Jamaah masjid Al Manzilatul Khairiyah bermaaf-maafan selepas sholat Idulfitri 1438.
Blog dari masjid Al Manzilatul Khairiyah, Kec Rawalumbu, Bekasi. Dalam rangka untuk ikut serta melaksanakan syiar Islam yang benar sesuai dengan Alquran dan Assunah dengan mengikuti manhajnya para sahabat..
Minggu, 25 Juni 2017
Jumat, 23 Juni 2017
Takbiran Hari Raya
Waktu Mulai & Berakhir Takbiran a. Takbiran Idul Fitri Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id. Hal ini berdasarkan …
Waktu Mulai & Berakhir Takbiran
a. Takbiran Idul Fitri
Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.
Hal ini berdasarkan dalil berikut:
1. Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.
2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)
Keterangan:
1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.
2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
Takbiran Idul Adha ada dua:
1. Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbiran Mutlak)
Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.
Takbir mutlak menjelang idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst. Dalilnya adalah:
a. Allah berfirman, yang artinya: “…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)
Allah juga berfirman, yang artinya: “….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)
Tafsirnya:
Yang dimaksud berdzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbiranIbn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud ‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis no.969)Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya shahih)
b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)
c. Imam Al Bukhari mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)
d. Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khatab pernah bertakbir di kemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)
e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruqutni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (Fathul Bari 3/389)
2. Takbiran yang terikat waktu
Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:
a. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)
b. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)
c. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)
d. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)
Lafadz Takbir
Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:
Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:
أ- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
Keterangan:
Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.
Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا
Keterangan:
Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.
Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.
Catatan Penting
As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”
Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis. Allahu A’lam.
Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran
Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:
a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan
Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)
Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.
b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara
Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.
Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.
c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.
Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)
Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah shalat.
d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan
Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang meninggalkannya.
e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang
Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:
الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…
Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
Rabu, 05 April 2017
Jual Beli Rumah Pakai Jasa Agen Properti, Kenapa Tidak?
Meski sudah semakin berkembang, masih banyak orang yang ragu untuk menggunakan jasa agen properti. Anda juga salah satunya? Sebenarnya banyak keuntungan menggunakan jasa agen properti. Yuk, ketahui berbagai keuntungannya!
Jauh Lebih Efektif
Apabila dibandingkan dengan menjual dan mencari rumah sendiri, tentu menggunakan jasa agen properti akan jauh lebih praktis. Coba bandingkan dengan menjual rumah sendiri yang jaringannya terbatas. Seorang agen properti tentu memiliki jaringan yang luas, sehingga properti kita akan lebih cepat terjual.
Kemudian untuk membeli rumah, seorang agen properti tentu sudah memiliki daftar properti unggulan. Anda yang ingin membeli properti pun tentunya hanya perlu menyebutkan properti seperti apa yang diinginkan. Tak perlu khawatir karena seorang agen properti akan memberikan pelayanan terbaik dengan mencarikan properti impian Anda.
Lebih Hemat Pengeluaran
Banyak yang berpikir bahwa menggunakan jasa agen properti akan membuat pengeluaran membengkak. Padahal, Anda akan lebih hemat daripada melakukannya sendiri. Kok bisa? Ketika kita memutuskan untuk menjual rumah, tentu kita harus memasang iklan di mana-mana. Berbeda jika kita menggunakan jasa agen properti yang tentunya akan memfasilitasi promosi secara efektif.
Selanjutnya, ketika membeli properti melalui agen properti, maka Anda tidak perlu kesulitan berkeliling mencari properti yang tepat. Anda bisa langsung meminta database milik agen tersebut. Bukan hanya itu, Anda juga akan menghemat pengeluaran untuk bolak-balik mengurus administrasi.
Paham Harga Pasar
Kisaran harga pasar properti memang cukup sulit untuk dipahami, terlebih jika kita tak memiliki pengalaman di bidangnya. Jangan sampai kita menjual properti dengan harga yang terlalu tinggi atau membeli rumah dengan harga yang jauh lebih mahal dari pasaran.
