Jumat, 20 September 2013

Panduan Ibadah Qurban (bagian 1)

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk
Rabbmu dan sembelihlah hewan." (Qs. Al Kautsar: 2) Syaikh Abdullah Alu
Bassaam mengatakan, "Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; yang
dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban
setelah shalat Ied." Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Atha' dan
Ikrimah (Taisirul 'Allaam, 534, