang istri dalam melayani suaminya, lalu suami murka dan jengkel merupakan sebab para malaikat melaknat istri yang durhaka seperti ini. Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,
>
إِذَا دَعَا الَّرُجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

"Jika seorang suami mengajak istrinya (berjimak) ke tempat tidur, lalu sang istri enggan, dan suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka para malaikat akan melaknat sang istri sampai pagi".
[HR. Al-Bukhoriy Kitab Bad'il Kholq (3237), dan Muslim dalam Kitab An-Nikah (1436)]

Seorang suami saat ia butuh pelayanan biologis (jimak) dari istrinya, maka seorang istri tak boleh menolak hajat suaminya, bahkan ia harus berusaha sebisa mungkin memenuhi hajatnya, walaupun ia capek atau sibuk dengan suatu urusan.
Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا, وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

"Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, seorang istri tak akan memenuhi hak Robb-nya sampai ia mau memenuhi hak suaminya. Walaupun suaminya meminta dirinya (untuk berjimak), sedang ia berada dalam sekedup, maka ia (istri) tak boleh menghalanginya".
[HR. Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (1853). Hadits ini dikuatkan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 211)]

Istri / wanita /perempuan yang durhaka kepada suaminya -perhatikan hadits ini, Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- memberikan bimbingan kepada para wanita yang bersuami agar memperhatikan suaminya saat-saat ia dibutuhkan oleh suaminya.
Sebab kebanyakan problema rumah tangga timbul dan berawal dari masalah kurangnya perhatian istri atau suami kepada kebutuhan biologis pasangannya, sehingga "solusinya" (baca: akibatnya) munculllah kemarahan, dan ketidakharmonisan rumah tangga.

Syaikh Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Adab Az-Zifaf (hal. 210),
"Jika wajib bagi seorang istri untuk mentaati suaminya dalam hal pemenuhan biologis (jimak), maka tentunya lebih wajib lagi baginya untuk mentaati suami dalam perkara yang lebih penting dari itu, seperti mendidik anak, memperbaiki (mengurusi) rumah tangga, dan sejenisnya diantara hak dan kewajibannya".

Seorang wanita yang durhaka kepada suaminya, akan selalu dibenci oleh suaminya, bahkan ia akan dibenci oleh istri suaminya dari kalangan bidadari di surga. Istri bidadari ini akan marah. Saking marahnya, ia mendoakan kejelekan bagi wanita yang durhaka kepada suaminya..

Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

"Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, "Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami".
[HR. At-Tirmidziy Kitab Ar-Rodho' (1174), dan Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (2014). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 212)]

Cukuplah beberapa hadits yang kami bacakan dan nukilkan kepada Anda tentang bahayanya seorang wanita melakukan kedurhakaan kepada suaminya, yakni tak mau taat kepada suami dalam perkara-perkara yang ma'ruf (boleh) menurut syari'at.

Semoga wanita-wanita yang durhaka kepada suaminya mau kembali berbakti, dan bertaubat sebelum ajal menjemput. Pada hari itulah penyesalan tak lagi bermanfaat baginya.

Sumber :

http://almakassari.com/

Rabu, 18 Februari 2015

Wasiat Perpisahan Rasulullah Shalallahu'alaihi wassalam.

Diriwayatkan dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah radhiallahu’anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullâh! Seolah-olah ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?’

Maka Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,

“Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafâ Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”

 
Takhrij Hadist

Hadits ini shahîh, diriwayatkan olehImam-imam Ahlul Hadits, di antaranya adalah Imam Ahmad dalam Musnadnya 7/126-127, Imam Abu Dâwud no. 4607 dan ini lafazhnya, Imam at-Tirmidzi no. 2676, Imam Ibnu Mâjah no. 42, Imam ad-Dârimi 1/44, Imam Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya no. 5, At-Ta’lîqâtul Hisân dan no. 102, al-Mawârid, Imam al-Hâkim 1/95-96, Imam Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 54-59, Imam al-Baghawidalam Syarhus Sunnah 1/205, no. 102, Imam al-Baihaqi dalam Sunannya 10/114, Imam al-Lâlikâi dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/ 83, no. 81 dan lain-lain.