Memasarkan rumah dengan harga yang tepat tentu memberikan kesempatan terjual yang lebih cepat. Meskipun demikian, harganya tentu akan tidak di bawah pasaran. Selanjutnya, saat membeli rumah pun Anda bisa mendapatkan yang sesuai harga pasaran, sehingga menguntungkan untuk dijadikan investasi.
Keamanan Terjamin
Masih ada beberapa orang yang takut memercayakan jasa agen properti, salah satunya karena takut terkena penipuan. Hal semacam ini tentunya lebih dirasakan oleh seseorang yang berniat menjual rumahnya.
Padahal, seorang agen properti tentunya memiliki keahlian dalam mengelola berkas dengan baik. Tak perlu khawatir dengan surat-surat rumah yang dipegang oleh agen properti karena dijamin akan aman. Selain itu, Anda pun tidak perlu memikirkan proses panjangnya.
Masih ragu memercayakan proses jual-beli properti? Hilangkan ragunya dan rasakan berbagai kemudahannya. Nah, kendalanya masih bingung menemukan agen properti yang terpercaya? Jangan bingung, Anda bisa menemukannya Disini.
Property Syariah
Sabtu, 25 Maret 2017
ADA APA DENGAN PENGGANTIAN MENDADAK DIREKTUR UTAMA BNI SYARIAH
Kamis, 16 Maret 2017
Godaan riba telah menghancurkan kehidupan keluargaku
Minggu, 12 Maret 2017
APARTEMEN MURAH BERKONSEP SYARIAH PERTAMA DI INDONESIA
Sabtu, 11 Maret 2017
HUKUM SEWA BELI ATAU IMBT (AL-IJAAR AL-MUNTAHI BIT TAMLIK)
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Krisis iman, krisis ekonomi dewasa ini ditambah dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian tinggi di negara ini. Semakin besar kebutuhan pribadi yang harus dipenuhi dengan keterbatasan dana dan keuangan, kadang mendorong seorang muslim untuk mencari kesempatan dan cara yang dianggapnya tepat dan pas tanpa bertanya hukumnya dahulu. Apalagi dipacu oleh upaya produsen dan industri dalam memasarkan produknya kemasyarakat yang tanpa memandang halal dan haram lagi. Maka bermunculanlah beragam mu'amalah dengan beranekaragam cara dan coraknya. Diantaranya adalah sewa beli atau dikenal dengan istilah leasing di masyarakat kita dan mulai dikenalkan dengan istilah lain oleh lembaga keuangan syariat dengan nama Ijaarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT).
PERKEMBANGAN TRANSAKSI MODEL INI.
Transaksi model ini adalah bentuk pengembangan dari jual beli kredit (ba'i at-taqsîth) dan dikenal dengan jual beli kredit dengan menjaga status kepemilikan (untuk penjual) sampai angsurannya lunas (Vent Atem Cerment). Lalu berkembang dengan beraneka ragam corak dan namanya sesuai dengan marhalah berikut ini:
FASE SEWA BELI (HIRE-PURCHASE ATAU LOCATION-VENTE).
Resiko macet kredit dalam jual beli kredit mendorong para pedagang untuk menemukan cara baru yang dapat menjaga status kepemilikannya terhadap barang sampai ansurannya lunas tanpa ada syarat khusus. Transaksi ini dinamakan Sewa Beli atau dalam bahasa Arabnya al-bai' al-ijâri atau al-ijâr al-bai'i atau al-ijâr as-sâtir lilbai'. Dalam bahasa Inggris dinamakan hire-purchase dan dalam bahasa Prancis dikenal dengan location-vente.
Pengertiannya adalah sewa yang disertai jual beli yang menyebabkan perpindahan kepemilikan barang dari penjual yang menyewakan kepada pembeli yang menyewa, dengan ketentuan penyewa membayar angsuran tertentu dalam waktu tertentu.
Disini apabila penyewa telah menyempurnakan pembayaran sewanya dalam waktu yang telah disepakati maka kepemilikan akan pindah menjadi milik penyewa. Apabila penyewa tidak dapat menunaikan dengan sempurna syarat transaksi maka pembayaran tersebut dianggap sebagai pembayaran sewa semata dan transaksi batal serta barang kembali menjadi milik penyewa. Dengan demikian transaksi ini merupakan rekayasa tepat dari para penjual untuk menjaga kepemilikan barang dagangannya sampai waktu pembayaran sempurna seluruhnya.
Sejarah fase ini dikenal pertama kali pada tahun 1846 masehi di Inggris. Yang memulai bertransaksi dengan akad ini adalah seorang pedagang alat-alat musik di inggris. Dia menyewakan alat musiknya yang diikuti dengan memberikan hak milik barang tersebut, dengan maksud adanya jaminan haknya itu. Setelah itu tersebarlah akad seperti ini dan pindah dari perindividu ke pabrik-pabrik. Yang pertama kali menerapkannya adalah pabrik "Singer" penyedia alat-alat jahit di inggris. Selanjutnya berkembang, dan tersebar akad ini dengan bentuk khusus di pabrik-pabrik besi yang membeli barang-barang yang sudah jadi, lalu menyewakannya. Kemudian setelah itu tersebar akad semacam ini dan pindah ke negara-negara dunia, hingga ke Amerika Serikat pada tahun 1953 masehi. Lalu tersebar dan pindah ke negara Perancis pada tahun 1962 masehi.Terus tersebar dan pindah ke negara-negara Islam dan Arab pada tahun 1397 hijriyah.
FASE SEWA BERSAMA JANJI JUAL BELI (AL-IJARAH AL-MAQRUNAH BIWA'DIN BILBAI' ATAU LOCATION-ACCESSION)
Diantara bentuk perubahan sewa beli sebagai akibat kekhawatiran para pedagang dari resiko dan aturan jual beli kredit adalah munculnya sewa diikuti dengan janji jual beli. Caranya diadakan transaksi sewa menyewa lalu disertai dengan janji penjualan dari pihak pemilik (al-mu'jir) untuk kemaslahatan penyewa (musta'jir) apabila penyewa menampakkan keinginannya untuk membeli selama masa penyewaan atau waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan dua belah pihak.
FASE LEASING (AL-IJARAH AT-TAMWILIYAH ATAU CREDIT-BAIL)
Para pengusaha dan pedagang mencari sistem baru dalam jual beli kredit yang aman dari resiko yang ada dan menghindari dari peraturan jual beli kredit yang biasa. Maka muncullah istilah leasing sesuai penamaan dalam hukum Anglo Amerika ketika transaksi ini muncul di Amerika pada tahun 1953 M dan dikenal di undang-undang negara Prancis dengan nama Credit-Bail ketika masuk ke negara ini pada tahun 1962 M.
Sistem leasing ini memiliki kekhususan dibandingkan dengan sebelumnya yaitu:
1. Ia adalah transaksi sewa murni dengan memberikan hak memilih kepada penyewa setelah selesai masa penyewaan :
a. Memiliki barang dengan kompensasi membayar nilai yang telah disepakati ketika transaksi.
b. Mengembalikan barang kepada pemilik barang (mu'jir/pemberi sewa)
c. Memperbaharui transaksi sewanya.
2. Transaksi ini membuat cara tersendiri dengan masuknya pihak ketiga diantara dua transaktor tersebut (al-mu'jir dan al-musta'jir). Pihak ketiga inilah yang membiayai transaksi dengan membelikan barangnya kemudian menyewakannya kepada siapa saja yang ingin bertransaksi padanya dalam waktu tertentu dengan kompensasi pembayaran sewa yang tertentu. Sehingga barang bukanlah milik pemberi sewa.
Dengan demikian transaksi ini berkembang dengan menyatukan transaksi sewa beli dari satu sisi dengan pembiayaan dari sisi lainnya, untuk mempermudah proses sewa menyewa atau jual beli sesuai kesepakatan akhir transaksi.
Akhirnya berdirilah lembaga leasing ini di hampir semua negara didunia termasuk negara-negara Islam hingga saat ini.
APA ITU IMBT (IJARAH MUNTAHIYAH BIT TAMLIK) ?
Beberapa ekonom syariat mendefinisikan IMBT dalam banyak ungkapan, namun dapat disimpulkan IMBT adalah transaksi sewa barang yang diakhiri dengan pemindahan status pemilikan barang kepada penyewa. Transaksi ini sejenis perpaduan antara kontrak jual-beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
IMBT ini memiliki beragam bentuk sesuai dengan penerapannya atau rekayasa bentuk kebentuk yang lainnya. Namun dalam kesempatan ini kami utarakan tujuh bentuknya yang sudah masyhur.
1. IMBT Tanpa Membayar Kecuali Angsuran Sewa Saja
Hal ini dapat dijelaskan dengan transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan barang yang disewa dengan kompensasi pembayaran uang yang diserahkan, seperti angsuran sewa pada barang yang disewa tersebut selama masa tertentu. Penyewa (musta'jir)menjadi pemilik barang yang disewa tersebut secara outomatis dengan pelunasan angsuran terakhir tanpa mengadakan transaksi baru.
Contohnya : Seorang pemilik rumah menyatakan kepada penyewanya: Saya sewakan rumah ini setiap bulannya Rp 4.000.000; selama lima tahun lamanya. Ketentuannya penyewa apabila telah selesai sempurna pembayaran uang sewa selama lima tahun tersebut maka rumah tersebut menjadi milik penyewa sebagai kompensasi pembayaran angsuran sewa tersebut.
Bentuk ini telah menyatukan antara sewa dengan jual beli yang bergantung pada pelunasan seluruh nilai barang. Transaksi seperti ini haram karena memiliki konsekwensi-konsekwensi yang membuatnya haram.
Diantara alasan pengharamannya adalah:
a. Transaksi tidak eksis dan mantap pada salah satu diantara dua transaksi tersebut. Karena ia berada diantara transaksi, jika ia berhasil menyempurnakan ansuran maka menjadi jual beli dan tidak sempurna maka uang yang dibayarkan menjadi uang sewa saja.
b. Terdapat unsur jahalah (ketidakjelasan) nilai barang dan sewanya dengan sebab ia berada diantara kedua transaksi tersebut.
c. Transaksi ini ada unsur gharar (penipuan)nya dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Karena penyewa (musta'jir) terkadang tidak mampu membayar ansuran sampai lunas. Jika ia tidak mampu melunasi, maka ia tidak mendapatkan barang padahal apabila akad itu benar jual beli maka ia telah berhak mendapatkan barang dan wajib melunasi ansuranya. Dan ia juga bisa menjual barang tersebut dan menggunakan sebagiannya untuk menutupi kekurangan pembayaran. Demikian juga pembeli berhak mendapatkan nilai pembayarannya ketika transaksi gagal karena ada aib atau sejenisnya. Kalau ia tidak mampu sehingga dianggap membayar sewa atas pemakaiannya maka ia telah membayar lebih mahal dari biaya sewa umumnya, karena berharap mendapatkan kepemilikan barang tersebut. Sehingga pembeli rugi nilai pembayaran dan barangnya sedangkan penjual beruntung mendapatkan pembayaran dan barangnya.
Dalam hal ini terdapat tindakan zhalim terhadap salah satu transaktornya. Ghararnya ada karena ia masuk dalam transaksi atas barang yang bisa dia dapatkan kalau mampu melunasi seluruh angsuran dan bisa tidak dapat, sehingga ia telah membayar pada sesuatu yang masih bersifat spekulasi antara memiliki atau tidak memilikinya.
d. Kedua transaksi yaitu sewa dan beli berlaku pada satu barang. Dilihat dari prakteknya jelas ada pertentangan antara dua transaksi ini. Dalam sewa menyewa tanggung jawab dan pemeliharaan ditanggung pemilik (orang yang menyewakan). Dalam prakteknya ternyata semua ini menjadi tanggung jawab pemakai atau penyewa. Sehingga jelas ini adalah jual beli atau sewa menyewa dengan syarat menyelisihi hukum-hukumnya.
Oleh karena itu bentuk ini diharamkan dalam fatwa Hai'ah Kibar Ulama (Majlis ulama besar) Saudi Arabia dalam keputusan no. 198 tanggal 6/11/1420 H.
