Senin, 30 Mei 2016

Ingin Umur panjang...

Ingin umur panjang? Benarkah? Tak takut punya tanggung jawab berat di akhirat?

 
Dari 'Abdullah bin Busr, ada seorang Arab Badui bertanya pada Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam, siapakah manusia yang paling baik. Jawaban Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

"(Yang paling baik adalah) yang panjang umur dan baik pula amalnya." (HR. Tirmidzi, no. 2329; Ahmad, 4: 190. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kalau kita perhatikan hadits di atas, yang bagus bukanlah hanya umur panjang, namun baik pula amalan.

Oleh karena itu, jika kita menginginkan umur panjang, patut diingat dua hal:

Umur panjang adalah sebagai alasan bagi Allah, bahwa Allah sudah memberi kesempatan pada kita untuk beramal.Umur panjang adalah wadah untuk beramal. Boleh jadi isi wadah tersebut berisi amal shalih. Boleh jadi umur panjang berisi kesia-siaan, berakhlak dan beramal yang jelek. Akhirnya, isi wadah tadi itu akan ditanya. (Lihat keterangan Syaikh Shalih Al-Munajjid dalam Al-Islam Sual wa Jawab,242509)

Ingatlah asalnya, di tengah jalan tak ada tempat berhenti sama sekali. Yang kita temui, ada yang punya jalan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang cepat jalan, ada yang lambat jalan.

Allah Ta'ala berfirman,

إِنَّهَا لَإِحْدَى الْكُبَرِ (35) نَذِيرًا لِلْبَشَرِ (36) لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ (37)

"Sesungguhnya Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi manusia. (Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur."  (QS. Al-Muddatsir: 35-37)

Cuma disebutkan siapa yang mau maju atau mundur. Tak disebutkan pilihan ketiga untuk berhenti. Karena tak ada pilihan ketiga di luar surga dan neraka. Ujung akhir manusia hanyalah surga atau neraka. Karenanya bila seseorang tidak segera maju untuk beramal baik, maka ia akan telat dengan beramal jelek. (LihatMadarij As-Salikin, 1: 278)

Jangan sampai kita menginginkan untuk hasrat pada dunia,

قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ

"Masih ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta." (HR. Muslim, no. 1046)

Dalam riwayat lain disebutkan,

يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ

"Ada yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin terus hidup lama)." (HR. Muslim, no. 1047)

Rajinlah berdo'a seperti ini,

اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي

"Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a'thoitanii wa athil hayaatii 'ala tho'atik wa ahsin 'amalii wagh-fir lii (Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan pada-Mu dan baguskanlah amalku serta ampunilah dosa-dosaku)."

Jika memang ingin memiliki umur panjang, ingatlah umur panjang adalah kesempatan untuk mengisinya dengan beramal shalih.

Ya Allah, panjangkanlah umur kami dalam beramal shalih.

@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 22 Sya'ban 1437 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Selasa, 24 Mei 2016

Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Puasa Pada Bulan Sya'ban (Bagian 2)

Materi Tematik | Seputar Bulan Sya'ban

Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Alhamdulillāh, shalawat dan salam semoga selalu Allāh berikan kepada Nabi kita Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, pada keluarga beliau, para shahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau sampai hari kiamat kelak.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Berkenaan dengan hal-hal penting Seputar Bulan Sya'ban.

▪PERKARA YANG BERKAITAN DENGAN PUASA DI DALAM BULAN SYA'BAN

🔹Perkara yang kedua: Bolehkah menggabungkan 2 niat dalam puasa Sya'ban?

⇛Misalkan, dia biasa puasa hari Senin, kemudian dia niat puasa hari Senin plus niat juga untuk puasa Sya'ban?

Jawabannya, Wallāhu A'lam, boleh.

Ini disebutkan dalam permasalahan fiqih. Saya sering mengatakan: "Bersyarikat di dalam niat."

Jadi, beberapa amal ibadah niatnya kita gabung, kita kerjakan dalam satu pekerjaan.

⇛Sama dengan kalau orang masuk masjid setelah adzan subuh. Di hadapan dia ada shalāt tahiyyatul masjid, ada shalāt dua raka'at sebelum subuh, ada shalāt setelah wudhu. Tiga niat ini dia gabung dan dia kerjakan cuma dua raka'at, itu boleh. Dan semoga pahalanya tiga.

⇛Sama juga seperti hari Jum'at dalam keadaan junub. Dia ingin mandi junub dan ingin juga mandi shalāt Jum'at, maka dia gabung niatnya. Mandi junub sekalian juga mandi shalāt Jum'at.

Ustadz, kalau mandi junubnya sebelum shalāt subuh bagaimana?

Bahkan tidak mengapa, karena memang berkaitan dengan shalāt Jum'at atau hari Jum'at, dan dia mandi pada hari Jum'at.

Kecuali kalau seandainya pada jam 9, jam 10 "bebaluhan" (berkeringat) lagi, sehingga kalau duduk di tengah orang banyak menimbulkan bau yang tidak nyaman maka lebih baik dia mandi sebelum shalat Jum'at.

⇛Tetapi pada asalnya, hukumnya boleh menggabung mandi junub dengan mandi shalāt Jum'at.

Syaratnya apa ustadz?

Lihat perkataan para ulama, syarat bolehnya menggabungkan niat-niat tadi.

⇛Yang disebutkan Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitāb " تقرير القواعد وتحرير الفوائد " mengatakan:

إذا اجتمعت عبادتان من جنس واحد في وقت واحد ليست إحداهما مفعولة على جهة القضاء ولا على طريق التبعية للأخرى في الوقت تداخلت أفعالهما، واكتفى فيهما بفعل واحد

"Jika terkumpul dua ibadah dari satu jenis di dalam satu waktu dan syaratnya yang satu bukan qadha atau yang satu bukan mengikuti ibadah sebelumnya, maka boleh diniatkan dengan dua niat satu pekerjaan."

Saya ulangi, Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang di muliakan oleh Allāh.

Menggabungkan niat puasa Sya'ban dengan puasa sunnah lainnya, bolehkah?

Maka jawabannya: boleh.

Tapi dengan syarat, yaitu :

① Bukan dari qadha.

⇛ Misalkan kalau dia punya hutang di bulan Ramadhan tahun lalu, dia ingin berpuasa membayar (meng-qadha) hutang tersebut dibulan Sya'ban. Dia niatkan dua, mengqadha Ramadhan dan berpuasa bulan Sya'ban, maka ini tidak boleh.

Kenapa?

Karena salah satunya qadha, tidak bisa.

② Salah satunya bukan ikutan dari ibadah sebelumnya.

⇛ Contoh, seorang wanita, di bulan Ramadhan dia punya hutang 6 hari hāidh. Di bulan syawal dia ingin berpuasa bulan syawal, karena ada hadīts yang berbunyi, "Barang siapa yang telah berpuasa Ramadhan lalu dia mengikutkan puasanya dengan 6 hari berpuasa dibulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh".

Orang ini ingin mengamalkan hadīts tapi dia masih punya hutang puasa 6 hari dibulan Ramadhan, maka dia tidak boleh menggabung niat meng-qadha puasa Ramadhan dengan puasa 6 hari dibulan Syawal.

Kenapa ?

Karena 6 hari dibulan Syawal adalah ikutan puasa Ramadhan, artinya 6 hari bulan Syawal bisa dilaksanakan setelah selesai puasa Ramadhan.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh.

🔗 Contoh-contoh ibadah yang bisa digabungkan niatnya :

⑴ Mandi junub dengan mandi shalāt Jum'at.

⑵ Mandi dan berwudhu, atau lebih mudahnya memahaminya, mandi mengangkat hadats besar dengan mengangkat hadats kecil bisa digabung sekaligus.

Artinya kalau orang junub diniatkan di dalam dirinya mengangkat hadats besar dan hadats kecil sekalian, habis mandi junub asalkan tidak kentut lagi, tidak kencing lagi maka dia boleh langsung shalāt tanpa berwudhu.

Kenapa ?

Karena hadats besarnya dan hadats kecilnya sudah terangkat berdasarkan niatnya.

Tentunya, tidak keluar kentut atau tidak keluar kencing setelah itu. 

Kalau pas mandi  keluar kentut maka ini tidak boleh, dia harus berwudhu sebelum shalāt.

Imām Syāfi'ī mengatakan:

وَإِنْ كَانَ جُنُبًا فَاغْتَسَلُ لَهُمَا جَمِيْعًا أَجْزَأَهُ

"Jika dia junub, maka dia mandi junub dan dia niatkan untuk mandi shalāt Jum'at, cukup baginya."

Kemudian juga didalam mengangkat hadits kecil, ada perkataan menarik dari Imām Baihaqi :

باب الدليل على دخول الوضوء في الغسل

"Bab: Dalīl bahwa wudhu masuk ke dalam mandi."

Jadi kalau orang mandi junub asal dia meniatkan mengangkat hadats besar dan hadits kecil, sesudah mandi junubnya dia boleh langsung shalāt tanpa berwudhu.

③ Shalāt tahiyyatul masjid dengan shalāt sunnah wudhu dan shalāt sunnah qabliyyah, bisa digabung tiga-tiganya.

Jadi, Bapak tidak perlu datang ke masjid tahiyyatul masjid dulu dua raka'at baru setelah itu bangun lagi shalāt qabliyyah dua raka'at baru setelah itu bangun lagi shalāt wudhu.

Maka jawabannya, ada dalīl bahwa setiap amal sesuai dengan niatnya. Dan itulah kemudahan di dalam agama Islam.

Thāyyib, Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhanahu wa Ta'ala.

🔗Adapun ibadah-ibadah/amalan  yang tidak boleh digabung diantaranya:

① Puasa  6 (enam) hari di bulan Syawal digabung dengan qadha Ramadhan.

② Shalāt dzuhur digabung niatnya dengan shalāt qabliyyah dzuhur.

Ini tidak boleh. Kenapa tidak boleh ? Karena ini ibadah tersendiri.

Shalāt dzuhur ibadah tersendiri, shalāt qabliyyah dzuhur ibadah tersendiri.

🔹Ada tersisa satu permasalahan lagi yang berkaitan dengan puasa di bulan Sya'ban, yaitu apa hukumnya kalau berpuasa di bulan Sya'ban di hari Sabtu ?

Ada permasalahan yang disebutkan oleh para ulamā tentang: Bolehkah berpuasa dihari sabtu secara sendirian?

Saya bacakan fatwa yang disebutkan oleh Imām Ibnu Baz rahimahullāh Ta'āla bahwa:

الحديث في السبت في النهي عن صيام يوم السبت حديث ضعيف شاذ مطرب وهو ما يروى عنه صلى الله عليه وسلم - أنه قال

"Hadīts yang berkenaan tentang larangan berpuasa dihari Sabtu adalah hadīts lemah (dha'if), menyendiri, goncang (idhthirab).

Yaitu hadits yang _*diriwayatkan*_ bawa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلا فِيمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلا لِحَاءَ عِنَبَةٍ ، أَوْ عُودَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهُ

'Jangan sekali-sekali salah seorang diantara kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali yang diwajibkan atas kalian. Jika kalian tidak memilliki makanan apapun selain kulit anggur atau ranting pohon, maka hendaklah dia mengunyahnya'."

(HR. Tirmidzi: 744, Abu Abū Dāwūd: 2421, Ibnu Mājah: 1726, dan dishahīhkan Al Albani)

⇛Berdasarkan hadīts ini, tidak boleh seseorang berpuasa sunnah secara sendirian dihari Sabtu, kecuali yang diwajibkan atas kalian yaitu puasa wajib.

