Kamis, 26 Desember 2013

Ketua Terpilih Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Almanzilatul Kahiriyah,

Inilah ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Almanzilatul Kahiriyah, Rawalumbu, Blok II, RW 004, periode 2013-2016 terpilih 
Bapak H. Marsudi.
Semoga kepemimpina beliau membawa kemakmuran masjid Al Mazilatul Khairiyah.
Beliau dalam sambutannya mengajak seluruh warga untuk lebih memakmurkan masjid dengan cara apa saja yang bisa dilakukannya. baik tenaga, pikiran maupun sumbangan materi.
dengan motonya "Marilah kita makmurkan masjid, jangan mencarai kemakmuran di Masjid"
selamat bertugas pak Marsudi. kami semua mendukung anda dari belakang.
semoga Allah Subhana wa ta'ala meridhoi segala apa yang kia lakukan,
amin ya rabil alamin.

Jumat, 20 September 2013

Panduan Ibadah Qurban (bagian 1)

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk
Rabbmu dan sembelihlah hewan." (Qs. Al Kautsar: 2) Syaikh Abdullah Alu
Bassaam mengatakan, "Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; yang
dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban
setelah shalat Ied." Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Atha' dan
Ikrimah (Taisirul 'Allaam, 534, Taudhihul Ahkaam IV/450, & Shahih
Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa
disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi
(dengan huruf ha' tipis).
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan
hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena
datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih
Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. 'Aisyah
radhiyallahu'anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari
Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan
darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya." (HR.
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul
Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didla'ifkan oleh Syaikh Al Albani (Dla'if Ibn Majah,
671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya
keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan
qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai
atau seharga dengan hewan qurban, atau bahkan lebih utama dari pada
sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud
terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan
semata-mata nilai binatangnya. Disamping itu, menyembelih qurban lebih
menampakkan syi'ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 &
Syarhul Mumthi' 7/521)

Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama: Wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat
demikian adalah Rabi'ah (guru Imam Malik), Al Auza'i, Abu Hanifah,
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa'ad beserta
beberapa ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan:
"Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada
pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya
diwajibkan bagi yang mampu…" (lih. Syarhul Mumti', III/408) Diantara
dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang
berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan
sekali-kali mendekati tempat shalat kami." (HR. Ibnu Majah 3123, Al
Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu'akkadah (ditekankan). Dan ini
adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi'i, Ahmad, Ibnu Hazm
dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan
riwayat dari Abu Mas'ud Al Anshari radhiyallahu 'anhu. Beliau
mengatakan, "Sesungguhnya aku sedang tidak berqurban. Padahal aku
adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir
kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku." (HR. Abdur
Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh
Abu Sarihah, "Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua
tidak berqurban." (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih)
Ibnu Hazm berkata, "Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun
yang menyatakan bahwa qurban itu wajib." (lihat Al Muhalla 5/295,
dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah II/367-368, dan Taudhihul Ahkaam,
IV/454).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing
pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat
sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan
dengan menasehatkan: "…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak
meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan
hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a'lam. (Tafsir Adwa'ul Bayan,
1120).

Yakinlah…! Bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan
ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah
mengutus dua malaikat, yang satu berdo'a: "Yaa Allah, berikanlah ganti
bagi orang yang berinfaq." Dan yang kedua berdo'a: "Yaa Allah,
berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit)." (HR.
Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari jenis Bahiimatul Al An'aam (hewan
ternak). Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, "Dan bagi setiap
umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah
atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak
(bahiimatul an'aam)." (Qs. Al Hajj: 34). Dalam bahasa arab, yang
dimaksud Bahiimatul Al An'aam hanya mencakup tiga binatang yaitu onta,
sapi atau kambing. Oleh karena itu, berqurban hanya sah dengan tiga
hewan tersebut dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama
menukilkan adanya ijma' (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah
kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369
dan Al Wajiz 406) Syaikh Ibnu 'Utsaimin mengatakan, "Bahkan jika
seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih
mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah.
Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000
real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya
(dengan kuda) itu tidak sah…" (Syarhul Mumti' III/409)
Seekor Kambing untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya
mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub
radhiyallahu'anhu yang mengatakan, "Pada masa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai
qurban bagi dirinya dan keluarganya." (HR. Tirmidzi dan beliau
menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266)
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk
salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya qurban tahun ini
untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak
pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah
sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan
seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing
qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: "Yaa Allah ini – qurban
– dariku dan dari umatku yang tidak berqurban." (HR. Abu Daud 2810 &
Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa' 4/349).
Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan:
"Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala
sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam."
Adapun yang dimaksud: "…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi
untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…" adalah biaya pengadaannya.
Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan
sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan qurban onta hanya boleh
dari maksimal 10 orang.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang
kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak
mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah
hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada
pemilik hewan? Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian
sedekah maupun hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang
yang diberi sedekah maupun hadiah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta
untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu beliau mengatakan,
"Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat
sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi
kami berserikat sebanyak tujuh orang." (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536,
Al Wajiz, hal. 406).
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan
qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi,
pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut
urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan
berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian
ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya
adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, surat
Al Hajj: 36)[1]. Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau
menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang
dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah
kelahiran.
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang
dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama
tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih.
Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin
mengatakan: "Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan
pelunasan hutang dari pada berqurban." (Syarhul Mumti' 7/455). Bahkan
Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban
karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang,
dan beliau jawab: "Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban
atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang,
lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah
kerabat dekat." (lih. Majmu' Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling
bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam
memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan
untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang yang keadaanya
mudah dalam melunasi hutang atau hutang yang jatuh temponya masih
panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan
hutang dari pada qurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi
hutang atau orang yang memiliki hutang dan pemiliknya meminta agar
segera dilunasi.
Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang
jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban
dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a'lam.
Hukum Qurban Kerbau
Para ulama' menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan
keduanya dianggap sebagai satu jenis (Mausu'ah Fiqhiyah Quwaithiyah
2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban
dengan kerbau. Baik dari kalangan Syafi'iyah (lih. Hasyiyah Al
Bajirami) maupun dari madzhab Hanafiyah (lih. Al 'Inayah Syarh Hidayah
14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu
jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.

Isi Pertanyaan:
"Kerbau dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat sebagaimana
kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing
dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi,
sebagaimana disebutkan dalam surat Al An'am 143. Apakah boleh
berqurban dengan kerbau?"
Beliau menjawab:
"Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun
jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur'an adalah
jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk
hewan yang dikenal orang arab." (Liqa' Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di
atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena
kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a'lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di beberapa lembaga pendidikan di daerah kita,
ketika idul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan
qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang
tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di
hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang
memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari'at.
Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban,
alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah
pembiayaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, biaya pengadaan
untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh
karena itu kasus tradisi 'qurban' seperti di atas tidak dapat dinilai
sebagai qurban. Karena biaya pengadaan kambing diambil dari sejumlah
siswa.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi
tiga bentuk:
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun
statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya
seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di
antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini
dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya,
termasuk yang sudah meninggal.
Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat
dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu
hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana
sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 &
1765). Namun sebagian ulama' bersikap keras dan menilai perbuatan ini
sebagai satu bentuk bid'ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau
berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang
telah meninggal, mendahului beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang
menyatakan bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara
khusus tanpa ada wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena
Nabi r tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai
keluarganya yang telah meninggal seperti istri beliau tercinta
Khadijah dan paman beliau Hamzah.
Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah
mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia
meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika
dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki
Syarhul Mumti' yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin
51)
Umur Hewan Qurban
Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali
apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih
domba jadza'ah." (Muttafaq 'alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, diambil dari kata
sinnun yang artinya gigi. Hewan tersebut dinamakan musinnah karena
hewan tersebut sudah ganti gigi (bahasa jawa: pow'el). Adapun rincian
usia hewan musinnah adalah:
No. Hewan Usia minimal
1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing jawa 1 tahun
4. Domba 6 bulan (domba Jadza'ah)
(lihat Syarhul Mumti', III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)

Apakah yang menjadi acuan usianya ataukah ganti giginya?

Yan menjadi acuan hewan tersebut bisa digolongkan musinnah adalah
usianya. Karena penamaan musinnah untuk hewan yang sudah genap usia
qurban adalah penamaan dengan umumnya kasus yang terjadi. Artinya,
umumnya kambing yang sudah berusia 1 tahun atau sapi 2 tahun itu sudah
ganti gigi. Disamping itu, ketika para ulama menjelaskan batasan hewan
musinnah dan hewan jadza'ah, mereka menjelaskannya dengan batasan
usia. Dengan demikian, andaikan ada sapi yang sudah berusia 2 tahun
namun belum ganti gigi, boleh digunakan untuk berqurban. Allahu a'lam.

Berkurban dengan domba jadza'ah itu dibolehkan secara mutlak ataukah bersyarat

Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi menyebutkan ada
beberapa pendapat:
Pertama, boleh berqurban dengan hewan jadza'ah dengan syarat kesulitan
untuk berqurban dengan musinnah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn
Umar dan Az Zuhri. Mereka berdalil dengan makna dlahir hadis di atas.
Kedua, dibolehkan berqurban dengan domba jadza'ah (usia 6 bulan)
secara mutlak. Meskipun shohibul qurban memungkinkan untuk berqurban
dengan musinnah (usia 1 tahun). Pendapat ini dipilih oleh mayoritas
ulama. Sedankan hadis Jabir di atas dimaknai dengan makna anjuran.
Sebagaimana dianjurkannya untuk memilih hewan terbaik ketika qurban.
Insyaa Allah pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Karena pada hadis
Jabir di atas tidak ada keterangan terlarangnya berqurban dengan domba
jadza'ah dan tidak ada keterangan bahwa berqurban dengan jadza'ah
hukumnya tidak sah. Oleh karena itu, Jumhur ulama memaknai hadis di
atas sebagai anjuran dan bukan kewajiban. Allahu a'lam. (Syarh Shahih
Muslim An Nawawi 6/456)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 [2]:
- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta –
meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi
maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama'
madzhab syafi'iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk
qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
- Sakit dan jelas sekali sakitnya. Tetapi jika sakitnya belum jelas,
misalnya, hewan tersebut kelihatannya masih sehat maka boleh
diqurbankan.
- Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru
kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan
hewan qurban.
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di
atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih
Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti' 3/294).
b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 [3]:
- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
c. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan
untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari
itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak
bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung.
Wallahu a'lam (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Footnotes:
[1] Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: "Dulu Abu Hatim pernah
berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: "Kamu berhutang
untuk beli unta qurban?" beliau jawab: "Saya mendengar Allah
berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak
pada unta-unta qurban tersebut) (Qs. Al Hajj: 36). (lih. Tafsir Ibn
Katsir, surat Al Hajj: 36)
[2] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa
yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: "Ada empat
cacat…dan beliau berisyarat dengan tangannya." (HR. Ahmad 4/300 & Abu
Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama
menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang
terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana
dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi' 7/464)
[3] Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan
yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun
hadisnya dlo'if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis
kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul
Mumthi' 7/470)
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
==========

Dari artikel 'Panduan Ibadah Qurban (bagian 1) — Muslim.Or.Id'

Sabtu, 24 Agustus 2013

Mengapa Harus Belajar Tauhid?

Tauhid merupakan pokok keselamatan dunia dan akhirat sekaligus hal pertama kali yang harus dipelajari oleh manusia, oleh karenanya tauhidlah yang seharusnya yang pertama-tama disampaikan dan didakwahkan kepada manusia
Selain itu dakwah tauhid juga harus dijadikan sebagai proiritas utama sebagaiman dakwah para Rasul Allah yang diutus untuk ummatnya dan juga apa yang telah telah Allah perintahkan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” [Yusuf: 108]

Wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari tauhid yang merupakan awal yang harus dia tuntut kemudian direalisasikan dalam ibadahannya. 

Dan juga mempelajari tentang syirik yang merupakan lawan dari tauhid dan macam-macam syirik untuk dijauhi dan agar tidak terjerumus ke dalam kesyirikan.



Senin, 19 Agustus 2013

Antara akal dan dalil yang sahih

Allah telah memberikan kemuliaan dan keutamaan kepada manusia dengan akal. Dan di dalam kitab-Nya, Dia memuji orang-orang yang memiliki pikiran dan akal-akal yang terang. Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
"Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran" (QS. Ar-Ra'du: 19)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو اْلأَلْبَابِ
"Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang yang memiliki pikiran bisa mengambil pelajaran" (QS. Shaad: 29)
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak membiarkan akal pada kedudukan yang telah Allah tetapkan, yang menghalangi mereka untuk ittiba'
. Bahkan mereka tergelincir menjadi dua golongan manusia:
  * Golongan yang meniadakan akal dan tidak menghargainya sedikitpun.
  * Golongan yang berlebih-lebihan terhadap akal, menjadikannya sebagai sumber pembuatan syariat dan mendahulukannya di atas dalil-dalil yang shahih. Mereka membangun kesesatan-kesesatan pada diri mereka dengan menamakannya kadang-kadang sebagai hakikat, perkara yang meyakinkan atau maslahat dan tujuan yang hendak diwujudkan oleh nash-nash – meskipun sesungguhnya tidak ditunjukkan oleh nash itu. Kemudian mereka mengambil nash-nash shahih yang mereka istilahkan dengan "zhanniyyat "(yang masih berupa persangkaan, tidak memberi faidah yakin -pen), lalu mereka menghadapkannya dengan kesesatan-kesesatan itu. Maka nash yang sesuai dengannya mereka terima, sedangkan yang bertentangan dengannya mereka tolak, dengan bersandar kepada suatu kaidah ""al-yaqin laa yazuulu bisy syakk" "(sesuatu yang meyakinkan tidak bisa hilang dikarenakan sesuatu yang meragukan–pen).
Mereka tidak mengetahui bahwa akal memiliki batasan-batasan di dalam mengetahui sesuatu. Dan Allah tidak memberikan jalan bagi akal untuk mengetahui segala sesuatu1
. Sebagaimana mereka tidak mengetahui bahwa Allah menjaga agama-Nya dan melindungi Nabi-Nya dari ketergelinciran dan penyimpangan di dalam menyampaikan agama-Nya. Maka segala sesuatu yang beliau bawa adalah kebenaran yang tidak ada keraguannya, sedangkan yang mereka namakan dengan hakikat dan perkara yang meyakinkan adalah kebatilan. Hal itu ditunjukkan oleh adanya perbedaan akal dan pemahaman manusia di dalam menentukan hakikat-hakikat dan maslahat-maslahat. Dan juga, Allah telah memerintahkan kita untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya dengan penerimaan yang mutlak tanpa menghadapkan nash itu kepada akal sebelum menerimanya. Sebagaimana di dalam firman Allah,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (QS. An-Nisaa: 65)
Alangkah bagusnya perkatan Ibnu Abil 'Izz Al-Hanafi ketika menjelaskan perkataan Ath Thahawi, "Tidak akan kokoh telapak kaki islam kecuali diatas permukaan "taslim" (menerima) dan "istislam "(pasrah)". Beliau berkata, "Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah
, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau berkata, dari Allah datangnya risalah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima"2
.Catatan Kaki
1
 Lihat Al-I'tisham karya Asy-Syathibi (2/349).
2
 Syarh Ath-Thahawiyah (1/231) dan lihat Shahih Bukhari dengan Fathul Bari (13/512).