2. Sewa Disertai Dengan Penjualan Barang Yang Disewa Dengan Harga Simbolik
Hal ini dapat dijelaskan dengan transaksi sewa yang memungkinkan penyewa (musta'jir) untuk memanfaatkan barang yang disewanya dengan membayar uang sewa tertentu dalam masa tertentu. Dengan ketentuan, penyewa (musta'jir) mendapatkan hak pemilikan terhadap barang yang disewa tersebut diakhir masa penyewaan dengan membayar uang simbolik sejumlah tertentu. Contohnya: seorang pemilik rumah menyatakan kepada penyewanya: Saya sewakan rumah ini setiap bulannya Rp 4.000.000; selama lima tahun lamanya. Ketentuannya penyewa apabila telah selai sempurna pembayaran uang sewa selama lima tahun tersebut maka rumah tersebut menjadi milik penyewa dengan membayar sejumlah uang simbolik yang sudah ditentukan.
Bentuk ini mengakibatkan ghabn dan memakan harta orang lain dengan cara batil. Karena ketika transaksi sewa gagal dan penyewa (musta'jir) tidak mampu melunasi semua nilai sewanya maka ia akan kehilangan hak kepemilikan terhadap barang yang ingin dia miliki, juga kehilangan angsuran besar yang lebih mahal dari angsuran sewa pada umumnya.
Hukum bentuk ini adalah haram.
3. Sewa Disertai Dengan Penjualan Barang Yang Disewa Dengan Harga Sebenarnya (Harga Umum).
Ini sama dengan bentuk kedua hanya saja nilai pembayaran penjualannya dengan harga yang sebenarnya (harga umum).
Bentuk ini mengandung transaksi ganda pada satu barang yang mengakibatkan adanya jahâlah (ketidak jelasan) barang dan nilainya. Maka hukumnya haram.
4. Sewa Disertai Dengan Janji Penjualan.
Misalnya, telah terjadi kesepakatan untuk penyewaan barang dengan diiringi janji jual beli diakhir masa penyewaan apabila uang sewa sudah lunas; baik hal itu dengan pembayaran sejumlah uang yang dibayarkan diakhir masa sewa secara simbolik atau sebenarnya bersama pelunasan seluruh angsuran sewa yang disepakati pelunasannya dalam masa-masa tersebut atau angsuran sewa tersebut adalah nilai jual barang tersebut dan tidak disepakati untuk membayar pembayaran lainnya baik secara simbolik atau sebenarnya (hakiki) sesuai kesepakatan kedua transaktor di akhir masa sewa.
Bentuk ini diperbolehkan apabila janjinya tidak mengikat dan tidak harus jadi.
5. Sewa Berakhir Dengan Memberikan Hak Pilih Antara Memiliki Atau Tidak.
Misalnya, transaksi penyewaan dengan memberikan hak pilih kepada penyewa setelah selesai melunasi angsuran sewa seluruhnya untuk memilikih satu diantara tiga :
a. Membeli barang tersebut dengan harga pasar (umum) ketika selesai masa sewa atau dengan nilai tertentu yang ditentukan ketika transaksi terjadi.
b. Memperpanjang masa sewa.
c. Menyelesaikan transaksi sewa dan mengembalikan barangnya kepada pemiliknya.
Bentuk ini diperbolehkan dan diusulkan untuk dipraktekkan oleh Majma' al-Fiqhi al-Islami dalam muktamar ke-5 dalam keputusan no. 6.
6. Pembiayaan Leasing (al-Ijârah at-Tamwîliyah)
Bentuk ini merupakan perkembangan dari ijârah muntahiyah bit Tamlîk (IMBT) dengan ketentuan bahwa pihak yang melakukan pembiayaan adalah pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa berasal dari pihak yang membeli langsung kepada pihak pemilik barang atau mewakilkan pembelian kepada nasabah yang membutuhkan barang tersebut, kemudian melakukan penyewaan dengan salah satu bentuk IMBT terdahulu sebagai sewa berakhir dengan kepemilikan.
Bentuk ini sangat berhubungan erat dengan murâbahah murakkabah dan hukumnya.