Imām Ibnu Bāz  rahimahullāh mengatakan:

"Hadīts ini lemah dan guncang, diperingatkan oleh para ahli hafizh dari hadīts."

⇛ Maka hadīts tersebut tidak shahīh, oleh sebab itu boleh:

√ Berpuasa hari Sabtu bersamaan dengannya hari Jum'at,
√ Berpuasa Jum'at dan Sabtu,
√ Berpuasa Sabtu dan Ahad,
√ Berpuasa sendirian hari Sabtu.

Tidak mengapa pada hal itu.

Ini yang benar dan ini yang shahīh, karena hadīts ini lemah tidak sah untuk dijadikan sandaran hukum.

🔹Permasalahan lain: Bolehkah berpuasa sunnah pada hari Jum'at secara sendirian?

Nantikan kita berpuasa dibulan Sya'ban ini. Setelah kita mendengar hadīts tersebut kita ingin berpuasa tetapi kebetulan liburnya pada hari Jum'at dan pada hari lain kita bekerja (sehingga berat untuk berpuasa, misalkan).

Maka boleh kah saya berpuasa hari Jum'at saja tanpa berpuasa hari sebelumnya, Kamis, ataupun tanpa setelahnya, Sabtu?

Maka lihat jawaban beliau, Imam Ibnu Bāz :

صيام يوم الجمعة منفرداً نهى النبي صلى الله عليه وسلم عنه إذا كان صومه لخصوصيته؛

"Berpuasa hari Jum'at secara tersendiri dilarang oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam atasnya. Kalau dia berpuasa untuk kekhususan hari Jum'atnya"

⇛ Jadi tidak ada orang berpuasa karena Jum'atnya.

Dari Juwairiyah binti Al Harits  Radhiyallāhu 'anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ فَقَالَ أَصُمْتِ أَمْسِ قَالَتْ لا قَالَ تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا قَالَتْ لا قَالَ فَأَفْطِرِي

"Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah menemuinya pada hari Jum'at dan ia dalam keadaan berpuasa, lalu beliau bersabda:

'Apakah engkau berpuasa kemarin?'

'Tidak,' jawabnya.

'Apakah engkau ingin berpuasa besok?' Tanya Beliau lagi.

'Tidak,' jawabnya lagi.

'Batalkanlah puasamu,' kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam."

(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 1986)

⇛ Artinya, tidak boleh berpuasa hari jum'at secara sendirian, kecuali berpuasa sebelumnya atau sesudahnya.

Dan di dalam kitāb hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim, dari Abū Harairah Radhiyallāhu 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian, berpuasa (sunnah) dihari Jum'at kecuali berpuasa (sunnah) sebelumnya atau sesudahnya."

(Hadīts riwayat Bukhāri no. 1849' versi Fathul Bari: 1985 dan Muslim nomor 1929, versi Syarh Muslim nomor 1144)

⇛ Ada pertanyaan selanjutnya, kalau hari 'Arafah bertepatan hari Jum'at dan kita tidak menunaikan ibadah haji.

⇛Dan puasa hari 'Arafah pahalanya menghapuskan dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang (dua tahun diampuni), rugi jika tidak berpuasa di hari 'Arafah.

Sedangkan kita tidak berpuasa hari Kamisnya, tidak puasa juga hari Sabtunya.

Bolehkah kita puasa hanya hari Jum'at itu yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijah (hari 'Arafah) ?

Maka jawabannya: boleh !

⇛ Kenapa ?

Karena kita berpuasanya bukan karena hari Jum'at nya tetapi karena hari 'Arafahnya, 9 Dzulhijjahnya.

Hadīts yang lain yang menunjukan bahwasanya dilarang berpuasa mengkhususkan hari Jum'at adalah hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim.

Dari Abū Hurairah, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

"Janganlah khususkan malam Jum'at dengan shalāt malam tertentu yang tidak dilakukan pada malam-malam lainnya. Janganlah pula khususkan hari Jum'at dengan puasa tertentu yang tidak dilakukan pada hari-hari lainnya kecuali jika ada puasa yang dilakukan karena sebab ketika itu."

(Hadīts riwayat Muslim nomor 1930, versi Syarh Muslim nomor 1144)

⇛ Jadi tidak ada ibadah khusus malam Jum'at karena malam Jum'atnya, atau karena hari Jum'atnya.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari, tambahan tentang puasa-puasa atau masalah-masalah yang berkaitan dengan puasa di bulan Sya'ban adalah:

⑴ Larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya'ban.

⇛ Jawaban yang benar? Boleh, secara umum hukumnya boleh puasa di awal, di akhir atau di pertengahan.

⑵ Menggabungkan niat puasa Sya'ban dengan puasa Senin Kamis, atau puasa 13, 14 dan 15.

⇛ Jawabannya: Boleh

⑶ Puasa di hari sabtu.

⇛ Jawabannya: Boleh (karena hadīts nya lemah).

⑷ Puasa di hari Jum'at. Jadi kalau ada orang di bulan Sya'ban ini ingin berpuasa dihari jum'at maka syaratnya apa?

⇛ Jawabannya harus puasa dihari sebelumnya atau sesudahnya (Kamis atau Sabtu).

Inilah empat perkara permasalahan yang berkaitan dengan puasa di bulan Sya'ban.

Baik, kira-kira itu, apa yang baik hanya dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla, apa yang buruk itu dari saya pribadi.

وصلى الله على نبينا محمد والحمد لله  رب العالمين
والسَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
_____________________________
Download Audio: bit.ly/BiAS-Tmk-UAZ-01-06
Video Source: https://youtu.be/ZCy-iTiDWMg

📮Saran Dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam.com

Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Puasa Pada Bulan Sya'ban (Bagian 2)

Materi Tematik | Seputar Bulan Sya'ban
Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Alhamdulillāh, shalawat dan salam semoga selalu Allāh berikan kepada Nabi kita Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, pada keluarga beliau, para shahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau sampai hari kiamat kelak.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Berkenaan dengan hal-hal penting Seputar Bulan Sya'ban.

▪PERKARA YANG BERKAITAN DENGAN PUASA DI DALAM BULAN SYA'BAN

🔹Perkara yang kedua: Bolehkah menggabungkan 2 niat dalam puasa Sya'ban?

⇛Misalkan, dia biasa puasa hari Senin, kemudian dia niat puasa hari Senin plus niat juga untuk puasa Sya'ban?

Jawabannya, Wallāhu A'lam, boleh.

Ini disebutkan dalam permasalahan fiqih. Saya sering mengatakan: "Bersyarikat di dalam niat."

Jadi, beberapa amal ibadah niatnya kita gabung, kita kerjakan dalam satu pekerjaan.

⇛Sama dengan kalau orang masuk masjid setelah adzan subuh. Di hadapan dia ada shalāt tahiyyatul masjid, ada shalāt dua raka'at sebelum subuh, ada shalāt setelah wudhu. Tiga niat ini dia gabung dan dia kerjakan cuma dua raka'at, itu boleh. Dan semoga pahalanya tiga.

⇛Sama juga seperti hari Jum'at dalam keadaan junub. Dia ingin mandi junub dan ingin juga mandi shalāt Jum'at, maka dia gabung niatnya. Mandi junub sekalian juga mandi shalāt Jum'at.

Ustadz, kalau mandi junubnya sebelum shalāt subuh bagaimana?

Bahkan tidak mengapa, karena memang berkaitan dengan shalāt Jum'at atau hari Jum'at, dan dia mandi pada hari Jum'at.

Kecuali kalau seandainya pada jam 9, jam 10 "bebaluhan" (berkeringat) lagi, sehingga kalau duduk di tengah orang banyak menimbulkan bau yang tidak nyaman maka lebih baik dia mandi sebelum shalat Jum'at.

⇛Tetapi pada asalnya, hukumnya boleh menggabung mandi junub dengan mandi shalāt Jum'at.

Syaratnya apa ustadz?

Lihat perkataan para ulama, syarat bolehnya menggabungkan niat-niat tadi.

⇛Yang disebutkan Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitāb " تقرير القواعد وتحرير الفوائد " mengatakan:

إذا اجتمعت عبادتان من جنس واحد في وقت واحد ليست إحداهما مفعولة على جهة القضاء ولا على طريق التبعية للأخرى في الوقت تداخلت أفعالهما، واكتفى فيهما بفعل واحد

"Jika terkumpul dua ibadah dari satu jenis di dalam satu waktu dan syaratnya yang satu bukan qadha atau yang satu bukan mengikuti ibadah sebelumnya, maka boleh diniatkan dengan dua niat satu pekerjaan."

Saya ulangi, Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang di muliakan oleh Allāh.

Menggabungkan niat puasa Sya'ban dengan puasa sunnah lainnya, bolehkah?

Maka jawabannya: boleh.

Tapi dengan syarat, yaitu :

① Bukan dari qadha.

⇛ Misalkan kalau dia punya hutang di bulan Ramadhan tahun lalu, dia ingin berpuasa membayar (meng-qadha) hutang tersebut dibulan Sya'ban. Dia niatkan dua, mengqadha Ramadhan dan berpuasa bulan Sya'ban, maka ini tidak boleh.

Kenapa?

Karena salah satunya qadha, tidak bisa.

② Salah satunya bukan ikutan dari ibadah sebelumnya.

⇛ Contoh, seorang wanita, di bulan Ramadhan dia punya hutang 6 hari hāidh. Di bulan syawal dia ingin berpuasa bulan syawal, karena ada hadīts yang berbunyi, "Barang siapa yang telah berpuasa Ramadhan lalu dia mengikutkan puasanya dengan 6 hari berpuasa dibulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh".

Orang ini ingin mengamalkan hadīts tapi dia masih punya hutang puasa 6 hari dibulan Ramadhan, maka dia tidak boleh menggabung niat meng-qadha puasa Ramadhan dengan puasa 6 hari dibulan Syawal.

Kenapa ?

Karena 6 hari dibulan Syawal adalah ikutan puasa Ramadhan, artinya 6 hari bulan Syawal bisa dilaksanakan setelah selesai puasa Ramadhan.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh.

🔗 Contoh-contoh ibadah yang bisa digabungkan niatnya :

⑴ Mandi junub dengan mandi shalāt Jum'at.

⑵ Mandi dan berwudhu, atau lebih mudahnya memahaminya, mandi mengangkat hadats besar dengan mengangkat hadats kecil bisa digabung sekaligus.

Artinya kalau orang junub diniatkan di dalam dirinya mengangkat hadats besar dan hadats kecil sekalian, habis mandi junub asalkan tidak kentut lagi, tidak kencing lagi maka dia boleh langsung shalāt tanpa berwudhu.

Kenapa ?

Karena hadats besarnya dan hadats kecilnya sudah terangkat berdasarkan niatnya.

Tentunya, tidak keluar kentut atau tidak keluar kencing setelah itu. 

Kalau pas mandi  keluar kentut maka ini tidak boleh, dia harus berwudhu sebelum shalāt.

Imām Syāfi'ī mengatakan:

وَإِنْ كَانَ جُنُبًا فَاغْتَسَلُ لَهُمَا جَمِيْعًا أَجْزَأَهُ

"Jika dia junub, maka dia mandi junub dan dia niatkan untuk mandi shalāt Jum'at, cukup baginya."

Kemudian juga didalam mengangkat hadits kecil, ada perkataan menarik dari Imām Baihaqi :

باب الدليل على دخول الوضوء في الغسل

"Bab: Dalīl bahwa wudhu masuk ke dalam mandi."

Jadi kalau orang mandi junub asal dia meniatkan mengangkat hadats besar dan hadits kecil, sesudah mandi junubnya dia boleh langsung shalāt tanpa berwudhu.

③ Shalāt tahiyyatul masjid dengan shalāt sunnah wudhu dan shalāt sunnah qabliyyah, bisa digabung tiga-tiganya.

Jadi, Bapak tidak perlu datang ke masjid tahiyyatul masjid dulu dua raka'at baru setelah itu bangun lagi shalāt qabliyyah dua raka'at baru setelah itu bangun lagi shalāt wudhu.

Maka jawabannya, ada dalīl bahwa setiap amal sesuai dengan niatnya. Dan itulah kemudahan di dalam agama Islam.

Thāyyib, Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhanahu wa Ta'ala.

🔗Adapun ibadah-ibadah/amalan  yang tidak boleh digabung diantaranya:

① Puasa  6 (enam) hari di bulan Syawal digabung dengan qadha Ramadhan.

② Shalāt dzuhur digabung niatnya dengan shalāt qabliyyah dzuhur.

Ini tidak boleh. Kenapa tidak boleh ? Karena ini ibadah tersendiri.

Shalāt dzuhur ibadah tersendiri, shalāt qabliyyah dzuhur ibadah tersendiri.

Bersambung In syā Allāh,  ke Bagian ke-3

_____________________________
🌍 BimbinganIslam.com

Download Audio: bit.ly/BiAS-Tmk-UAZ-01-06
Video Source: https://youtu.be/ZCy-iTiDWMg

📮Saran Dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam.com

Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Puasa Pada Bulan Sya'ban (Bagian 1)

Materi Tematik | Seputar Bulan Sya'ban
Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Alhamdulillāh, shalawat dan salam semoga selalu Allāh berikan kepada Nabi kita Muhammad Shallallāhu 'alayhi wa sallam, pada keluarga beliau, para shahābat serta orang-orang yang mengikuti beliau sampai hari kiamat kelak.

Bapak Ibu, Saudara Saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Berkenaan dengan hal-hal yang penting seputar bulan Sya'ban

▪ PERMASALAH-PERMASALAHAN YANG BERKAITAN DENGAN PUASA DI BULAN SYA'BAN

🔹 Permasalahan yang Pertama yaitu  larangan dalam sebuah hadīts tentang berpuasa sunnah setelah pertengahan bulan Sya'ban (jika sudah tanggal 16 Sya'ban sampai tanggal 29 Sya'ban kita dilarang berpuasa)

Padahal dalam hadīts sebelumnya kita dianjurkan untuk memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya'ban.

Kita lihat Hadītsnya Dari Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu (hadīts shahīh) Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا

"Jika bulan Sya'ban sudah dipertengahan maka janganlah kalian berpuasa."

(Hadīts riwayat Tirmidzi nimor 738 dan Abū Dāwūd nomor 2337)

⇛Artinya, dari mulai tanggal 16 sampai tanggal 29 janganlah kalian berpuasa.

Hadīts ini kalau kita tinjau dari  keshahīhannya hadīts nya, terjadi perbedaan pendapat diantara para ulamā.

⇛Yang menshahīhkan hadīts ini adalah: Imām Tirmidzi, Imām Ibnu Hibban, Imām Hakim, Imam Ibnu Abdilbar dan yang lainnya dan termasuk di dalamnya adalah Imām Albani rahimahullāh.

⇛Yang melemahkan hadīts ini adalah Imām Abdurrahman bin Mahdi seorang ulama hadīts , Imām Ahmad, Abu Zur'ah Al Asram dan yang lainnya.

Artinya terjadi perbedaan pendapat dalam penshahīhan derajat hadīts ini.

Bagaimana para ulamā menyikapi hadīts ini ? Karena kalau kita lihat hadīts-hadīts riwayat Bukhāri Muslim, bahwa 'Āisyah radhiyallāhu 'anhā bercerita bahwa Rasūlullāh shallallāhu 'alaihi wa sallam memperbanyak puasa di bulan Sya'ban.

Ada hadits dari 'Āisyah menceritakan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berpuasa hampir sebulan Sya'ban dan itu cerita 'Āisyah bukan sabda Rasūlullāh.

Sedangkan ini hadīts Rasūlullāh yang keluar, kalau kita lihat mana yang lebih kuat? Cerita shahābat tentang Rasūlullāh  atau hadīts Rasūl ?

Tentunya hadīts Rasūlullāh bila dilihat dari hadits qauli itu lebih kuat dibandingkan hadīts fi'li, hadīts yang merupakan ucapan Rasūlullāh shallallāhu 'alaihi wa sallam lebih kuat dibandingkan hadīts yang merupakan cerita tentang perbuatan Rasūlullāh.

Sekarang bagaimana memahami hadīts ini ?

Terjadi perbedaan pendapat diantara para ulamā dalam memahami hadīts ini.

⑴ Pendapat yang pertama

Dilarang berpuasa dari pertengahan bulan Sya'ban dan larangan ini berupa larangan makruh atau keharāman.

⇛Cara memahami hadīts tadi sebagian ulamā berpendapat bahwa dilarang berpuasa dari pertengahan bulan Sya'ban sebagaimana lahir (zhahir) dari hadīts ini, kecuali bagi siapa yang mempunyai kebiasaan berpuasa sebelumnya.

⇛Misalkan punya kebiasan puasa Senin-Kamis atau puasa Dawud atau puasa tanggal 13,14 dan 15 atau puasa yang lainnya.

⇛Atau yang sudah berpuasa dari awal bulan Sya'ban, maksudnya dari tanggal 1 terus sampai akhir nanti.

*Ini pendapat yang pertama dan merupakan pendapat mahzhab Syāfi'iyah.*

Disebutkan dalam kitāb Fathul Bari yang ditulis oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalāni rahimahullāh dan juga dalam kitāb Majmu' yang ditulis oleh Imām Nawawi yang bermadzhab Syāfi'ī.

·Imām Nawawi mangatakan di dalam kitab Riyadhush Shalihin yang artinya:

باب النهي عن تقدم رمضان بصومٍ بعد نصف شعبان إلا لمن وصله بما قبله أو وافق عادة له بأن كان عادته صوم الاثنين والخميس

"Bab, Larangan tentang mendahului puasa ramadhan dengan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya'ban, kecuali bagi siapa yang dia menyambung puasanya dari awal bulan Sya'ban atau jika puasanya bertepatan dengan kebiasaan puasa sunnah Senin-Kamis (maka silahkan dia berpuasa)."

⇛Adapun kalau dia tidak berpuasa dari awal kemudian dia mulai berpuasa ditanggal 16 maka ini dilarang (menurut pendapat yang pertama).

⑵ Pendapat yang kedua

Diperbolehkan berpuasa secara mutlak di bulan Sya'ban. Dan mereka menganggap hadīts tentang larangan berpuasa dipertengahan bulan Syaban adalah hadīts nya lemah.

*Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalāni* mengatakan yang artinya :

قَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ : يَجُوزُ الصَّوْمُ تَطَوُّعًا بَعْدَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَضَعَّفُوا الْحَدِيثَ الْوَارِدَ فِيهِ

"Jumhur ulama mengatakan: Boleh berpuasa sunnah secara mutlak setelah pertengahan bulan di bulan Sya'ban (mulai dari awal, pertengahan atau akhir). Dan mereka melemahkan hadīts ini ('Jika bulan Sya'ban sudah dalam pertengahan maka janganlah kalian berpuasa')."

Sebagaimana dikatakan oleh Imām Ibnu Qudamah (Kitab Al Mughnī) yang artinya :

لَيْسَ هُوَ بِمَحْفُوظٍ. وَسَأَلْتُ عَنْهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ , فَلَمْ يُصَحِّحْهُ

"Hadīts itu tidak shahīh, aku bertanya kepada Abdurrahman bin Mahdi dan beliau tidak menshahīhkan hadīts tersebut."

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

⇛Allāhu A'lam, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang kedua, bahwa mutlak *boleh* berpuasa di bulan Sya'ban.

Mau berpuasa dimulai tanggal 1 atau tanggal 16 atau kapan saja di bulan Sya'ban silahkan, karena berdasarkan cerita 'Āisyah bahwasanya Rasūlullāh berpuasa di bulan Sya'ban kecuali sedikit saja (tidak berpuasanya).

Lalu ustadz, hadīts tadi kan derajatnya shahīh ?

⇛Betul, hadīts tentang larangan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya'ban adalah shahīh.

Bagaimana menjawabnya?

⇛Yaitu larangannya berupa kemakruhan saja.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

⇛Jadi, tentang larangan berpuasa di pertengahan bulan Sya'ban hadīts nya kita katakan shahīh, pendapat yang lebih kuat adalah hadītsnya shahīh.

⇛Cuma larangannya berupa kemakruhan saja, kenapa ? karena banyak sekali hadīts-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallāhu 'alaihi wa sallam memperbanyak puasa di bulan Sya'ban.

Bersambung In syā Allāh,  ke Bagian ke-2

____________________________

Download Audio: bit.ly/BiAS-Tmk-UAZ-01-05
Video Source: https://youtu.be/ZCy-iTiDWMg

📮Saran Dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam.com

Sabtu, 21 Mei 2016

Seputar Bulan Sya'ban

Ibadah Yang Tidak Ada Contohnya Dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam Pada Bulan Sya'ban
(Bagian 1)
Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Alhamdulillāh, shalawat dan salam semoga selalu Allāh berikan kepada Nabi kita Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, pada keluarga Beliau, para shahabat serta orang-orang yang mengikuti Beliau sampai hari kiamat kelak.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Point yang ketiga yang berkenaan dengan bulan Sya'ban yaitu:

▪PERBUATAN YANG MENGADA-ADA DI DALAM BULAN SYA'BAN

Apa arti "mengada-ada" ? Mengada-ada yaitu :

√ Belum ada contohnya,
√ Belum ada syari'atnya ,
√ Belum ada dalilnya,
√ Tidak disyari'atkan dalam Islam.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Tujuan menyebutkan perkara ini :

⑴ Bukan ingin menyalah-nyalahkan kaum Muslim, bukan sok pintar atau bukan sok benar.

⑵ Ingin menasehati kaum muslim jika ada yang keliru karena kita sayang kepada kaum muslim, kita mencintai sesama muslim.

⑶ Bukan ingin memecah-belah diantara kaum muslim, bahkan ingin menyatukan kaum muslimin dengan beribadah hanya yang sesuai dengan Sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

🔹Perkara yang mengada-ada pertama di dalam bulan Sya'ban adalah:

⇛Mengkhususkan berpuasa di hari pertengahan bulan Sya'ban atau ibadah di malam hari pada pertengahan bulan Sya'ban.

⇛Jadi, siangnya berpuasa kemudian malamnya beribadah tertentu, itu belum ada contohnya, ini perkara yang mengada-ada.

🔸Hadits pertama:

Hadīts yang diriwayatkan oleh  Ibnu Mājah dari 'Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu 'anhu: berkata:

" _*Diriwayatkan (kata "diriwayatkan" di sini menunjukkan kelemahan)*_

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا. فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا

Jika pada pertengahan bulan Sya'ban maka malamnya beribadahlah, siangnya berpuasalah. Sesungguhnya Allāh turun ke langit dunia di malam nisfu Sya'ban sampai terbenam matahari.