Penulis: Ustadz
 Kholid Syamhudi, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
Dari artikel 'Penghalang Ittiba' (4) : Mendahulukan Akal Di Atas Dalil Yang Shahih — Muslim.Or.Id
'

Kisah Al-Mubarak dan Buah Delima yang Kecut

Dahulu kala ada seorang laki-laki yang bernama Al-Mubarak, dia adalah seorang pembantu dari seorang saudagar penduduk Hamdzan dari Bani Hanzhalah di daerah Khurasan. Ia bekerja di perkebunan saudagar itu dalam jangka waktu yang lama.
Pada suatu hari, datanglah saudagar tersebut ke perkebunannya. Ia menyuruh Al-Mubarak mengambilkan buah delima yang manis dari kebunnya. Al–Mubarak pun bergegas mencari pohon delima dan memetik buahnya kemudian menyerahkan kepada tuannya.
Setelah tuannya membelah dan memakannya, ternyata rasanya kecut. Maka marahlah dia sambil berkata, “Aku minta yang rasanya manis, malah kamu berikan aku yang kecut. Ambilkan yang manis!”
Al-Mubarak pun pergi dan memetik delima dari pohon yang lain. Ketika tuannya tersebut membelah dan memakannya untuk kedua kalinya, ternyata rasanya sama kecut, maka tuannya sangat marah kepadanya dan memerintahkan Al-Mubarak untuk ketiga kalinya memetik buah delima tersebut, dan ternyata sang tuan masih mendapatkan rasa yang kecut.
Akhirnya tuannya bertanya: ”Apa kamu tidak bisa membedakan yang manis dan yang kecut?“
Al-Mubarak menjawab: “Tidak.”
“Mengapa?” tanya tuannya.
“Karena saya tidak pernah mencicipi sedikit pun buah tersebut sehingga saya tidak mengetahui rasanya,” jawab Al-Mubarak.
“Mengapa kamu tidak mencicipinya?” tanya tuannya dengan perasaan kesal bercampur heran.
“Karena tuan tidak pernah mengizinkan saya untuk memakannya.”
Tuannya terdiam dan merenungkan ucapan Al-Mubarak dan akhirnya dia menyadari kejujuran pembantunya itu. Maka menjadi mulialah al-Mubarak di mata tuannya sehingga sang tuan pun menikahkan beliau dengan putrinya. Dari perkawinan tersebut, lahirlah seorang anak laki-laki dari negeri Khurasan yang diberi nama Abdulloh Ibnul Mubarak yang kelak menjadi salah seorang ulama besar dalam sejarah islam.
(Sumber: Siyar Alamu Nubala, Imam Adzahabi)
Mutiara Kisah:
1) Mengenal lebih dekat seorang ulama yang bernama Abdulloh ibnul Mubarak
2) Kejujuran adalah sifat yang terpuji
3) Lawan kejujuran adalah sifat dusta
4) Kejujuran akan membuahkan berkah pada kehidupan seorang hamba
5) Hendaknya orang tua menjaga dirinya dari memakan makanan yang haram untuk menghasilkan anak-anak yang sholeh
6) Seseorang itu akan menjadi mulia karena ilmu yang ada pada dirinya
Penulis: Ustadz Abu Imron Sanusi
Sumber: Kisah-kisah Keteladanan, Kepahlawanan, Kejujuran, Kesabaran, Menggugah, serta Penuh dengan Hikmah dan Pelajaran Sepanjang Masa. Penerbit: Maktabah At-Thufail, Panciro-Gowa (Makassar-Sulsel).

Sabtu, 17 Agustus 2013

Nasehat Ulama

Siapakah orang yang cerdas...
Sebuah kajian islam oleh Syaikh Abdurahman bin Muhammad Musa Alu Nasr..

Kamis, 08 Agustus 2013

Perbedaan Mathla Dalam Tinjauan Syari'at

PERBEDAAN MATHLA' DALAM TINJUAN SYARI'AT

Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsari Al Maidani

Masalah klasik yang acap kali mencuat setiap menjelang Ramadhan dan akhir Ramadhan, yaitu berkaitan dengan penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan. Sampai sekarang, masalah ini masih terus dibicarakan oleh para ulama. Perbedaan pendapat dalam masalah ini sudah dikenal luas di kalangan ulama maupun para penuntut ilmu. Pada edisi kali ini, kami mencoba mengangkat kembali pembahasan masalah ini. Mudah-mudahan berguna bagi para pembaca, dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan.

Syari'at telah menjadikan tanda-tanda alam, seperti: hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai batas waktu penetapan ibadah dan hukum muamalah. Sebagai contoh, misalnya waktu shalat, puasa, haji, masa iddah dan lainnya. Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam berfirman dalam kitabNya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji". [al Baqarah:189]

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Allah telah menjadikan bulan sabit (hilal) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari." [1] 

Termasuk di dalamnya, yaitu ibadah puasa pada bulan Ramadhan, Allah mengaitkannya dengan hilal. Allah berfirman, yang artinya: "Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka (wajiblah baginya bershiyam)". [al Baqarah:185].

Hanya saja, kemudian timbul pertanyaan, bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempatnya sendiri? Cukupkah dengan melihat hilal di satu negeri saja, atau tiap-tiap negeri harus melihat hilal di tempatnya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Karena itulah para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.

Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, sebagai berikut:

Pendapat Pertama : Jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa. 

Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa'ad, pendapat sebagian ulama Syafi'iyyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: "Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk satu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa. Ini adalah pendapat Al Laits dan sebagian rekan Asy Syafi'i."

Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
a. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ 

"Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya". [Hadits riwayat Al Bukhaari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu].

b. Juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ 

"Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Pendapat Kedua : Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi'iyyah.

Pendapat Ketiga : Hampir sama dengan pendapat yang kedua, yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan. 

Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: "Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla' hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla'), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa beliau berkata: "Setiap penduduk negeri wajib melihat hilalnya masing-masing." Ini merupakan Madzhab Al-Qasim, Salim dan Ishaq. Diantara para ulama mutaakhirin yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[2]

Akan tetapi mereka berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Ada yang mengatakan apabila berita terlihatnya hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga. Dan pendapat lainnya.

Dalil mereka adalah hadits Kuraib yang diutus oleh Ummul Fadhl binti Al Harits untuk menemui Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu. Dia berkata: Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah Ummul Fadhl. Bertepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum'at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas c bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya,"Bilakah kalian melihat hilal?" Aku menjawab,"Kami melihatnya pada malam Jum'at!" Tanya beliau lagi,"Apakah engkau menyaksikannya?" Jawabku,"Ya. Orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu'awiyah turut berpuasa!" Abdullah bin Abbas berkata,"Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal." Aku berkata,"Tidak cukupkah kita mengikuti ru'yat hilal Mu'awiyah dan puasanya?" Abdullah bin Abbas menjawab,"Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami." [Hadits riwayat Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad. At Tirmidzi berkata,"Hadits hasan shahih gharib."]

Pendapat Keempat : Kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah telah mengumumkan berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa.

Dalil mereka adalah hadits Abu Hurairah yang kami sebutkan di depan: "Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Dari keempat pendapat tersebut, yang terpilih adalah pendapat pertama. Yaitu, jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama dahulu dan sekarang, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [3], Asy Syaukani [4], Syaikh Al Albani[5] dan ulama lainnya. Inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada, sebagaimana yang telah kami sebutkan di depan, diantaranya hadits:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

"Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya'ban tiga puluh hari.

Dan hadits:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Dan pendapat ini, juga selaras dengan kaidah umum syari'at yang menganjurkan kaum muslimin agar bersatu dan tidak berpecah-belah.

Akan tetapi timbul pertanyaan, bagaimanakah caranya menerapkan pendapat yang pertama ini?

Untuk sekarang ini, pendapat pertama sulit diterapkan. Karena realitanya, negeri kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa negara. Tiap-tiap negara memiliki kebijaksanaan dan kewenangan terhadap rakyatnya, dan tidak tunduk kepada kebijaksanaan negara lain. Termasuk dalam menetapkan awal Ramadhan dan dua Hari Raya, yakni 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Kecuali bila ada kesepakatan diantara negara-negara Islam tersebut. Namun kenyataannya, sampai hari ini kesepakatan itu tidak ada. 

Realitanya, sampai sekarang masih terjadi perbedaan kebijaksanaan masing-masing negara tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Jika pendapat ini dipaksakan untuk diterapkan sekarang ini, maka akan terjadi perselisihan kaum muslimin di satu negara. Ada yang berpuasa dan berhari raya bersama pemerintahnya, sedangkan yang lain berpuasa dan berhari raya mengikuti kebijaksanaan negara lain. Tentu saja perselisihan semacam ini tidak dibenarkan.

Jadi, melihat kondisi kaum muslimin dan negara-negara Islam sekarang ini, maka alternatif satu-satunya adalah menerapkan pendapat keempat. Yaitu, kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri masing-masing. Sampai nantinya kaum muslimin berada di bawah satu pemerintahan, atau negara-negara Islam saling berkonsolidasi dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Sehingga tercapailah kesepakatan dan kesatuan kalimat kaum muslimin dimanapun mereka berada.

Inilah kesimpulan yang dipilih oleh Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab Tamamul Minnah (hlm. 398) sebagai berikut:

"Sampai nanti negara-negara Islam mencapai kesepakatan dalam masalah ini. Maka menurutku, setiap orang harus berpuasa mengikuti kebijaksanaan pemerintah negaranya. Janganlah ia terpisah seorang diri. Sebagian orang berpuasa bersama pemerintahnya dan sebagian lain berpuasa bersama negara lain. Baik penetapan dari pemerintahnya itu maju sehari atau mundur sehari. Karena hal itu dapat meluaskan perselisihan dalam satu negara. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara-negara Arab semenjak beberapa tahun belakangan ini. Wallahul musta'an".

Demikian pula beliau menjelaskan dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/253-254). Demikian pula kesimpulan yang diambil oleh Syaikh Al Faqih Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam kitab Syarah Mumti' (VI/322) sebagai berikut:

"Inilah –yaitu berpuasa bersama negara masing-masing- yang dipraktekkan oleh kaum muslimin sekarang ini. Yaitu apabila telah ditetapkan oleh waliyul amri (pemerintah), maka wajib bagi kaum muslimin yang berada di bawah kekuasaannya untuk berpuasa atau berhari raya. Kalau dilihat dari efek sosiologisnya, pendapat ini sangat kuat, meskipun kita memilih pendapat kedua yang kita ambil yaitu perbedaan mathla', wajib bagi orang yang berpendapat bahwa masalah penetapan puasa didasarkan atas perbedaan mathla' untuk tidak menampakkan perbedaannya dengan orang banyak."

Demikian pula Lajnah Daimah Dan Majelis Tinggi Ulama Dan Lembaga Fatwa Dan Riset Saudi Arabia, telah mengeluarkan fatwa yang senada dengan pendapat yang keempat ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya sebagai berikut:

وَسُئِلَ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ عَنْ رَجُلٍ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ وَتَحَقَّقَ الرُّؤْيَةَ : فَهَلْ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ وَحْدَهُ ؟ أَوْ يَصُومَ وَحْدَهُ ؟ أَوْ مَعَ جُمْهُورِ النَّاسِ ؟

Beliau ditanya –semoga Allah menyucikan ruh beliau- tentang seorang lelaki yang melihat hilal seorang diri dan ia benar-benar telah melihatnya. Apakah ia boleh berhari raya sendiri atau berpuasa sendiri? Ataukah ia harus berpuasa bersama orang banyak?

Beliau menjawab:
"Alhamdulillah, jika ia melihat hilal Ramadhan seorang diri atau hilal Syawal seorang diri, apakah ia harus berpuasa karena ru'yatnya itu? Atau apakah ia harus berhari raya dengan ru'yatnya itu? Atau ia tidak boleh berpuasa dan berhari raya, kecuali bersama orang banyak?

Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama, dan merupakan tiga pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad.

Pertama : Ia harus berpuasa dan berhari raya sembunyi-sembunyi. Ini adalah madzhab Asy Syafi'i.

Kedua : Ia wajib berpuasa namun tidak wajib berhari raya, kecuali bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, Malik dan Abu Hanifah.

Pendapat ketiga : Ia wajib berpuasa dan berhari raya bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang paling tepat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan ia berkata,"Hasan gharib." Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Dan dalam riwayatnya hanya disebutkan 'Idul Fithri dan 'Idul Adha saja. At Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Ja'far dari Utsman bin Muhammad dari Al Maqburi dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطَرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Hari berpuasa kamu adalah hari berpuasa orang banyak. Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari orang banyak ber'idul fithri. Dan hari 'Idul Adha kamu adalah hari orang banyak ber'idul adha."

At Tirmidzi berkata,"Hadits ini hasan gharib." Kemudian ia berkata,"Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini. Mereka mengatakan, maknanya adalah berpuasa dan berhari raya bersama jama'ah dan orang banyak."

Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang lain. Dia berkata: Muhammad bin Ubaid telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad bin Zaid Bin Dirham telah menceritakan kepada kami dari Ayyub dari Muhammad bin Al Munkadiri dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ . وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ . وَكُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ وَكُلُّ مِنًى مَنْحَرٌ وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ وَكُلُّ جَمْعٍ مَوْقِفٌ

"Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari kamu semua ber'idul fithri. Dan hari 'Idul Adha kamu adalah hari kamu semua ber'idul adha. Dan seluruh wilayah Arafah adalah tempat wuquf. Seluruh wilayah Mina adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Seluruh jalan-jalan di Makkah adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Dan seluruh wilayah Muzdalifah adalah tempat bermalam (mabit)".