 
Hadits ini dishahîhkan oleh para Imam Ahlul Hadits. Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini hasan shahîh.” Imam al-Bazzâr rahimahullah mengatakan, “Hadits ini tsâbit shahîh.” Imam Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Hadits ini tsâbit.” Imam al-Hâkim rahimahullah mengatakan, “Hadits ini shahîh dan tidak ada cacatnya,” dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah. Hadits ini dishahîhkan juga oleh Imam al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 937 dan 2735 dan dalam Irwâ-ul Ghalîl 8/107-109, no. 2455

 
Disyariatkannya Memberikan Nasihat

Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam memberikan nasehat kepada para Sahabatnya, kemudian seorang Sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullâh! Nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?”.

Ini menunjukkan bahwa Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam amat serius dalam memberikan nasehat tersebut dan tidak seserius itu pada nasehat yang lainnya. Oleh karena itu, para Sahabat paham bahwa nasehat tersebut adalah nasehat orang yang akan berpisah, karena orang yang akan berpisah dapat mempunyai pengaruh dalam perkataan dan perbuatan yang tidak bisa dikerjakan orang lain. Karenanya, Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan seseorang shalat seperti shalatnya orang yang akan berpisah, ia akan mengerjakannya sesempurna mungkin.

Agama adalah nasehat. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka (para Sahabat) bertanya: ‘Untuk siapa, wahai Rasulullâh?’ Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalammenjawab: ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”

Nasehat merupakan hak seorang Muslimatas Muslim yang lainnya. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Hak orang Muslim atas Muslim lainnya ada enam. Ditanyakan, “Apa saja keenam hak tersebut, wahai Rasulullâh?” Beliau menjawab, “Jika engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, jika ia mengundangmu maka penuhilahnya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah dia, jika ia bersin kemudian memuji Allah maka doakan dia (dengan ucapan: yarhamukallâh), jika ia sakit maka jenguklah, dan jika ia meninggal dunia maka antarkan (jenazah)nya.”

Prinsip dalam memberikan nasehat ialah harus ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala dan mengikuti contoh Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam, bukan dengan membuka aib orang yang dinasehati. Sebab, orang yang aibnya dibuka tidak akan mau menerima nasehat. Begitu juga dengan menuduh orang lain. Orang yang dituduh, akan sulit baginya untuk menerima nasehat karena menuduh tidaklah sama dengan memberi nasehat. Sebaliknya juga orang yang diberikan nasehat jangan menuduh orang yang memberikan nasehat dengan tuduhan yang jelek..

Sabtu, 07 Februari 2015

Kajian Ahad Pagi

Memahami  Alqran Dengan Akal  Semata.
Ust Muhir  Jafar.

Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memaham Al Qur'an, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar'i (Al Qur'an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan jelas.

Jadi itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al Qur'an dan As Sunnah atau dalil syar'i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, 
"Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur'an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu." (Majmu' Al Fatawa, 3/338-339
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar'i yaitu dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Ketika Akal dan Dalil Syar'i Bertentangan

Jika kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan adanya penerang dari Al Qur'an dan As Sunnah, maka tentu saja akal yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil syar'i.Jika bertentangan, maka akal yang patut ditanyakan dan dalil syar'i lah yang patut dimenangkan. Kami dapat memberikan deskripsi tentang akal dan dalil syar'i sebagai berikut. 
Ada orang awam ingin bertanya suatu hal pada seorang ulama. Akhirnya dia dibantu oleh Ahmad. Ahmad pun menunjukkan orang awam tadi pada ulama tersebut. Dalam suatu masalah, Ahmad menyelisihi pendapat ulama tadi. Lalu Ahmad mengatakan pada orang awam tadi, "Aku yang telah menunjuki engkau pada ulama tersebut, seharusnya engkau mengambil pendapatku bukan pendapat ulama tadi." Tentu saja orang awam tadi akan mengatakan, "Engkau memang yang telah menunjukiku pada ulama tadi. Engkau menyuruhku untuk mengikuti ulama tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu. Jika aku mengikuti petunjukmu bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan berarti aku harus mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada saat ini tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama."