Kemudian Allāh berfirman:

فَيَقُولُ: أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

↝Adakah yang minta ampun kepada-Ku, Aku langsung ampuni dia.
↝Adakah yang meminta rizki kepada-Ku, Aku berikan rizki kepada dia.
↝Adakah seseorang yang terkena penyakit kemudian dia minta sehat kepada-Ku, Aku akan sehatkan dia.

Adakah....adakah....adakah...

Sampai waktu subuh."

_*Hadīts ini maudhu' (palsu), kenapa?*_

Karena di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Abū Bakar bin Abdillāh.

⇛Imām Ahmad mengatakan, Abū Bakar bin Abdillāh sering memalsukan hadīts. Imām Bukhāri dan Imām Ahmad mengatakan seperti itu.

⇛Imām Nasāi mengatakan matruk, perawi ini ditinggalkan oleh ahli hadīts karena sangat suka memalsukan hadīts. Jadi hadītsnya palsu.

⇛Imām Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia adalah seorang perawi yang sering meriwayatkan hadīts-hadīts palsu.

⚠Saya sering mengatakan bahwa amalan yang mengada-ada dalam Islam dalīl nya tidak lebih dari  3 hal:

① Hadīts palsu,
② Hadīts lemah atau
③ Hadīts shahīh tetapi salah penempatan.

🔸Kemudian hadīts yang lain yang sering dipakai dan terdapat dalam kitāb Kanzul Ummal:

"Barang siapa yang menghidupkan malam Idul 'Ad-ha, Idul Fithr dan malam nisfu Sya'ban maka hatinya tidak akan mati ketika hari-hari semua hati mati."

⇛_*Derajat hadīts ini adalah hadīts yang mudhtharib (hadīts yang lemah sekali)*_ karena di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Marwan bin Salim.

⇛Imām Ahmad mengatakan, _*Marwan bin Salim ini "laisa bi tsiqah" (Orang yang tidak bisa dipercaya).*_

Ustadz, Imām Ahmad kok berani sekali ngata-ngatain orang?

"Bukan ngata-ngatain, tetapi ingin menjelaskan kelemahan hadīts."

⇛Imam Ad Daruquthni mengatakan, matrukul, orang ini ditinggalkan hadītsnya.

⇛Yahya ibnu Said Al Qaththan, seorang ulama hadīts , mengatakan: laisa bi syai', perawi ini tidak ada harganya.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

🔸Ada lagi hadīts yang ke-3 yang berkenaan dengan mengkhususkan amalan pada malam nisfu Sya'ban.

Ingat, di awal pertemuan tadi kita jelaskan bahwa memang malam nisfu Sya'ban malam yang utama, apa keutamaannya?

⇛Keutamaannya yaitu Allāh akan mengampuni seluruh makhluk kecuali yang berbuat syirik, yang bertengkar dan yang hasad.

_*Diriwayatkan*_ dari Mu'ādz bin Jabbal  radhiyallāhu 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Barang siapa yang menghidupkan 5 malam, maka wajib baginya mendapatkan surga, yaitu malam hari tarwiyyah (tanggal 7 malam 8 dari bulan Dzulhijjah) malam hari arafah (malam ke 9 bulan Dzulhijjah), malam hari Idul Adh-ha, malam hari Idul Fithr dan malam nisfu Sya'ban."

_*⇛Hadīts ini adalah hadīts yang di dalamnya ada perawi yang matruk sehingga bisa dikategorikan hadīts yang maudhu atau lemah sekali.*_

Di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Abdurrahman bin Zaid Al Ammi, kata Yahya bin Said Al Qaththan: kadzab, tukang dusta.

_*Dan kalau ada didalam hadīts ada seorang perawi yang kadzab, itu pasti hadīts palsu.*_

_*⇛Dan Imām Nasāi mengatakan matruk, hadīts ini adalah lemah sekali*_.

Kemudian juga di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Suwaib ibn Said, dia dhaif, seorang perawi yang lemah.

Jadi cacat hadīts ini banyak sekali.

Bersambung In syā Allāh,  ke Bagian ke-2

____________________________
Download Audio: bit.ly/BiAS-Tmk-UAZ-01-03
📺 Video Source: https://youtu.be/ZCy-iTiDWMg

📮Saran Dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam.com

Seputar Bulan Sya'ban.

Ibadah Yang Tidak Ada Contohnya Dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam Pada Bulan Sya'ban (Bagian 2)
-----------------------------------
Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Alhamdulillāh, shalawat dan salam semoga selalu Allāh berikan kepada Nabi kita Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, pada keluarga beliau, para shahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau sampai hari kiamat kelak.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

▪PERBUATAN YANG MENGADA-ADA DI DALAM BULAN SYA'BAN

🔹Amalan yang kedua yang diada-adakan di dalam Islam dan belum ada contohnya dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yaitu shalat yang disebut dengan shalat alfiyah.

Shalat ini dikerjakan di malam pertengahan bulan Sya'ban.

Perhatikan! Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Diriwayatkan dari Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam (sekali lagi, kalau ada kata *_"diriwayatkan" itu maksudnya lemah*_):

"Wahai Ali, barang siapa yang shalat 100 raka'at pada malam nisfu Sya'ban, pada setiap raka'at membaca Al Fatiha lalu Qul huwallāhu 'ahad 10 kali (jadi setiap raka'at seperti itu) maka Allāh akan:

Menghapuskan dosanya, menjadikan dia orang yang paling bahagia kemudian Allāh akan utus kepadanya 70 ribu malaikat yang menuliskan untuknya kebaikan-kebaikan, dan 70 ribu malaikat yang lain menghapuskan darinya kesalahan-kesalahan.

Dan diangkatkan derajatnya sampai awal tahun. Allāh akan memberikan kedudukan kepadanya di Surga Adn bersama 70 ribu malaikat atau 700 ribu malaikat, yang mana 70 ribu malaikat tersebut membuatkan untuknya istana-istana dan kota-kota.

Dan juga menumbuhkan (di dalam istana dan kota-kota tadi) pohon yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik di dalam hati manusia."

_*Hadist ini menunjukkan keutamaan shalat alfiyah._*

Imam Syaukani yang bermadzhab Syafi'i mengatakan: _*huwa maudhu, ini hadits palsu*_.

Ibnu Jauzi di dalam kitabnya Al Maudhu'at mengatakan: _*hadits ini tidak kami ragukan bahwasanya dia adalah palsu.*_

Jadi capek-capek, tidak ada pahalanya. Ini yang disebut dalam surat Al Ghasiyah:

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ (١) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ (٢) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (٣)

"Apakah kamu mendapati cerita tentang Al Ghasiyah ? Wajah-wajah pada hari kiamat tertunduk lesu. Amalannya tidak ada nilainya (kosong seperti debu yang beterbangan)."

100 raka'at tetapi tidak sesuai dengan contoh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Bapak, Ibu, Saudara-saudari yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Hadits ini terkenal kenapa?

Karena disebutkan di dalam kitab Ihya Ulumuddin yang ditulis oleh Al Ghazali rahimahullāh.

Akan tetapi, Al Hafizh Al Iraqi di dalam kita Al Mughni an Hamlil Asfar fil Asfar fi Takhriji ma'a fil Ihya min Akhbar, beliau meneliti hadits-hadits yang ada di dalam kitab Ihya Ulumuddin yang sangat terkenal berkata:

_*"Hadits tentang shalat malam pertengahan bulan Sya'ban adalah hadits yang bathil."*_

Ada cerita yang disebutkan oleh Imam Ath Thartusy di dalam kitab beliau Al Bāitsu 'ala inkari Bid'i wal Hawadits, tentang terjadinya shalat alfiyah ini.

Bahwasanya ada seseorang yang shalat di masjidil Aqsha, suaranya bagus. Shalatnya pas di pertengaham bulan Sya'ban. Karena suaranya bagus maka orang pada ikut shalat.

Akhirnya tahun yang akan datang begitu juga, setiap pertengahan bulan Sya'ban dia shalat dan orang-orang ikút. Akhirnya terkenal dimasyarakat dengan nama shalat alfiyah.

Kapan ini terjadi?

Ini terjadi pada tahun 448H, jadi 400 tahun lebih setelah Nabi meninggal baru ada shalat ini.

Maka tidak benar shalat ini.

Imam Nawawi rahimahulllāh mengatakan di dalam kitab beliau Al Majmu' Syarh Al Huhadzdzab:

"_*Shalat raghaa-ib*_ yang dikerjakan 12 rakaat antara maghrib dan isya' yang dikerjakan di malam jum'at pertama bulan Rajab dan shalat malam nisfu Sya'ban yang disebut dengan _*shalat alfiyah*_ yang dikerjakan 100 rakaat, _*kedua shalat ini adalah shalat yang mengada-ada, yang buruk, yang mungkar. Dan jangan sampai tertipu meskipun 2 shalat ini disebutkan di dalam kitab Qutul Qulub dan kitab Ihya Ullumuddin.*_"

*Ini perkataan Imam Nawawi yang bermadzhab Syāfi'i yang beliau adalah salah satu muharirul madzhab kata para ulama, yaitu peneliti madzahb Syāfi'i yang kata-kata beliau dijadikan sandaraan dalam madzhab Syāfi'i.*

Jadi jangan nanti mengaku madzhab Syafi'i padahal madzhab Syāfi'i menyatakan itu adalah perbuatan yang tidak ada contohnya dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

"Jangan tertipu dengan hadits yang disebutkan dalam hal keduanya itu (shalat raghā-ib dan shalat alfiyah) karena sesungguhnya semua hadits itu adalah hadits yang bathil."

🔹Hal yang ketiga yang mengada-ada adalah mengkhususkan berziarah kubur pada malam nisfu Sya'ban atau pada hari pertengahan bulan Sya'ban.

Ada haditsnya, dari A'isyah radhiyallāhu 'anha:

"Aku kehilangan Rasulullāh shallallāhu 'alaihi wasallam pada suatu malam, lalu aku keluar rumah mencari Beliau. Ternyata Beliau berada di kuburan Baqi' pada malam nisfu Sya'ban."

Kemudian, singkat cerita, Rasulullāh shallallāhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Allāh turun pada pertengahan bulan Sya'ban ke langit dunia dan Allāh mengampuni makhluk- makhluknya sebanyak bulu-bulu yang ada pada kulit domba."

Ini dijadikan sebagai dalill oleh sebagian orang bahwa berzirah kubur pada malam nisfu Sya'ban atau pada hari nisfu Sya'ban.

_*Tetapi hadits ini adalah hadits yang lemah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan tidak bisa diambil sebagai sandaran hukum.*_

Wallāhu A'lam.

Hal lainnya yang diada-adakan adalah:

🔹Hal yang keempat, yaitu mengkhususkan sedekahdi malam pertengahan bulan Sya'ban.

🔹Hal yang kelima, menganggap malam pertengahan bulan Sya'ban atau malam nisfu itu adalah malam lailatul qadar.