Karena kalau ia melihat hilal, pastilah akan diketahui oleh orang banyak. Hilal adalah ungkapan untuk sesuatu yang diketahui orang banyak. Maka dari itu, Allah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia dan penetapan waktu untuk haji. Dan itu terjadi, bila orang-orang mengetahuinya secara luas.

Penetapan bulan adalah perkara yang jelas. Jika tidak ada hilal tentu tidak ada pula bulan baru. Dasar masalah ini, adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengaitkan sejumlah hukum syar'i dengan hilal dan bulan. Misalnya, seperti ibadah puasa, 'Idul Fithri, 'Idul Adha. Allah berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji". [al Baqarah:189]

Allah Subhanhu wa Ta'ala menjelaskan, hilal adalah tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadat haji. Allah berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ -إلَى قَوْلِهِ - شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ

"Diwajibkan atas kamu berpuasa.... Sampai firman Allah: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia." [al Baqarah:183-185].

Allah telah mewajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Masalah ini telah disepakati oleh segenap kaum muslimin. Namun yang diperselisihkan oleh mereka adalah tentang hilal, apakah istilah untuk bulan sabit yang muncul di langit? Meskipun manusia tidak mengetahuinya? Dan dengan kemunculannya, sebagai pertanda masuknya bulan baru? Ataukah hilal bermakna nama bagi sesuatu yang diketahui orang banyak, dan bulan adalah sesuatu yang dikenal diantara mereka? Dalam masalah ini ada dua pendapat.

Bagi yang memilih pendapat pertama mengatakan: Barangsiapa melihat hilal seorang diri, maka ia telah masuk waktu berpuasa dan telah masuk bulan Ramadhan bagi dirinya. Malam itu bagi dirinya termasuk bulan Ramadhan, meskipun orang lain tidak mengetahuinya. Bagi yang tidak melihatnya, jika telah nyata baginya bahwa hilal telah muncul, maka ia wajib mengqadha' puasa. Demikian pula qiyasnya dengan 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Akan tetapi berkaitan dengan bulan haji, setahuku belum ada orang yang mengatakan bahwa barangsiapa melihat hilal, maka ia wuquf sendiri (berdasarkan ru'yatnya sendiri) tidak bersama jama'ah haji lainnya, ia menyembelih hewan kurban di hari berikutnya dan melempar jumrah Aqabah dan bertahallul sendiri tidak bersama jama'ah haji lainnya.

Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang 'Idul Fithri. Mayoritas ulama menyamakannya dengan Hari Raya Kurban. Mereka mengatakan, ia tidak boleh berhari raya, kecuali bersama kaum muslimin. Sementara yang lain mengatakan, ia harus berhari raya seperti halnya puasa, Allah tidak memerintahkan hambaNya berpuasa tiga puluh satu hari. 

Kontroversi pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar, adalah masalah puasa Ramadhan dan 'Idul Fithri sama seperti haji pada bulan Dzulhijjah. Jadi, syarat hilal dan bulan adalah pengenalan orang banyak terhadapnya dan pengetahuan mereka tentangnya. Sehingga, apabila sepuluh orang telah melihat hilal, namun tidak diketahui secara luas oleh mayoritas penduduk negeri, bisa jadi karena persaksian sepuluh orang ini tertolak, atau karena mayoritas penduduk negeri belum menyaksikannya. Maka, hukum sepuluh orang ini, sama seperti hukum mayoritas kaum muslimin lainnya (yakni belum wajib berpuasa meskipun telah melihat hilal dengan mata kepala mereka sendiri –pent). Sebagaimana halnya mereka tidak boleh wuquf, menyembelih kurban dan mengerjakan shalat 'Id, kecuali bersama kaum muslimin. Demikian pula ia tidak boleh memulai berpuasa Ramadhan, kecuali bersama kaum muslimin. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Oleh karena itu, Imam Ahmad menjelaskan dalam sebuah riwayat dari beliau: "Ia harus berpuasa bersama imam (penguasa, pemerintah) dan jama'ah kaum muslimin, baik pada saat cuaca cerah[6] maupun mendung" [7]. 

Imam Ahmad mengatakan:

يَدُ اللَّه عَلَى الْجَمَاعَةِ 

"Tangan Allah bersama jama'ah."

Seperti yang kita ketahui, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang berpendapat ittihadul mathla' (satu mathla') untuk semua. Akan tetapi, beliau mengambil kesimpulan seperti yang telah kami nukil di atas tadi. Demikian pula Imam Ahmad, seperti yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah dari beliau. Terutama pada saat negeri kaum muslimin terpecah menjadi beberapa negeri. Masing-masing negeri memiliki kebijakan yang terpisah dengan negeri lainnya. Kecuali kalau ada koordinasi dan kesepakatan dari masing-masing negeri untuk menetapkan satu kebijaksanaan dalam penetapan hari-hari besar Islam ini. 

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa seorang muslim tidak boleh memulai puasa Ramadhan dan berhari raya seorang diri atau menyempal dari kaum muslimin yang lainnya. Dia harus mengikuti jama'ah dan imam atau pemimpinnya. Dari situ, barangkali dapat kita tafsirkan hadits Kuraib, bahwa pemerintahan di Syam tidak tunduk kepada kebijaksanaan pemerintahan di Madinah. Sehingga tiap-tiap negeri memiliki kebijaksanaan dan ketetapan masing-masing yang terpisah. Dan bagi tiap-tiap penduduk negeri mengikuti kebijaksanaan pemerintahnya. Sehingga dengan demikian, kalimat kaum muslimin dapat disatukan, khususnya dalam ibadah dan perayaan terbesar bagi kaum muslimin. Tentu saja, yang kita harapkan negeri-negeri Islam dapat bersatu dalam menetapkan hari besar mereka. Itu harapan kita, seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Silakan lihat kembali uraian beliau di atas.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin, sehingga tidak ada perselisihan tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Semoga!

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (I/281).
[2]. Silakan lihat Syarah Al Mumti' (VI/322) dan Fiqhun Nawazil, tulisan Dr. Bakar bin Abdillah Abu Zaid (II/222-223).
[3]. Silakan lihat Majmu' Fatawa (XXV/105).
[4]. Silakan lihat Nailul Authar (IV/203-210).
[5]. Silakan lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/235) dan Tamamul Minnah (hlm. 397 dan 398).
[6]. Yakni hilal kemungkinan bisa terlihat oleh siapa saja, Pent.
[7]. Yakni hilal kemungkinan tidak bisa terlihat, Pent.