Ini adalah permisalan dengan seorang ulama yang mungkin saja salah. Lalu bagaimanakah jika pada posisi ulama tersebut adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak mungkin keliru dalam penyampaian berita dari Allah?

Dari deskripsi ini, akal dimisalkan dengan si Ahmad yang jadi petunjuk kepada ulama tadi. Sedangkan ulama tersebut adalah permisalan dari dalil syar'i. Inilah sikap yang harus kita miliki tatkala kita menemukan bahwa akal ternyata bertentangan dengan dalil syar'i. Sikap yang benar ketika itu adalah seseorang mendahulukan dalil syar'i daripada logika. Sebagaimana kita mendahulukan ulama tadi dari si Ahmad sebagai petunjuk jalan. Jika dalil syar'i bertentangan dengan akal, maka dalil lah yang harus didahulukan. Namun hal ini tidak membuat akal itu cacat karena dia telah menunjuki kepada dalil syar'i. 
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yaitu jika akal bertentangan dengan dalil Al Qur'an dan As Sunnah, maka dalil syar'i lebih harus kita dahulukan dari akal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, 
"Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian ada berita dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ternyata berita tersebut menyelisihi akal. Pada saat ini, akal harus pasrah dan patuh. Akal harus menyelesaikan perselisihan ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya yaitu dari berita Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada saat ini, akal tidaklah boleh mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingan dengan berita Rasul. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentu saja lebih mengerti mengenai Allah Ta'ala, nama dan sifat-sifat-Nya, serta lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal." (Dar-ut Ta'arudh, 1/80)

Akal Tidak Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al Qur'an dan As Sunnah

Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah yaitu dalil akal tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur'an dan As Sunnah yang shahih sama sekali. Makatidaklah tepat jika seseorang mengatakan bahwa logika (dalil akal) bertentangan dengan dalil syar'i. Jika ada yang menyatakan demikian, maka hal ini tidaklah lepas dari beberapa kemungkinan: 

[Pertama] Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang benar. 

[Kedua] Dalil syar'i yang digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin karena dalilnya yang tidak shahih atau adanya salah pemahaman. 

[Ketiga] Hal ini karena tidak mampu membedakan antarasesuatu yang mustahil bagi akaldan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari'at itu datang minimal dengan dalil yang tidak dipahami oleh akal secara sempurna. Dan Syari'at ini tidak mungkin datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَالرُّسُلُ جَاءَتْ بِمَا يَعْجِزُ الْعَقْلُ عَنْ دَرْكِهِ . لَمْ تَأْتِ بِمَا يُعْلَمُ بِالْعَقْلِ امْتِنَاعُهُ

"Rasul itu datang dengan wahyu minimal tidak digapai oleh akal dengan sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan wahyu yang mustahil bagi akal untuk memahaminya." (Majmu' Al Fatawa, 3/339). Semoga kita dapat memahami hal ini.

Sikap Ekstrim dan Pertengahan dalam Mendudukkan Akal

Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal. 

Sikap pertama: Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al Qur'an atau dalil syar'i hanya sekedar taabi' (pengikut). Akal pun dianggap sebagai sumber pertama dan dianggap akal tidak butuh pada iman dan Al Qur'an. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ahlul Kalam. 

Sikap kedua: Yang sangat mencela dan menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil logika yang jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil logika secara mutlak. Inilah sikap dari kaum Sufiyah. (Majmu' Al Fatawa, 3/338)

Sikap yang benar dan pertengahan adalah sikap yang menjadikan akal sebagai berikut:

Akal adalah petunjuk untuk mengetahui dalil syar'i (dalil Al Qur'an dan As Sunnah)Akal tidak bisa berdiri sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar'i. Tanpa adanya cahaya dalil Al Qur'an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin bisa memandang atau memahami suatu perkara dengan benar.Jika akal bertentangan dengan dalil syar'i, maka dalil syar'i yang harus didahulukan karena akal hanya sekedar petunjuk untuk mengetahui dalil sedangkan dalil syar'i memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih dibanding akal.Akal (logika) yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur'an dan As Sunnah.Akal yang tercela adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur'an dan As Sunnah.