7. IMBT Dengan Pembayaran Bertahap Pada Pembelian Barang Yang Disewa
Maksudnya ada kesepakatan antara lembaga keuangan dengan nasabahnya agar si nasabah membeli misalnya 50 % dari barang yang akan di sewakan yang merupakan milik lembaga keuangan dengan pembelian tunai atau tempo dengan cara murabahah. Kemudian lembaga keuangan menyewakan barang yang dimilikinya tersebut kepada nasabah sebagai musta'jir dengan jual beli bertahap untuk bagian lembaga keuangan sampai selesai transaksi kemudian barang menjadi milik nasabah sepenuhnya. Dalam pengertian setiap masa nasabah membayar uang sewa barang yang akan mengurangi jumlah saham. Apabila nasabah telah membayar seluruh saham maka barang tersebut menjadi miliknya.
Demikian juga hukum bentuk ini berhubungan erat dengan al-Musyârakah al-Mutanâqishah dan hukum-hukumnya.
SUPAYA IMBT TIDAK MELANGGAR SYARI'AT.
Beraneka bentuk praktek IMBT ini membuat para Ulama yang tergabung dalam Majlis Majma' al-Fiqh al-Islami internasional yang merupakan bagian dari Munâzhamah al-Mu'tamar al-Islami (OKI) dalam daurahnya yang ke-12 di kota Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia menjelaskan kreteria IMBT yang tidak melanggar syariat. Mereka melakukan muktamar dengan melihat makalah-makalah yang disampaikan kepada al-Majma' berkenaan dengan masalah sewa yang berakhir dengan pemilikan (al-ijâr al-muntahi bit tamlîk) . Juga setelah mendengar diskusi yang berkisar masalah ini dengan peran serta para anggota al-majma' dan para pakarnya serta sejumlah ahli fikih, menetapkan kriterianya.
Mereka membagi kreteria menjadi dua :
Pertama: ketentuan bentuk-bentuknya yang terlarang adalah adanya dua transaksi yang berbeda dalam satu waktu pada satu barang.
Kedua: Ketentuan bentuk-bentuk yang diperbolehkan:
1. Adanya dua transaksi yang terpisah dari sisi waktu, masing-masing berdiri sendiri. Dalam bentuk ini, transaksi jual beli dipermanenkan setelah transaksi ijârah (sewa menyewa) atau adanya janji kepemilikan di akhir masa sewa dan hak khiyâr (hak pilih) setara dengan janji tersebut dalam hukum.
2. Sewa menyewa tersebut benar-benar ada (fi'liyyah/real) bukan sebagai kamuflase (sâtirah) jual beli.
a. Jaminan (dhamân) barang yang disewakan adalah tanggung jawab pemilik, bukan pada penyewa. Dengan demikian penyewa tidak memikul beban semua yang menimpa barang yang bukan disebabkan oleh kesengajaan atau keteledoran penyewa. Penyewa tidak diwajibkan sama sekali apabila manfaat barang hilang.
b. Apabila transaksi mengandung asuransi barang sewaan, maka asuransinya wajib berbentuk ta'âwuni syariat bukan konvensional dan yang bertanggung jawab untuk membayar adalah pemilik atau yang memberikan sewaan (al-mu`jir) bukan orang yang menyewanya (al-musta`jir).
c. Diwajibkan penerapan hukum-hukum sewa menyewa selama masa penyewaan pada transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan dan penerapan hukum-hukum jual beli ketika pemilikan barang tersebut.
d. Nafkah pemeliharaan yang tidak menyangkut operasional tanggung jawab pemberi sewaan (al-mu`jir) bukan kepada penyewa (al-musta`jir) selama masa penyewaan.
Demikian juga menurut fatwa Dewan Syariah Nasional No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang IMBT, yang mengharuskan terlaksananya akad ijârah terlebih dahulu, lalu akad pemindahan kepemilikan (jual beli/hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijârah selesai. Karena itu janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa'ad atau janji yang hukumnya tidak mengikat. Jadi jika janji tersebut ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah (sewa) selesai.[1]
Wabillahittaufiq.
(Makalah ini disusun dengan perubahan dan peringkasan dari kitab al-'Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah karya DR. Abdullah bin Muhamma al-'Umrani, cet pertama tahun 1428 penerbit daar Kunuuz Isybiliya dari hlm 193 – 227)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fatwa ini disampaikan penulis secara bebas tidak terikat dengan teks fatwanya yang asli