_*Ini lima perkara yang diada-adakan dalam agama Islam, tentang malam pertengahan bulan Sya'ban.*_

__________________

Download Audio: bit.ly/BiAS-Tmk-UAZ-01-04
📺 Video Source: https://youtu.be/ZCy-iTiDWMg

📮Saran Dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam.com

Senin, 16 Mei 2016

KEBAIKAN ISLAM SESEORANG, IALAH DENGAN MENINGGALKAN APA-APA YANG TIDAK BERMANFAAT

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ)). حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهَ هَكَذَا.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: "Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya'." [Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu]

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh (dengan beberapa syawahidnya). Diriwayatkan oleh:
1. At-Tirmidzi, no. 2317.
2. Ibnu Majah, no. 3976.
3. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, XIV/320, no. 4132.
4. Ibnu Hibban, no. 229 – at-Ta'lîqâtul Hisân.
5. Ibnu Abid-Dunya dalam kitab ash-Shamtu (no. 108) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallah anhu.

Diriwayatkan juga oleh: Abu Nu'aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VIII/273-274, no. 12181), Ahmad (I/201), ath-Thabrani dalam Mu'jamul-Kabîr (no. 2886) dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Syawahid hadits ini dari Abu Bakar, Husain bin Ali, dan Zaid bin Tsabit. Yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Hadits Abu Hurairah di atas dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam at-Ta'lîqâtul-Hisân 'ala Shahîh Ibni Hibban, no. 229).

SYARAH HADITS
Hadits di atas merupakan salah satu prinsip dari prinsip-prinsip adab dan etika yang agung. Imam Abu 'Amr bin Shalah Radhiyallahu anhu menceritakan dari Abu Muhammad bin Abi Zaid Radhiyallahu anhu, imam madzhab Mâliki pada masanya, bahwa ia berkata: "Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits: (1) sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , 'Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam,' (2) sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Di antara kebaikan keislaman seseorang, ialah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya,' (3) sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ringkas kepada orang yang meminta wasiat kepadanya, 'Janganlah engkau marah,' dan (4) sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Orang mukmin itu mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya'." [1]

Makna hadits ini, bahwasanya di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya. Dia hanya mencukupkan diri dengan berbagai perkataan dan perbuatan yang bermanfaat baginya.

Makna (يَعْنِيْهِ) "ya'nîhi" dalam hadits ini, ialah perhatian (inâyah)nya tertuju padanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Makna al-inâyah, ialah perhatian yang lebih terhadap sesuatu. Seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, dan tidak ia inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan keinginan jiwa, namun karena pertimbangan syari'at Islam. Oleh karena itu, beliau menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya.

Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia meninggalkan ucapan dan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam, karena Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban seperti yang telah dijelaskan dalam hadits Jibril Alaihissallam (hadits ke-2 kitab al-Arba'în) dan hadits-hadits yang lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

…احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَتَعْجَزْ…

… Berkemauan keraslah kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu, dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah bersikap lemah…."[2]

Para Ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfat, sebagian besar ditujukan kepada menjaga lisan (lidah), dari perkataan yang sia-sia. Prinsip yang mendasar ialah meninggalkan hal-hal yang diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ.

Seorang muslim, ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya; dan orang yang hijrah, ialah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang.[3]

Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia akan meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya; baik itu hal-hal yang diharamkan, hal-hal syubhat, hal-hal makruh, dan hal-hal mubah yang berlebihan yang tidak dibutuhkan, karena itu semua tidak bermanfaat bagi seorang Muslim. Jika keislaman seseorang telah baik dan mencapai tingkatan ihsan, maka ketika beribadah kepada Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak melihat-Nya maka Allah melihatnya. Maka, barang,siapa beribadah kepada Allah dengan mengingat kedekatan-Nya dan penglihatan-Nya kepada Allah dengan hatinya atau mengingat kedekatan dan penglihatan Allah kepadanya, sungguh keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat baginya.

Kedua kedudukan itu membuahkan sifat malu kepada Allah Ta'ala dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ ، مَنِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى ، وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ ؛ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ.

Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu. Barang siapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu, hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya, dan hendaklah ia selalu mengingat kematian dan busuknya badan. Barang siapa menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia, dan barang siapa melakukan hal itu, sungguh, ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.[4]

Salah seorang yang arif mengatakan "jika engkau berbicara, ingatlah pendengaran Allah terhadapmu. Jika engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu".[5] Hal ini telah diisyaratkan oleh Al-Qur`ân di banyak tempat, misalnya firman Allah Ta'ala:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tidak ada satu kata yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). [Qâf/50:18].

Firman Allah Ta'ala:

أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لَا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ ۚ بَلَىٰ وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ

Ataukah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan Kami (para Malaikat) selalu mencatat di sisi mereka. [az-Zukhruf/43:80].

Banyak manusia tidak membandingkan antara ucapannya dan perbuatannya. Akibatnya ia bicara ngawur, sia-sia, tidak ada bermanfaat, dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui oleh Sahabat Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ketika ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apakah kita juga akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.

"Wahai Mu'adz! Semoga ibumu selamat. Tidak ada yang membuat manusia tertelungkup di atas wajahnya di neraka, melainkan disebabkan hasil lidah mereka"[6].

Allah Ta'ala menegaskan, tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan manusia di antara mereka. Allah Ta'ala berfirman:

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ …

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. (Qs. an-Nisâ`/4:114).

Dan hadits ini menunjukkan, bahwasanya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat termasuk bagian dari kebaikan keislaman seseorang. Jika ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya dan mengerjakan apa yang bermanfaat baginya, sungguh, telah sempurnalah kebaikan keislamannya.

Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) berkata: "Ketahuilah bahwa seorang mukallaf (yang telah dibebani hukum syari'at/sudah baligh) seharusnya dapat menjaga lisannya untuk tidak berbicara, kecuali untuk hal-hal yang benar-benar bermanfaat. Apabila menurut pertimbangannya kemaslahatan antara diam dan berbicara adalah sama, maka menurut as-Sunnah, ia lebih baik mengambil sikap diam. Sebab, pembicaraan yang mubah (boleh) terkadang bisa membawa kepada perbuatan haram atau makruh. Yang demikian banyak sekali terjadi (menjadi kebiasaan). Ingat, mencari selamat adalah sesuatu keberuntungan yang tiada taranya. [Kitab Riyâdush-Shâlihîn, Bab Tahriimil-Ghibah wal-'Amri bi Hifzhil-Lisân].

Apabila seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka baiklah keislamannya. Apabila ia baik keislamannya, maka akan dilipatgandakan kebaikannya.

Banyak sekali hadits yang menerangkan tentang seseorang yang baik keislamannya, kebaikan-kebaikannya dilipatgandakan, adapun kesalahan-kesalahannya dihapuskan. Dan yang nampak, bahwa pelipatgandaan kebaikan itu sangat ditentukan dari baik atau tidaknya keislaman seseorang.

Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda:

إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ ؛ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، وَكُلُّ سَيِّئَةٍ تُكْتَبُ بِمِثْلِهَا، حَتَّى يَلْقَى اللهَ عَزَّ وَجَلَّ.

Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang dia kerjakan ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, dan setiap kesalahan yang dilakukannya ditulis dengan kesalahan yang sama hingga dia bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.[7]

Satu kebaikan dilipatgandakan hingga sepuluh kali lipat merupakan suatu kepastian. Pelipatgandaan kebaikan itu sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, dan kebutuhan kepada amal tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang dana untuk jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, dan saat-saat di mana nafkah diperlukan.[8]

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ كَتَبَ اللهُ لَهُ كُلَّ حَسَنَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا وَمُحِيَتْ عَنْهُ كُلُّ سَيِّئَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا ؛ ثُمَّ كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَّ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا.

Apabila seorang hamba masuk Islam lalu baik keislamannya, Allah menulis baginya setiap kebaikan yang pernah dia kumpulkan dan dihapus darinya setiap kesalahan yang pernah dia kumpulkan. Setelah itu yang terjadi ialah qisash; satu kebaikan dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat dari nilai kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat, dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama kecuali jika Allah memaafkannya.[9]

Yang dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang dikumpulkan pada hadits di atas, ialah kebaikan dan kesalahan yang terjadi sebelum Islam. Ini menunjukkan, bahwa seseorang yang diberikan pahala karena kebaikan-kebaikannya pada saat dia masih kafir, apabila dia masuk Islam, dan kesalahannya dihapus apabila dia masuk Islam, tetapi dengan syarat yaitu keislamannya baik, dan menjauhi berbagai kesalahan itu setelah dia masuk Islam. Imam Ahmad menegaskan hal ini. Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits dalam ash-Shahîhain dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu , ia berkata, "Wahai Rasulullah! Apakah kami akan disiksa karena apa yang kami lakukan pada masa Jahiliyyah?"

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

أَمَّا مَنْ أَحْسَنَ مِنْكُمْ فِي اْلإِسْلاَمِ فَلاَ يُؤَاخَذُ مِنْهَا، وَمَنْ أَسَاءَ ؛ أُخِذَ بِعَمَلِهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَفِي اْلإِسْلاَمِ.

Adapun seseorang dari kalian yang berbuat kebaikan dalam masa Islamnya, dia tidak akan disiksa karenanya. Namun barang siapa berbuat tidak baik, dia akan disiksa karena perbuatannya pada masa Jahiliyyah dan masa Islam.[10]

Sahabat 'Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhu , ketika masuk Islam ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Aku ingin memberikan syarat!"
Beliau menjawab, "Engkau mensyaratkan apa?"
Aku menjawab, "Agar Allah mengampuniku," beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Islam menghapuskan apa (kesalahan) yang sebelumnya?"
Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullah disebutkan: "Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya". [11]

Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu berkata, "Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang telah aku perbuat pada masa Jahiliyyah, berupa sedekah atau membebaskan budak atau menyambung silaturahmi; apakah ada pahala padanya?" Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Engkau masuk Islam bersama kebaikan yang telah engkau perbuat".[12]

Ini menunjukkan, bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir akan diberikan pahala apabila dia masuk Islam, dan apabila baik keislamannya akan dilipatgandakan pahalanya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, dan mudah-mudahan keislaman kita semakin menjadi baik.

FAWÂ`ID HADITS
1.Agama Islam menghimpun berbagai bentuk kebaikan, dan kebaikan-kebaikan Islam ini terhimpun dalam dua kata, Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ …

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…[an-Nahl/16:90].

2. Tolok ukur mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, ialah dengan Syariat Islam.

3. Perbuatan seseorang dalam meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak ada kaitannya dengan berbagai urusan dan kepentingannya, ini merupakan tanda kebaikan keislamannya.

4. Orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka hal itu merupakan indikasi kekurangan dalam agamanya.

5. Hendaklah seorang muslim mencari berbagai kebaikan keislamannya dan meninggalkan segala apa yang tidak bermanfaat baginya sehingga merasa tenang. Sebab, bila ia disibukkan dengan urusan yang tidak penting dan tidak bermanfaat, akan membuat dirinya lelah.

6. Hendaklah seorang muslim memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Dan hal ini merupakan jalan selamat.

7. Dianjurkan untuk menjauhi perkara-perkara yang rendah dan tidak bermanfaat.

8. Dianjurkan untuk melatih jiwa dan membersihkannya, yaitu dengan menjauhkannya dari berbagai kekurangan, kehinaan, dan syubhat yang mengotorinya.

9. Sibuk dan mencampuri urusan orang lain merupakan perbuatan sia-sia dan sebagai tanda lemahnya keimanan, serta dapat menimbulkan perpecahan dan pemusuhan antara manusia.