Mendudukkan Akal dalam Beberapa Kasus

Di antara penggunaan akal yang keliru adalah penggunaannya dalam memikirkan perkara-perkara ghaib seperti memikirkan sifat-sifat Allah dan keadaan hari kiamat. 

[Contoh pertama]

Hadits tentang nuzul yaitu turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. 
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

"Rabb kita tabaroka wa ta'ala setiap malamnya turun ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir. Rabb mengatakan, "Barangsiapa yang berdo'a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan. Barangsiapa meminta padaKu, maka akan Aku berikan. Barangsiapa meminta ampun padaKu, Aku akan mengampuninya"." (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)

Sebagian orang menanyakan, "Bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia? Ini berarti 'Arsy-Nya kosong. " Atau mungkin ada yang menyatakan, "Kalau begitu Allah akan terus turun ke langit dunia karena jika di daerah A adalah sepertiga malam terakhir, bagian bumi yang lain beberapa saat akan mengalami sepertiga malam juga. Ini akan berlangsung terus menerus."

Inilah akal-akalan yang muncul dari sebagian orang. Jawabannya sebenarnya cukup mudah. Ingatlah dalam masalah ini, kita harus bersikap pasrah, tunduk dan menerima dalil. Tugas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan wahyu, sedangkan tugas kita adalah menerima secara lahir dan batin. Kalau kita tidak memahami hal ini, itu mungkin saja logika atau akal kita yang tidak memahaminya dengan sempurna. Jadi, sama sekali logika kita tidak bertentangan dengan dalil tersebut. Hanya saja kita kurang sempurna dalam memahaminya. 
Lalu jika ada yang mengemukakan kerancuan di atas, cukup kita katakan, "Hal semacam ini tidaklah pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula para sahabat radhiyallahu 'anhum tidak pernah mendapatkan tafsiran mengenai hal ini. Jadi, dalam masalah menanyakan hakikat (kaifiyah) turunnya Allah, kita hendaknya stop dan tidak angkat bicara. Kita meyakini dan memahami adanya sifat nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), namun mengenai hakikatnya kita katakan wallahu a'lam (Allah yang lebih mengetahui)." 
Jadi pertanyaan semacam di atas tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat, sehingga dalam hal ini kita seharusnya tidak menanyakannya pula. 
Mungkin yang kita bayangkan tadi: "Bagaimana Allah bisa turun ke langit dunia? Berarti 'Arsy-Nya kosong"; yang kita bayangkan sebenarnya adalah keadaan yang ada pada makhluk. Dan ingatlah bahwa Allah itu jauh berbeda dengan keadaan makhluk, janganlah kita samakan. Allah Ta'ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy Syuraa: 11). Jika sesuatu tidak mungkin terjadi pada makhluk, maka ini belum tentu tidak bisa terjadi pada Allah yang Maha Besar. 

[Contoh kedua]

Disebutkan dalam suatu hadits bahwa pada hari kiamat nanti posisi matahari akan begitu dekat dengan manusia. 
Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ

"Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti hingga mencapai jarak sekitar satu mil." Sulaiman bin 'Amir, salah seorang perowi hadits ini mengatakan bahwa dia belum jelas mengenai apa yang dimaksud dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil tersebut adalah seperti jarak satu mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak mata. (HR. Muslim no. 7385)

Jadi, intinya matahari ketika itu akan didekatkan dengan jarak yang begitu dekat. 
Ada mungkin yang mengatakan, "Saat ini jika matahari didekatkan ke bumi dengan jarak satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu permukaannya sekitar 6000oC)-, tentu saja bumi akan hangus terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala dengan jarak yang begitu dekatnya?!"