Dari http:\\almanhaj.or.id

Senin, 05 Agustus 2013

Shalat 'Ied Di Tanah Lapang Adalah Sunnat

Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
Disunnahkan bagi imam atau wakilnya untuk berangkat menunaikan shalat 'Ied di tanah lapang dan tidak ke masjid, kecuali karena alasan tertentu. [1]
Dan dikecualikan dari demikian yaitu yang berdiam di Makkah yang semoga Allah tambahkan padanya kemuliaan. Oleh karena itu tidak pernah sampai kepada kita satu (riwayat) pun dari pendahulu mereka, bahwa mereka shalat kecuali di masjid mereka (Masjidil Haram) [2]
Dan dalil shalat dua hari raya di lapangan diantaranya :
[1]. Riwayat yang telah lewat pada hadits Ummu 'Athiyyah mengenai perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar (shalat) ke lapangan.
[2]. Riwayat yang datang dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika keluar (shalat) di hari Raya, beliau menyuruh menancapkan tombak, lalu meletakkannya di antara tangannya, lalu ia shalat menghadapnya dan para sahabat (mengikuti) di belakangnya. Hal ini dilakukannya sewaktu bepergian, kemudian para pemimpin mengikuti (sunnah) tersebut.
Dalam riwayat lain, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menancapkan tombak di depannya pada 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adha kemudian beliau shalat.
Dan dalam riwayat lain :
Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat shalat ke lapangan, dan tombak kecil ada ditangannya, ia membawa dan menancapkannya di lapangan, lalu ia shalat menghadapnya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim] [3]
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi' Fii Shalaatit Tathawwu', edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
__________
Foote Note
[1]. Syarhus Sunnah (IV/294)
[2]. Al-Umm oleh Imam Asy-Syafi'i (1/234)
[3]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam beberapa tempat. Beberapa lafazh dan riwayat pada beberapa tempat berikut ini dalam Kitaabush Shalaah, bab Sutratul Imaam Sutratu Man Khalfahu, (hadits no. 494), dalam Kitaabul 'Iedain, bab Ash-Shalaah Ilal Harbati Yaumal 'Ied, (hadits no. 972) dan dalam bab Hamlil Anazah Awil Harbah Baina Yadayil Imaam Yaumal 'Ied, (hadits no. 973). Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitaabush Shalaah, bab Sutratul Mushalli, (hadits no. 501).
Penjelasan
Al-'Alamah Muhammad Nashruddin Al-Albani rahimahullah memiliki risalah (buku) mengenai permasalahan ini, demikian pula Syaikh Ahmad Muhammad Syair telah membahas tentang shalat 'Ied di lapangan dan tentang keluarnya wanita ke lapangan, ia memasukkan pembahasan tersebut berserta tahqiqnya untuk kitab Sunan At-Tirmidzi (2/421-424)
 

Jumat, 02 Agustus 2013

Maaf-Memaafkan Dalam Rangka Hari Raya, Disyariatkan?

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh. [al-A'raf/7:199]
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. [Ali Imran/3:159]
Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali-Imran/3:134]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan besarnya keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)" [1]
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia dimuliakan dan diagungkan di hati manusian karena sifatnya yang mudah memaafkan orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi Allah Azza wa Jalla. [2]
MAAF-MEMAAFKAN DI HARI RAYA?
Akan tetapi, amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut. Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.
Ini termasuk perbuatan bid'ah [3] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka" [4]
Kalau ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid'ah yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam keterangan diatas ?
Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil (argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka berubah menjadi perbuatan bid'ah yang sangat tercela dalam Islam.
Sebagai contoh shalat malam dan puasa sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, dua jenis ibadah ini jika pelaksanaannya dikhususkan pada hari Jum'at, maka dua masalah besar tersebut menjadi tercela dan haram untuk dilakukan [5], sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لاَ تَخْتَصُّوالَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ مِنْ بَيْنَ اللَّيَالِى وَلاََ تخُصُّوايَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ مِنْ بَيْنِ الأَيَامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum'at di antara malam-malam lainnya (melaksanakan) shalat malam, dan janganlah mengkhususkan hari Jum'at di antara har-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang bisa dilakukan oleh salah seorang darimu. [6]
Inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan nama "bid'ah idhafiyyah", yaitu perbuatan yang secara umum dianjurkan dalam Islam, akan tetapi sebagian kaum Muslimin mengkhususkan perbuatan tersebut dengan waktu, tempat, sebab, keadaan atau tata cara tertentu yang tidak bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [7]
Contoh lain dalam masalah ini adalah shalat malam yang dikhususkan pada bulan Rajab dan Sya'ban. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata tentang dua shalat ini : "Shalat (malam di bulan) Rajab dan Sya'ban adalah bid'ah yang sangat buruk dan tercela" [8]
Imam Abu Syamah rahimahullah menjelaskan kaidah penting ini dalam ucapannya: "Tidak diperbolehkan mengkhususkan ibadah-ibadah dengan waktu-waktu (tertentu) yang tidak dikhususkan oleh syariat, akan tetapi hendaknya semua amal kebaikan tersebut bebas (dilakukan) di setiap waktu (tanpa ada pengkhususan). Tidak ada keutamaan satu waktu di atas waktu yang lain, kecuali yang diutamakan oleh syariat dan dikhsusukan dengan satu macam ibadah…. Seperti puasa di hari Arafah dan Asyura, shalat di tengah malam, dan umrah di bulan Ramadhan…"[9]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : "… Termasuk (contoh) dalam hal ini bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan larangan mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa dan hari Jum'at, agar tidak dijadikan sebagai sarana menuju perbuatan bid'ah dalam agama (yaitu) dengan pengkhususan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak dikhususkan oleh syarat" [10]
MENIMBANG ACARA HALAL BIL HALAL
Termasuk acara yang marak dilakukan oleh kaum Muslimin di Indonesia dalam rangka saling memaafkan setelah hari raya Idhul Fithri adalah apa yang biasa dikenal dengan acara Halal bil halal.
Acara ini termasuk perbuatan bid'ah yang tercela dengan alasan seperti yang kami paparkan diatas. Acara ini tidak pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini, para sahabat Radhiyallahu anhum, serta para imam ahlus sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan baik. Padahal mereka adalah orang-orang yang telah dipuji pemahaman dan pengamalan Islam mereka oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang benar. [at-Taubah/9 : 100]
Dan dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para Sahabat), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka. [11]
Disamping itu acara ini ternyata berisi banyak kemungkaran dan pelanggaran terhadap syariat Allah Azz wa Jalla, diantaranya :
1. Terjadinya ikhtilath (bercampur baur secara bebas) antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada ikatan yang dibenarkan dalam syariat. Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, bahkan ini merupakan biang segala kerusakan di masyarakat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan" [12]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mejelaskan hal ini dalam ucapan beliau : "Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bergaul bebas dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai malapetaka yang merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua perkara yang umum maupun yang khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab berkembang pesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasaan massal (umat manusia) dan munculnya wabah penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan" [13]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah lebih menegaskan hal ini dalam ucapan beiau : "Dalil-dalil (dari al-Qur'an dan hadist Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki) berduaan dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula diharamkan) memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia) ke dalam perkara yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Dalil-dalil tersebut sangat banyak dan kuat (semuanya) menegaskan keharaman –ikhtilath (bercampur baur secara bebas antara laki-laki dengan perempuan kepada perkara (kerusakan) yang sangat buruk akibatnya" [14]
2. Bersalaman dan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya).
Perbuatan ini sangat diharamkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya dari pada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya" [15]
3. Kehadiran para wanita yang besolek dan berdandan seperti dandanan wanita-wanita Jahiliyah.
Ini juga diharamkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Dan hendaklah kalian (wahai kaum perempuan Mukminah) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (bersolek dan berhias) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu. [Al-Ahzab/33 : 33]
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) setan akan mengikutinya (menghiasinya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaannya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya" [16]
PENUTUP
Demikianlah pemaparan ringkas tentang hukum saling maaf-memaafkan dalam rangka hari raya. Wajib bagi setiap muslim untuk meyakini bahwa semua sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla semua itu telah dijelaskan dan dicontohkan dengan lengkap oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam petunjuk yang beliau bawa.
Sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliu Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kami ilmu tentang hal tersebut". Kemudian Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
مَا بَقِيَ شَيءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَا عِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidak ada (lagi) yang tertinggal sedikit pun dari (ucapan'perbuatan) yang bisa mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, kecuali semua itu telah dijelaskan kepadamu" [17]
Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah dan menjauhi segala sesuatu yang menyimpang dari sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita. Amin
Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [18]
Wallahu a'lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim no. 2588 dan imam-imam lainnya
[2]. Lihat syarh Shahih Muslim 16/14 dan Tuhfatul Ahwadzi 6/150
[3]. Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[4]. HR. Muslim no. 867, an-Nasai no. 1578 dan Ibnu Majah no.45
[5]. Lihat Ilmu Ushulil Bida' hlm.151
[6]. HR. Muslim no. 1144
[7]. Lihat Ilmu Ushulil Bida' hlm.147-148
[8]. Fatawa al-Imam an-Nawawi hlm.26
[9]. Al-Baits 'ala Inkaril Bida'i wal Hawadits hlm.165
[10]. Ighatsatul Lahfan I/368
[11]. HR. al-Bukhari dan Muslim
[12]. HR. al-Bukhari no. 4808 dan Muslim no. 2740
[13]. Seperti penyakit AIDS dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya. Na'udzu billahi min dzalik.
[14]. Majalatul Buhutsil Islamiyah 7/343
[15]. HR ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir no. 486 dan 487 dan ar-Ruyani dalam al-Musnad 2/227, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 226
[16]. HR Ibnu Khzaimah no. 1685, Ibnu Hibban no. 5599 dan ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Ausath no. 2890, dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan al-Albani dalam ash-Shahihah no. 2688
[17]. HR ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir 2/155, no. 1647 dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1803
[18]. Doa yang selalu diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal yang dikutip oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam tarikh Baghdad 9/349
Posting ulang dari http:\\www.almanhaj.or.id