10. Hati dan lisan yang sibuk dengan berdzikir kepada Allah Ta'ala sesuai dengan sunnah adalah hati yang tenang.

11. Seorang muslim harus berfikir sebelum berkata dan berbuat, apakah perkataan dan perbuatannya bermanfaat ataukah tidak, bermanfaat tidak untuk dirinya, keluarganya, dan untuk Islam dan kaum muslimin menurut tolok ukur syari'at.

12. Amar ma'ruf dan nahi munkar adalah perkataan dan perbuatan yang bermanfaat, akan tetapi harus menurut ketentuan syariat.

13. Apabila keislaman seseorang itu baik, maka akan dilipatgandakan pahalanya. Wallahu a'lam.

Marâji`:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu'jamul Kabîr.
3. Ash-Shamtu, karya Ibnu Abid Dunya. Tahqîq: Abu Ishaq al-Khuwaini.
4. Al-Wâfi fî Syarhil Arba'în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
5. Hilyatul-Auliyâ`.
6. Jâmi'ul-'Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu'aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
7. Kutûbus Sab'ah.
8. Mushannaf 'Abdur-Razzaq.
9. Qawâ`id wa Fawâ`id minal-'Arba'în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
10. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta'liqâtul Hisân 'ala Shahîh Ibni Hibban.
11. Syarhul-Arba'în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlîh al-'Utsaimîn.
12. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi
13. Tafsîr Ibni Katsir.
14. Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/Jumadil Ula 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Jâmi'ul 'Ulâm wal-Hikam (I/288).
[2]. Shahîh. HR Muslim (no. 2664), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[3]. HR Bukhâri (no. 10) dan Muslim (no. 40), dari 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash Radhiyallahu anhuma.
[4]. Hasan. HR Ahmad (I/387), at-Tirmidzi (no. 2458), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033), dan al-Hakim (IV/323) dari Sahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu . Derajat hadits ini hasan dengan seluruh jalannya. Lihat Shahîh Jâmi'ush-Shagîr (no. 935).
[5]. Jâmi'ul 'Ulûm wal-Hikam (I/290).
[6]. Shahîh. HR Ahmad (V/230, 236, 237, 245), at-Tirmidzi (no. 2616), an-Nasâ`i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 11330), 'Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 20303), Ibnu Majah (no. 3973), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Îmân (no. 1, 2), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (IX/20), ath-Thayalisi (no. 560), ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul-Kabîr (XX/200, 291, 294, 304, 305), al-Hakim (II/412-413), dan Ibnu Hibban (no. 214).
[7]. Shahîh. HR Muslim (no. 129).
[8]. Jâmi'ul-'Ulûm wal-Hikam (I/295).
[9]. Shahîh. HR al-Bukhâri secara mu'allaq (I/88 –Fat-hul-Bâri) dan dimaushulkan oleh an-Nasâ`i (VIII/105-106).
[10]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6921) dan Muslim (no. 120).
[11]. Shahîh. HR Muslim (no. 121) dan Ahmad (IV/205).
[12]. Shahîh. HR Bukhâri (no. 1436, 2220, 2538, 5992) dan Muslim (no. 123)

Jumat, 13 Mei 2016

MACAM-MACAM KEWAJIBAN (RUKUN) DAN SUNNAH WUDHŪ'

Matan Abu Syuja' . Kitab Thahārah
Ustadz Fauzan ST, MA

MATAN KITAB:

(فصل) وفروض الوضوء ستة أشياء النية عند غسل الوجه وغسل الوجه وغسل اليدين إلى المرفقين ومسح بعض الرأس وغسل الرجلين إلى الكعبين والترتيب على ما ذكرناه.

Rukun atau fardhu-nya wudhu ada 6 (enam) yaitu:
1. Niat saat membasuh muka.
2. Membasuh muka.
3. Membasuh kedua tangan sampai siku.
4. Mengusap sebagian kepala.
5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
6. Dilakukan secara tertib dari no. 1 sampai 5.
➖➖➖➖➖➖➖

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah kali ini Penulis akan memulai membahas tentang perkara-perkara yang terkait dengan kewajiban-kewajiban (rukun-rukun) dan sunnah-sunnah wudhū'.

■ PERTAMA | KEWAJIBAN WUDHŪ'

((وفروض الوضوء ستة أشياء))

((Kewajiban wudhū' ada 6 perkara))

Dan kewajiban-kewajiban (rukun-rukun) di dalam wudhū' yaitu apabila seseorang meninggalkan rukun/kewajiban tersebut maka wudhū' nya menjadi tidak sah.

Di dalam banyak pembahasan bahwa kewajiban (al-fardhu) dan rukun adalah kata yang bersinonim (maknanya sama).

Al-wudhū'u (الوُضُوْعُ):

• Secara bahasa: berasal dari الوَضَاءَةُ (kebaikan/kebersihan)

• Secara istilah adalah menggunakan air untuk membersihkan anggota wudhū' yang telah ditentukan didalam ayat.

Allāh Ta'āla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melaksanakan shalat maka basuh/cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai ke siku serta usaplah kepala kalian dan basuhlah kaki-kaki kalian sampai ke mata kaki."
(QS Al-Maidah: 6)

Disini Mushannif mengatakan :

Dan kewajiban/rukun dalam wudhū' ada 6 perkara (secara ringkas) yaitu :

● RUKUN ⑴

((النية عند غسل الوجه))

((Niat pada saat membasuh muka))

● RUKUN ⑵

((وغسل الوجه))

((Membasuh muka))

● RUKUN ⑶

((وغسل اليدين إلى المرفقين))

((Membasuh/mencuci kedua tangan sampai siku tangan))

● RUKUN ⑷

((ومسح بعض الرأس))

((Mengusap sebagian kepala))

● RUKUN ⑸

((وغسل الرجلين إلى الكعبين))

((Membasuh/mencuci kedua kaki sampai dengan mata kaki))

● RUKUN ⑹

((والترتيب على ما ذكرناه))

((Berurutan/tertib sesuai dengan apa yang telah disebutkan))

Sebelum kita menerangkan furūdhul wudhū', kita akan menyebutkan :

■ SYARAT-SYARAT WUDHŪ'

⑴ Islam
⑵ Tamyiz (bisa membedakan)
⑶ Taklīf (seorang yang baligh dan berakal)
⑷ Bersih dari haidh dan nifas
⑸ Air yang dipakai adalah air yang thahūrun (suci dan mensucikan)
⑹ Menghilangkan penghalang yang menghalangi antara air dengan kulit (seperti cat dan lainnya) karena akan menghalangi sampainya air ke kulit.

Kemudian, kita akan membahas rukun wudhū' yang disebutkan oleh Penulis.

■ PENJELASAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN WUDHŪ'

⑴ NIAT

Berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya."

Oleh karena itu didalam madzhab Syāfi'ī disebutkan bahwasanya waktu niat yang wajib adalah "manakala seseorang hendak membasuh wajahnya".

Karena wajah adalah anggota pertama yang wajib dibasuh. Apabila berniat sebelum itu maka hukumnya menjadi mustahab, seperti berniat pada saat mulai mencuci kedua telapak tangan.

Tentang masalah niat, terdapat khilaf para ulama, apakah dia termasuk kewajiban atau sunnah dalam wudhū'.

⑵ MENCUCI WAJAH

Dalil : Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla :

... فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ...

"... Basuhlah wajah-wajah kalian..."َ (QS Al Māidah: 6)

⇒ Maksud al-ghasl (mencuci) yaitu mengalirkan air pada anggota wudhū' dan meratakannya.

⇒ Maksud al-wajh (wajah) menurut Ibnu Katsir bahwasanya batasan wajah menurut para ahli fiqh :

√ Panjangnya : mulai tumbuhnya rambut di kepala atas sampai ujung dagu.

√ Lebarnya : antara kedua telinga.

⇒ Membasuh wajah, para ulama ittifaq (bersepakat) bahwa wajah termasuk anggota tubuh.

⑶ MEMBASUH/MENCUCI KEDUA TANGAN SAMPAI KE KEDUA SIKU

Kata إِلَى (ke) di sini maksudnya adalah مَعَ atau maksudnya siku termasuk di dalam anggota wudhū'.

Dalil : Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla :

... وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ...

"...Dan cucilah kedua tangan kalian sampai (kedua) siku..." (QS Al Māidah: 6)

⇒ Sebagaimana tadi disebutkan bahwasanya makna إِلَى di sini adalah مَعَ, artinya cucilah tangan kalian sampai kedua siku kalian termasuk juga bagian anggota yang dicuci.

⇒ Maknanya disini adalah wajib meratakan air ke seluruh kulit maupun bulu yang ada ditangan dan menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi air tersebut sampai kepada kulit.

⑷ MENGUSAP SEBAGIAN KEPALA

Allāh Ta'āla berfirman :

... وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ...

"...Dan usaplah (sebagian dari) kepala kalian..." (QS Al Māidah: 6)

Ini adalah pendapat di kalangan Asy-Syāfi'iyyah dengan berdalil pada bahwa huruf ب di ayat tersebut adalah bermakna li tab'īdh (sebagian), bukan seluruhnya.

Namun pendapat yang rajih/kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Malikiyyah, Hanabilah dan yang lainnya; yaitu bahwa "Merupakan kewajiban adalah mengusap seluruh kepala".

Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Bāz, Syaikh 'Utsaimin dan Syaikh Al-Albāni.

Dalil :

• ⑴ Bahwasanya huruf ب pada ayat diatas tidaklah menunjukkan makna sebagian.

Hal ini diperkuat dengan beberapa keterangan dari hadits-hadits yang lain.

• ⑵ Hadits yang menerangkan tentang tata cara wudhū' Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menunjukkan bahwasanya yang dimaksud mengusap kepala adalah seluruh kepala (bukan sebagiannya).

Namun demikian, dikalangan Syāfi'iyyah juga bersepakat bahwa "Merupakan kesempurnaan adalah apabila mengusap seluruh kepala, akan tetapi apabila hanya sebagian kepala diusap maka tetap sah."

✓Pendapat yang benar adalah pendapat jumhur yaitu bahwasanya mengusap kepala adalah termasuk rukun/kewajiban dalam wudhū'.

Sebagaimana dalam hadits disebutkan tentang wudhū' Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, disebutkan:

...فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ...

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memulai kedua tangannya dari depan dan mengembalikkannya dari belakang."

...بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ, حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ, ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

"...Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mulai dari depan kemudian ditarik belakang sampai tengkuknya, kemudian dikembalikan lagi kedepan ke tempat Beliau memulai mengusap kepalanya..."
(HR Bukhari dan Muslim)

⇒ Berapa jumlah usapan yang dilakukan?

Pendapat jumhur bahwasanya jumlah usapan yang dilakukan hanya sekali saja dan tidak disyari'atkan untuk diusap berulang-ulang, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :

...فَمَسَحَ رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهٍمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً...

"...Kemudian Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mengusap kepalanya dimulai dari depan dan dikembalikan dari belakang sekali saja..."
(HR Bukhari Muslim dengan lafazh dari Muslim)

HUKUM MENGUSAP TELINGA

Dalam pendapat Syāfi'īyyah bahwasanya mengusap telinga termasuk ke dalam sunnah wudhū', bukan masuk ke dalam wajib wudhū'.

Namun yang dirajihkan oleh Syaikh Bin Bāz, Syaikh 'Utsaimin dan merupakan fatwa Lajnah Dāimah adalah pendapat Hanābilah yang mengatakan bahwa "Wajib hukumnya mengusap telinga."