Dalam hadits riwayat muslim di atas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan,

فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِى الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا 

"Keringat manusia ketika itu sesuai dengan kondisi amalannya. Ada di antara mereka yang keringatnya sampai di mata kaki. Ada pula yang keringatnya sampai di paha. Ada yang lain sampai di pinggang. Bahkan ada yang tenggelam dengan keringatnya."

Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika kita. Namun sebenarnya dapat kita katakan, "Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatann yang luar biasa. Mungkin saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik matahari, tanpa adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati. Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan minuman." (Syarh Al 'Aqidah Al Wasithiyah, hal. 370)

 

Intinya, logika kita tidaklah mungkin bertentangan dengan akal. Jika bertentangan, maka logika kitalah yang patut dipertanyakan. 

Demikian beberapa penjelasan dari kami mengenai cara mendudukkan akal. Semoga Allah selalu memberi taufik dan hidayah kepada kita untuk memahami ajaran Al Qur'an dan As Sunnah, juga semoga kita dapat mendudukkan akal sesuai tempatnya. 

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Wassalam.

Kamis, 05 Februari 2015

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Oleh Drs. Ali Budiman 

Prinsip Pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang meninggikan atau merendahkan hanya tingkat pengabdian dan ketakwaan nya kepada Allah firman AllahSekilas swt surat Al Hujura.-t (49): 13) "
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan kami jadikan kamu berbangsa _bangsa dan bersuku suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa "

Kedudukan perempuan dalam ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan..coba kita tengok seribu empat ratus tahun yang lalu, pada saat zaman nabi Muhammad saw yang sebelumnya tidak di kenal di lima benua, keadaan perempuan saat itu lebih baik dari perempuan barat saat ini, yang membedakan hanya cara berpakaian.

Sekilas pemahaman ajaran Islam di lihat dari 2(dua)  segi 1. Asal kejadian nya dan 2. Hak hak nya dalam berbagai bidang.

ASAL KEJADIAN PEREMPUAN 
Dari mana kita mengetahui asal kejadian perempuan tentu dari dua sumber yang menjadi pedoman dalam ajaran Islam yakni Alquran dan Hadist...

1.Alquran surat An Nisa 4: 1.
    "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama /satu, dan dari nya Allah menciptakan pasangan nya dan dari kedua nya Allah memperkembangbiakkan laki laki dan perempuan yang banyak.

Jadi berdasarkan ayat ini bahwa kejadian manusia baik laki2 dan perempuan dari jenis yang sama. Adapun ada paham bahwa perempuan dari tulang rusuk maupun perempuan perempuan sebagai penyebab tergelincir nya dari surga, hal tersebut berasal dari Kitab Perjanjian Lama (Kitab Kejadian II;21). Jika kaum muslimin mengerti dan membaca secara utuh Alquran tidak akan pernah didapati paham demikian. 
Ada satu hadist shahih Bukhari yang berbunyi " Saling pesan memesanlah kamu untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka di ciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. "
Pemahaman hadist ini tidak dapat secara apa adanya, kalau dalam Istilah ilmiah agama Islam pengertian Mazazi (kiasan), yang dimaksud dengan bengkok, bahwa perempuan mempunyai perasaan yang lebih halus, dalam berinteraksi dengan perempuan harus bijaksana karena tulang rusuk adalah yang lemah harus hati hati menangani nya karena itu lah kodrat nya.

2. Ali Imran (3;195).
"Sesungguhnya aku tidak menyia nyiakan amal orang orang yang beramal diantara kamu baik laki2 maupun perempuan, karena sebagian kamu adalah (keturunan)  dari sebagian yang lain.

3. Al Baqarah (2:36).
"Lalu syaitan memperdaya kedua nya dari surga sehingga keduanya dikeluarkan dari surga "

4.Al A'raf (7;20).
",lelaki dan perempuan maupun Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar menampakkan aurat mereka ".

Bersambung,.........