Rabu, 31 Juli 2013

Kemungkaran-Kemungkaran Yang Bisa Terjadi Pada Hari Raya

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN YANG BISA TERJADI PADA HARI RAYA
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsari
Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[1].
Diantara Kemungkaran Itu Adalah :
1.Berhias Dengan Mencukur Jenggot.
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat[2] yang telah dikenal.
2. Berjabat Tangan Dengan Wanita Yang Bukan Mahram.
Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
َلأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ رَجُلٍ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ، خَيْرٌ لَهُ مَنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
"Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" [Hadits Shahih, Lihta takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku]
Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]
3. Tasyabbuh (Meniru) Orang-Orang Kafir Dan Orang-Orang Barat Dalam Berpakaian Dan Mendengarkan Alat-Alat Musik Serta Perbuatan Mungkar Lainnya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
مَنْ تَشَبَهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka" [3]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ، يَأْتِيهِمْ يَعْنِي -الْفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِيْـنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya : Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : 'Kembalilah kepada kami besok!' Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-bai hingg hari kiamat" [4]
4. Masuk Dan Bercengkerama Dengan Wanita-Wanita Yang Bukan Mahram.
Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau.
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: اَلْحَمْوُ الْمَوْتُ
"Artinya : Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita". Maka berkata salah seorang pria Anshar : "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu" Beliau berkata : "Al-Hamwu adalah maut" [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir]
Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan "Al-Hamwu"
"Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa' adalah kerabat dekat suami seperti ayah[5], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka... Dan sabda beliau : "Al-Hamwu adalah maut" maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan "Al-Hamwu adalah mau" merupakan do'a kejelekan..." ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]
5. Wanita-Wanita Yang Bertabarruj (Berdandan Memamerkan Kecantikan) Kemudian Keluar Ke Pasar-Pasar Atau Tempat Lainnya.
Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari'at Allah. Allah Ta'ala berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ
"Artinya : Hendaklah mereka (wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat" [Al-Ahzab : 33]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ، يَضْرِبُوْنَ بِهَا الـنَّاسَ. وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ، مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ، رُءُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ. لاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنْ كَانَ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.
"Artinya : Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : ........ dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[6], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[7]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian" [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]
6. Mengkhususkan Ziarah Kubur Pada Hari Raya : Membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]
7. Boros Dalam Membelanjakan Harta Yang Tidak Ada Manfaatnya Dan Tidak Ada Kebaikan Padanya.
Allah berfirman.
وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" [Al-An'am : 141]
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
"Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan" [Al-Isra : 26-27]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا وَضَعَهُ
"Artinya : Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang ... dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan" [8]
8. Kebanyakan Manusia Meninggalkan Shalat Berjama'ah Di Masjid Tanpa Alasan Syar'i Atau Mengerjakan Shalat Ied Tetapi Tidak Shalat Lima Waktu. Demi Allah, Sesungguhnya Ini Adalah Salah Satu Bencana Yang Amat Besar.
9. Berdatangannya Sebagian Besar Orang-Orang Awam Ke Kuburan Setelah Fajar Hari Raya ; Mereka meninggalkan shalat Ied, dirancukan dengan bid'ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]
Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[9] dan ranting-ranting pohon !!
Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.
10, Tidak Adanya Kasih Sayang Terhadap Fakir Miskin.
Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لاَيُوْ مِن احد كُمْ حتَّى يحبُ لأخيه ما بحب لنفْسه
"Artinya : Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya" [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]
11. Bid'ah-bid'ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta'ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah.
Bid'ah itu banyak sekali[10]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةَ اْلأَضْحَى، لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ، يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
"Artinya : Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati" [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" 520-521]
Hadits ini tidak boleh sama sekali disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_______
Footnote.
[1]. Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan secara umum dilakukan pada waktu haru raya ataupun di luar hari raya, akan tetapi kemungkaran itu lebih besar dan bertambah dilakukan pada hari-hari raya.
[2]. Lihat Fathul Bari 10/351, Al-Ikhtiyar Al-Ilmiyah 6, Al-Muhalla 2/220, Ghidza'ul Albab 1/376 dan selainnya. Al-Akh Syaikh Muhammad bin Ismail telah meneliti dalam kitabnya "Adillah Tahrim Halqil Lihyah" hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, kemudian ia menyebutkan penjelasan ulama tentangnya, dan juga nukilan-nukilan dari kitab-kitab madzhab yang jadi sandaran. Lihatlah kitab yang berharga itu. dan lihat juga "Majallah Al-Azhar" 7/328. Aku telah menulis risalah berjudul "Hukum Ad-Dien Fil Lihyah wat tadkhin" -Alhamdulillah- Kitab itu telah dicetak beberapa kali.
[3]. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 2/50 dan 92 dari Ibnu Umar dan isnadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al Atsar 1/88 dari Hassan bin Athiyah, Abu Nu'aim dalam Akhbar Ashbahan 1/129 dari Anas, meskipun ada pembicaraan padanya, tetapi dengan jalan-jalan tadi, hadits ini derajatnya Shahih, insya Allah.
[4]. Hadits Riwayat Bukhari 5590 secara muallaq dan bersambung menurut Abu Daud 4039, Al-Baihaqi 10/221 dan selainnya. berkata Al-Hafidzh dalam Hadyu As-Sari 59 : Al-Hasan bin Sufyan menyambungnya dalam Musnadnya, dan Al-Isma'ili, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Abu Nua'im dari empat jalan, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan selain mereka. Aku katakan : Dalam hadits ini ada lafadh-lafadh yang asing, aku akan menjelaskannya dengan berurutan.
[5]. Dia dikecualikan berdasarkan nash Al-Qur'anul Karim, lihat "Al-Mughni" 6/570
[6]. Menyimpang dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keharusan mereka untuk menjaga kemaluan, "An-Nihayah" 4/382
[7]. Berkata Al-Qadli 'Iyadh dalam Masyariqul Anwar 1/79 : Al-Bukht adalah unta yang gemuk yang memiliki dua punuk. Maknanya -wallahu a'lam- wanita-wanita itu menggelung rambut mereka hingga kelihatan besar dan tidak menundukkan pandangan mata mereka.
[8]. Hadits Riwayat Tirmidzi 2416, Al-Khatib dalam Tarikh-nya 12/440 dari Ibnu Mas'ud, padanya ada kelemahan. Akan tetapi ada pendukungnya dari Abi Zur'ah di sisi Ad-Darimi Dzail Tarikh Baghdad 2/163. Dan dari Mu'adz di sisi Al-Khatib 11/441. Maka hadits ini Hasan.
[9]. Lihat Ahkamul Jazaiz hal. 253, Ma'alimus Sunan 1/27 dan ta'liq Syaikh Ahmad Syakir atas Sunan Tirmidzi 1/103
[10]. Lihat beberapa di antaranya dalam kitab A'yadul Islam 58 pasal Bida'ul Iedain
Dari Postingan http:\\www.almanhaj.or.id
Reporting by http:\\www.almanzilatul.khairiyah.blogspot.com 