Dalil: Hadits dari Ibnu 'Umar bahwasanya beliau berkata :

...الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ...

"...Bahwasanya kedua telinga termasuk dari kepala..."

(HR Dāruquthni dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahīhul Jāmi')

✓Oleh karena itu wajib mengusap telinga sebagaimana wajib mengusap kepala karena telinga mengambil hukum kepala.

Tata cara mengusap kepala yaitu dimulai dari depan kemudian ditarik ke belakang sampai tengkuk, kemudian dikembalikan lagi ke depan sampai dimulainya usapan tadi.

Kemudian mengusap kedua telinga bagian depan, bagian luar maupun bagian dalam tanpa mengambil kembali air yang baru.

⑸ MEMBASUH KEDUA KAKI SAMPAI MATA KAKI

Dalil 1 :

...وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ...

"...Dan membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki..." (QS Al-Māidah: 6)

Dan makna إِلَى disini sebagaimana yang telah disebutkan yaitu maknanya مَعَ, membasuh kedua kaki dan juga sampai kedua mata kakinya.

Dalil 2 :
Ijma' para ulama bahwasanya wajibnya mencuci kedua kaki sampai mata kaki (mata kaki adalah termasuk bagian tubuh yang harus dicuci).

Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah memperingatkan dengan peringatan yang keras saat seorang shahābat yang ada sebagian dari kakinya yang tidak terbasuh, padahal hanya kecil saja (sebesar mata uang).

Maka kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :

ويل للأعقاب من النار, إسبغ الوضوع

"Celakalah kaki-kaki (yang terbuat) dari (api-api) neraka, sempurnakanlah wudhū'."
(Hadits shahih riwayat Ahmad)

Maksudnya adalah celakalah bagi pemilik-pemilik kaki yang melalaikan didalam menyempurnakan wudhū' nya di dalam mencucinya.

Oleh karena itu para Sahabat, hendaknya kita mawas diri dan berusaha untuk menyempurnakan wudhū' kita.

⑹ BERURUTAN/TARTIB

Yaitu melakukannya secara berurutan sesuai dengan perintah Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dan rukun tartib dalam berwudhū' adalah termasuk fardhu sehingga tidak sah seseorang apabila dia berwudhū' tidak sesuai dengan urutan yang telah diperintahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Ini adalah pendapat jumhur dikalangan Syāfi'īyyah, Malikiyyah dan Hanabilah dan juga pendapat yang dipilih oleh Syaikh Bin Bāz, Syaikh 'Utsaimin dan juga fatwa Lajnah Daimah.

Dan tidak disebutkan dalam matan bahwasanya termasuk furūdhul wudhū' dari kalangan jumhur selain Syāfi'iyyah adalah:

⑺ MUWĀLAH

Maksudnya adalah seseorang mencuci bagian anggota wudhū' langsung setelah dia selesai mencuci dari anggota wudhū' yang sebelumnya.

Muwālah ini termasuk furūdhul wudhū' di dalam madzhab Malikiyyah dan Hanabilah seta dipilih oleh Syaikh Bin Bāz dan Syaikh 'Utsaimin.

Adapun madzhab Syāfi'īyyah maka muwālah tidak termasuk di dalam rukun wudhū' sehingga tidak disebutkan dalam matan.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan taufiq kepada kita agar kita dapat beribadah sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan terhindar dari peringatan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam terhadap orang-orang yang tidak menyempurnakan wudhū' nya, yang meremehkan wudhū' nya dan meremehkan thaharahnya.

وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين
_____________________________

Download audio: bit.ly/BiAS-FZ-H015
📮Saran Dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
Almanzilatul.khairiyah@gmail.com
SaranKritik@bimbinganislam.com

MACAM-MACAM NAJIS DAN CARA MENGHILANGKANNYA

Matan Abū Syujā'. Kitāb Shalāt
Ustadz Fauzan ST, MA

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para Sahabat bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah ke 26 ini, kita akan membahas seputar "Najis Dan Cara Menghilangkannya".

Sebagiannya pernah disinggung pada awal pembahasan kitab matan Abu Syuja'.

■ PEMBAHASAN PERAMA | Tentang najis

قال المصنف:
((وكل مائع خرج من السبيلين نجس إلا المني))

((Dan setiap cairan yang keluar dari dua jalan (baik qubul dan dubur) hukumnya najis kecuali cairan mani))

Di dalam manuskrip yang lain disebutkan:

((وكل ما يخرج من السبيلين نجس))

((Dan apa saja yang keluar dari dalam qubul dan dubur adalah najis))

Pada teks yang kedua ini lebih umum meliputi cairan maupun kotoran, baik darah, air kencing, kotoran dan cairan lainnya seperti madzi dan wadi.

Dalil bahwasanya hal itu adalah najis, diantaranya adalah:

⑴ Hadits Anas radhiyallāhu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhāri, beliau berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا تبرز لحاجته، أتيته بماء فيغسل به

"Nabi Shallallāhu 'alyhi wa sallam apabila keluar untuk buang hajat atau buang air, maka saya pun membawakan air untuk beliau, kemudian beliau mencuci dengan air tersebut".

(HR Bukhāri)

⑵ Hadits lain diriwayatkan Imam Bukhari dari 'Ali radhiyallāhu 'anhu, beliau berkata:

كنت رجلا مذاء فاستحييت أن أسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأمرت المقداد بن الأسود فسأله فقال: «فيه الوضوء»

"Saya adalah seorang yang sering keluar air madzi, namun saya malu untuk bertanya kepada Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam, maka saya perintahkan Miqdād bin Aswad untuk bertanya kepada beliau, maka beliaupun bersabda: 'Wajib berwudhū'."

Di dalam riwayat Muslim:

فقال: «يغسل ذكره ويتوضأ»

"Hendaknya dia mencuci kemaluannya, kemudian berwudhu."

قال المصنف:
((إلا المني))

((Kecuali air mani))

Disini diperkecualikan cairan mani, maka cairan mani itu tidak najis, baik cairan mani dari manusia maupun cairan mani dari hewan, kecuali anjing dan babi.

• Dalil:

⑴ Tatkala Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam ditanya tentang cairan mani, maka beliau bersabda:

إنما هو  كالبصاق

"Bahwasanya cairan mani itu seperti ludah (yaitu tidak najis)."
(HR Daruqutni, Baihaqi dengan sanad yang shahih)

Begitu pula di dalam hadits yang lain,

⑵ Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā tatkala beliau menceritakan bahwasanya 'Āisyah mengerik cairan mani yang menimpa baju Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam yang telah mengering dan beliau tidak mencucinya dan pakaian itu digunakan oleh Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam untuk shalat.

■ PEMBAHASAN KEDUA | Tentang cara membersihkan najis

قال المصنف:
((وغسل جميع الأبوال والأرواث واجب))

((Dan mencuci seluruh kencing dan kotoran adalah wajib))

Ini adalah hukum asal, berdasarkan dalil-dalil diantaranya:

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam memerintahkan para shahābatnya untuk menyiramkan air diatas kencing seorang badui yang kencing di masjid.

⇒ Ini menunjukkan bahwasanya menghilangkan najis, itu adalah wajib.

قال المصنف:
((إلا بول الصبي الذي لم يأكل الطعام فإنه يطهر برش الماء عليه))

((Bahwasanya diperkecualikan kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan, maka cara mensucikannya cukup dengan memercikkan air di atasnya))

⇒ Dan hal ini tidak berlaku bagi bayi perempuan.

Dan bayi, selama masih menyusui dan belum makan makanan selain susu, maka cara membersihkan atau mensucikan kain yang terkena kencing bayi tersebut cukup dengan dipercikkan air di atasnya.

Adapun bayi perempuan, maka tetap harus dicuci walaupun belum makan makanan.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh para pemilik kitab Sunan (Ash-hābus Sunan), mereka mengatakan:

"Di dalam hadits tersebut, Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam bersabda:

«يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ»

"Bahwasanya najis kencing bayi perempuan dicuci dan najis kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air di atasnya".

Dan di dalam riwayat lain ditambahkan:

{مالم يطعم}

"Sebelum bayi tersebut makan makanan".

⇒ Yakni berlaku sebelum bayi tersebut makan makanan lain selain susu.

قال المصنف:
((ولا يعفى عن شيء من النجاسات إلا اليسير من الدم))

((Dan keberadaan najis tidak ditoleransi atau tidak dimaafkan, kecuali apabila hanya sedikit dari darah ataupun nanah))

Hal ini terkait dengan ibadah shalat, dimana ibadah shalat harus suci dari najis dan hadats.

Namun apabila terdapat sedikit darah ataupun nanah, baik di badan ataupun dalam pakaian maka dimaafkan dan diberikan toleransi serta tetap sah shalatnya.

Dan perkataan para ulama mengenai ini cukup banyak, tentang jenis dan kadar najis yang dimaafkan, apabila mengenai pakaian ataupun badan.

Namun secara umum yang menjadi acuan/dhābith/patokan adalah sesuatu yang darurat atau banyak terjadi serta sulit untuk dihindari serta sulit untuk dihilangkan.

قال المصنف:
((وما لا نفس له سائلة إذا وقع في الإناء ومات فيه فإنه لا ينجسه))

((Dan hewan yang tidak memiliki aliran darah, apabila terjatuh diatas bejana dan mati diatasnya, maka bangkai tersebut tidak membuat air dalam bejana menjadi najis))

Ini adalah lanjutan dari najis yang dimaafkan dalam Madzhab Syāfi'ī. Dan dianggap sebagai najis karena dianggap sebagai bangkai dan bangkai adalah najis.

Akan tetapi karena dia termasuk yang ma'fu (dimaafkan) maka dia tidak membuat najis air yang tercemar atau terjatuh ke dalamnya hewan-hewan tersebut.

Akan tetapi disini dikatakan oleh Ibnu Mundzir:

"Dan saya tidak mengetahui seorang pun yang berpendapat dengan pendapat ini, kecuali Imam Syāfi'ī."

Karena sudah dijelaskan pada pertemuan yang lampau bahwasanya hewan yang tidak memiliki aliran darah apabila mati, maka dia tidaklah najis dan bukan merupakan bangkai yang najis.

قال المصنف:
((والحيوان كله طاهر إلا الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما))

((Dan hewan-hewan seluruhnya adalah suci dalam keadaan hidupnya, kecuali anjing dan babi dan apa-apa yang keluar dari keduanya (yaitu peranakan dari keduanya) atau dari salah satunya))

⇒ Dan poin ini telah dibahas pada pertemuan sebelumnya.

قال المصنف:
((والميتة كلها نجسة إلا السمك والجراد والآدمي))

((Dan semua bangkai najis, kecuali bangkai ikan, bangkai belalang dan bangkai manusia))
⇒ Dan poin inipun pernah kita jelaskan pada halaqah yang telah lampau.

قال المصنف:
((ويغسل الإناء من ولوغ الكلب والخنزير سبع مرات إحداهن بالتراب))

((Dan bejana yang dijilat anjing dan babi dicuci sebanyak 7x, dan salah satunya adalah dengan tanah))

Hal ini berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim tatkala Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam bersabda:

"Cara membersihkan bejana kalian apabila dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya sebanyak 7x dan salah satunya adalah dengan tanah."