Selasa, 30 Juli 2013

Bid'ah Hasanah, Bid'ah Sayyi'ah

Pertanyaan 3: Para ulama berbeda pendapat tentang bid`ah, sebagian mereka mengatakan bahwa bid`ah itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi`ah (buruk), apakah ini benar?
Jawaban 3: Bid`ah adalah segala sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada contoh sebelumnya. Di antaranya ada yang berhubungan dengan muamalat dan urusan dunia, seperti penemuan sarana transportasi misalnya pesawat, mobil, kereta api, dan penemuan perangkat listrik, peralatan masak, dan AC yang berfungsi sebagai pemanas dan pendingin. Juga seperti penemuan alat-alat perang berupa bom, kapal selam, tank, dan lainnya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hal semacam ini tidak dilarang dan tidak pula berdosa menciptakannya. Adapun berkaitan dengan tujuan dan manfaat dari penciptaannya, jika tujuannya baik dan sebagai alat untuk kebaikan maka ia termasuk baik. Dan jika bertujuan buruk, seperti menghancurkan, membinasakan, membuat kerusakan di muka bumi dan sebagai alat untuk kejahatan, maka ia termasuk kejahatan dan bencana. Bid`ah dalam agama terdapat dalam hal aqidah, ibadah, baik yang berbentuk ucapan maupun perbuatan, seperti bid`ah meniadakan takdir,
membangun masjid di atas kuburan, membangun kubah di atas kuburan, membaca Al-Quran di kuburan untuk orang meninggal, perayaan maulid untuk mengenang orang-orang yang saleh dan terkemuka, meminta pertolongan kepada selain Allah dan tawaf di sekitar tempat-tempat keramat. Hal-hal ini dan sejenisnya semua adalah sesat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam :  Waspadalah terhadap perbuatan yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perbuatan yang diada-adakan adalah bid`ah dan setiap bid'ah adalah sesat. Namun, beberapa di antaranya merupakan syirik besar yang dapat mengeluarkan dari Islam, seperti meminta pertolongan kepada selain Allah yang di luar kemampuan, menyembelih, bernazar kepada selain Allah, dan yang lainnya yang termasuk ibadah khusus kepada Allah. Dan di antaranya ada yang menjadi jalan menuju syirik, seperti bertawasul kepada Allah dengan kemuliaan orang-orang saleh, bersumpah dengan selain nama Allah, dan ucapan : "Ma Sya'allah wa Syi`ta" (sesuai dengan kehendak Allah dan kehendakmu). Dan bid`ah tidak terbagi ke dalam hukum ibadah yang lima sebagaimana sangkaan sebagian orang, berdasarkan hadits :  Setiap bid`ah adalah sesat
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.
di salin dari komisi fatwa "lajnah ad-daimah" http://www.alifta.net/default.aspx?languagename=id

Senin, 29 Juli 2013

Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

Di sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah momen yang baik untuk banyak beramal. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga mencontohkan hal ini, beliau lebih semangat beramal di akhir-akhir Ramadhan. Ada dua alasan kenapa bisa demikian. Pertama, karena setiap amalan dinilai dari akhirnya. Kedua, supaya mendapati lailatul qadar.

Lailatul Qadar Di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan." (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan." (HR. Bukhari no. 2017)

Lebih Serius dalam Ibadah di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa ketika memasuki 10 Ramadhan terakhir, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah." Muttafaqun 'alaih. (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174).

Hadits di atas menunjukkan keutamaan beramal sholih di 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan. Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan punya keistimewaan dalam ibadah dari hari-hari lainnya di bulan Ramadhan. Ibadah yang dimaksudkan di sini mencakup shalat, dzikir, dan tilawah Al Qur'an.

Hadits tersebut juga menunjukkan anjuran membangunkan keluarga yaitu para istri supaya mendorong mereka melakukan shalat malam. Lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

Membangunkan keluarga di sini merupakan anjuran di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, namun anjuran juga untuk hari-hari lainnya. Karena keutamaannya disebutkan dalam hadits yang lain,

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِى وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِى وَجْهِهِ الْمَاءَ

"Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang di malam hari melakukan shalat malam, lalu ia membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan, maka ia memerciki air pada wajahnya. Semoga Allah juga merahmati seorang wanita yang di malam hari melakukan shalat mala, lalu ia membangungkan suaminya. Jika suaminya enggan, maka istrinya pun memerciki air pada wajahnya." (HR. Abu Daud no. 1308 dan An Nasai no. 1148. Sanad hadits ini hasan kata Al Hafizh Abu Thohir).

Sufyan Ats Tsauri berkata, "Aku sangat suka pada diriku jika memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan untuk bersungguh-sungguh dalam menghidupkan malam hari dengan ibadah, lalu membangunkan keluarga untuk shalat jika mereka mampu." (Lathoiful Ma'arif, hal. 331).

Yang dimaksud dengan menghidupkan sepuluh hari terakhir atau menghidupkan malam lailatul qadar adalah dengan menghidupkan mayoritas malamnya, tidak mesti seluruhnya. Demikian pendapat ulama Syafi'iyah. Bahkan sebagaimana dinukil dari Imam Syafi'i, keutamaan tersebut didapat bagi orang yang menghidupkan shalat 'Isya' secara berjama'ah dan shalat Shubuh secara berjama'ah. Lihat Lathoiful Ma'arif, hal. 329.

Semoga Allah memudahkan kita bersemangat dalam ibadah di akhir-akhir Ramadhan.

 

Referensi:

Minhatul 'Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh 'Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 51-52.
Lathoif Al Ma'arif fii Maa Limawasimil 'Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H.

Disusun di siang hari, 18 Ramadhan 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id
Posting ulang : http:\\www.almanzilatul.khairiyah.blogspot.com