قال المصنف:
((ويغسل من سائر النجاسات مرة تأتي عليه))

((Dan untuk jenis najis-najis yang lain maka cukup dicuci sekali saja))

Hal ini berdasarkan pada hadits Ibnu Umar:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: «كَانَتِ الصَّلَاةُ خَمْسِينَ، وَالْغُسْلُ مِنَ الجَنَابَةِ سَبْعَ مِرَارٍ، وَغَسْلُ الْبَوْلِ مِنَ الثَّوْبِ سَبْعَ مِرَارٍ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ حَتَّى جُعِلَتِ الصَّلَاةُ خَمْسًا، وَالْغُسْلُ مِنَ الْجَنَابَةِ مَرَّةً، وَغَسْلُ الْبَوْلِ مِنَ الثَّوْبِ مَرَّةً»

"Dahulu kewajiban shalat sebanyak 50 waktu, dan mandi janabah sebanyak 7x dan bersuci dari kencing sebanyak 7x.

Maka Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam pun senantiasa meminta ( yaitu meminta kepada Allāh agar diberikan keringanan) sampai Allāh jadikan shalat hanya 5 waktu shalat dan mandi janabah hanya 1x dan mencuci dari air kencing cukup 1x."
(HR Abū Dāwūd dan beliau tidak mendha'ifkan hadits ini)

قال المصنف:
((والثلاثة أفضل))

((Dan mencuci sebanyak 3x itu lebih baik/afdhal))

Berdasarkan hadits:

«إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يُدْخِلْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ »

"Apabila kalian bangun dari tidur, maka janganlah memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya sebanyak 3x."

(HR Ash-hābus Sunan)

قال المصنف:
((وإذا تخللت الخمرة بنفسها طهرت وإن خللت بطرح شيء فيها لم تطهر))

((Apabila khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka dia menjadi suci. Namun apabila berubah menjadi cuka dengan menambahkan sesuatu kedalamnya, maka dia tidak menjadi suci))

Ini adalah permasalahan yang kembali kepada masalah "Apakah khamr itu najis atau tidak?"

Dan bagi jumhur yang mengatakan bahwasanya khamr itu najis, maka dia bisa menjadi suci apabila berubah menjadi cuka dengan sendirinya, bukan dengan faktor kesengajaan.

Namun apabila disana ada faktor kesengajaan, apakah dengan menambahkan unsur atau dengan proses tertentu yang disengaja, maka khamr tersebut menurut jumhur tidaklah menjadi suci, walaupun dia berubah bentuknya menjadi sesuatu yang lain, yaitu menjadi cuka.

Demikian.

و الله تعالى أعلم
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
_____________________________
Download audio: bit.ly/BiAS-FZ-H026

Saran Dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
Almazilatul.khairiyah@gmail.com
SaranKritik@bimbinganislam.com

Kamis, 12 Mei 2016

Niat Itu Amalan Hati

Suatu amalan ibadah tidaklah akan diterima kecuali  jika terkumpul dua syarat, yaitu ikhlas dan ittiba'. Ikhlas berkaitan dengan amalan hati yaitu niat, sedangkan ittiba' adalah berkaitan dengan amalan dzahir seseorang, apakah ia sesuai tuntunan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah atau tidak. Dengan kata lain, niat ikhlas adalah tolak ukur ibadah hati dan ittiba'ur rasul adalah tolak ukur ibadah dzahir.

Banyak orang yang setelah mengenal kebenaran, tahu mana yang sunnah dan mana yang bid'ah, mereka bersemangat memperbaiki amalan dzahir agar mencocoki Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dalam beramal. Tidaklah dipungkiri bahwa hal ini merupakan amalan yang baik. Akan tetapi sayangnya kita sering kurang memperhatikan masalah yang berhubungan dengan hati, yaitu niat. Sehingga tema ini kami angkat dalam edisi ini.

Definisi Niat

An Niat (niat) secara bahasa artinya adalah al qashdu (maksud) dan al iraadah (keinginan) atau dengan kata lainqashdul quluub wa iraadatuhu (maksud dan keinginan hati). Sedangkan definisi niat secara Istilah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa'di, beliau berkata, "Niat adalah maksud dalam beramal untuk mendekatkan diri pada Allah, mencari ridha dan pahalaNya." (Bahjah Quluubil Abraar wa Qurratu 'Uyuunil Akhyaar Syarah Jawaami'ul Akhbar hal. 5)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh menjelaskan bahwa makna niat dalam istilah para ulama ada dua macam:

Niat yang terkait dengan ibadah. Inilah istilah yang dimaksudkan para ahli fiqih dalam berbagai hukum ketika mereka mengatakan, "Syarat yang pertama: niat". Yang mereka maksudkan adalah niat yang ditujukan untuk ibadah yang membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. Misalnya, untuk membedakan shalat dari puasa, dan membedakan shalat wajib dari shalat sunah.Niat yang terkait dengan kepada siapa ibadah tersebut ditujukan. Niat dengan pengertian ini sering diistilahkan dengan ikhlas. (Syarah Al Arba'in An Nawawiyyah fil Ahadits Ash Shahihah an Nabawiyyah –Majmu'atul Ulama'- hal.31-32)

Hadits tentang Niat

Dari Umar radhiallahu'anhu, beliau berkata, "Aku mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Semua amal itu tergantung niatnya dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena dunia yang ingin ia dapatkan  atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya."(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan apakah itu amalan baik maupun buruk, maka pasti diiringi dengan niat. Jika seseorang berniat melakukan amalan yang hukum asalnya mubah dengan niat yang baik, maka dia diberi pahala dengan niatnya tersebut. Jika ia berniat dengan maksud yang buruk, maka ia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.

Tempat Niat

Tempat niat adalah di dalam hati, dan An Nawawi berkata,"Tidak ada khilaf dalam hal ini." Ibnu Taimiyyah mengatakan,"Niat tidaklah dilafadzkan." . Dan jelas bagi kita bahwa niat adalah amalan hati dan bukan amalan dzahir. Adapun melafadzkan niat, maka tidak dicontohkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam , tidak pula para sahabat beliau, dan tidak terdapat hadits dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa jika beliau hendak shalat atau berwudhu beliau mengucapkan, "Nawaitu an ushalli…(aku berniat untuk sholat…)" atau "Nawaitu an atawadhdha'…(Aku berniat untuk wudhu…)" atau "Nawaitu an aghtasil…(Aku berniat untuk mandi)" dan sebagainya.

Beribadah dengan Niat Mendapatkan Perkara Dunia

Perlu diketahui bahwasanya amalan ibadah ada dua macam:

Amalan yang wajib diniatkan untuk Allah dan tidak boleh terbetik dalam hati pelakunya untuk mendapatkan balasan berupa perkara dunia sama sekali. Mayoritas amalan ibadah adalah demikian, semisal: shalat, zakat, dzikir, dan sebagainya.Amalan ibadah yang Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan balasannya di dunia dengan tujuan untuk memotivasi. Misalnya adalah sabda Nabi shalallahu'alaihi wa sallam,"Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah bersilaturahim." (Muttafaqun 'alaih)

Barangsiapa yang menginginkan balasan dunia dalam keadaan meyakini bahwa itulah motivasi dari Allah, maka diperbolehkan. Karena tidaklah Allah memotivasi dengan balasan dunia, kecuali Allah mengijinkan hal tersebut menjadi hal yang dicari dan dituntut. Oleh karena itu barangsiapa bersilaturahim dengan mengharap wajah Allah dan juga menginginkan balasan di dunia dengan banyaknya rizki serta dipanjangkan umurnya, maka hukumnya boleh.

Jika telah jelas bahwa orang yang demikian tidak dihukumi sebagai musyrik, lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah sama orang yang bersilaturahim dengan niat mendapat balasan dunia disamping ia meniatkannya karena Allah dibandingkan orang yang hanya meniatkannya untuk Allah dan tidak menginginkan balasan dunia? Jawabannya adalah tidak sama. Pahalanya akan berbeda. Barangsiapa yang niatnya ikhlas karena Allah maka pahalanya akan bertambah besar sebanding dengan menguatnya keikhlasan. (Syarah Al Arba'in An Nawawiyyah fil Ahadits Ash Shahihah an Nabawiyyah –Majmu'atul Ulama'- hal.34-35)

Ketika Niat Ikhlas Tercampur Riya'

Ada tiga keadaan dalam hal ini:

Ketika niat utama yang mendorong seseorang melakukan sebuah amalan adalah riya', maka hal ini merupakan kesyirikan dan ibadahnya batal.Ketika pada awal ibadah niatnya ikhlas, kemudian di tengah ibadah tercampur riya', maka ada dua keadaan:
a. Jika ia berusaha melawan rasa riya' tersebut dan tidak terus menerus dalam rasa riya', maka riya' tersebut tidak berpengaruh pada amalannya.
b. Jika ia tidak melawan rasa riya' dan terus menerus dalam keadaan riya', maka hukum ibadah dalam keadaan ini:
- Jika ibadah tersebut bagian akhirnya tidak terbangun atas bagian awalnya (tidak serangkaian), maka amalan yang tidak tercampur riya' adalah sah dan amalan yang tercampur riya' batal. Contoh: seseorang ingin bersedekah sebanyak Rp 200.000,- . Pertama, ia sedehkan Rp 100.000,- dengan niat ikhlas. Kemudian ia sedekahkan lagi Rp 100.000,- , tetapi dengan niat riya' . Maka sedekahnya yang pertama sah, dan sedekahnya yang kedua batal.
- Jika ibadah tersebut bagian akhirnya terbangun dari bagian awalnya (satu rangkaian ibadah), maka keseluruhan ibadah tersebut batal. Contoh: seseorang shalat dua rakaat dengan niat awal ikhlas karena Allah. Kemudian muncul rasa riya' di rakaat yang kedua dan dia tidak melawannya serta terus menerus dalam keadaan riya'hingga selesai shalat, maka batallah sholatnya dari awal hingga akhir.Ketika muncul riya', tetapi setelah ibadah selesai, maka tidak membatalkan amalan.

(At Tauhid al Muyassar hal. 97-98, dengan sedikit perubahan)

Beberapa Faidah dan Urgensi Niat

Diantara faidah dan urgensi niat adalah:

Niat berfungsi untuk membedakan antara amalan ibadah yang satu dengan yang lain. Misalnya, seseorang shalat dua rakaat , bisa jadi ia meniatkannya untuk shalat fardhu, atau shalat sunah rawatib, atau tahiyatul masjid. Maka, dengan niat, seseorang membedakan apakah ia melakukan hal yang wajib ataukah hal yang sunah.Niat berfungsi untuk membedakan perkara ibadah dan perkara adat kebiasaan manusia. Misalnya seseorang yang mandi, bisa jadi ia meniatkannya hanya sekedar untuk membersihkan badan (yang nilainya hanyalah sekedar kebiasaan saja) atau bisa jadi ia berniat untuk menghilangkan hadats besar (yang nilainya adalah ibadah).Benarnya niat menunjukkan ikhlas kepada Allah.Niat yang benar merupakan sebab mendapatkan pahala.

Niat merupakan syarat sebuah amal membuahkan pahala. Amalan mubah seperti makan, minum, dan sebagainya, jika diiringi dengan niat yang benar, semisal karena memenuhi perintah Allah da RasulNya serta untuk membantu dalam melaksanakan ketaatan, maka bisa menjadi amal shalih dan pelakunya diberi pahala. (Al Aqd Ats Tsamiin fi Syarhi Mandzumah Asy Syaikh Ibnu 'Utsaimin fi Ushuulil Fiqhi wa Qawaa'idihi hal.214-215)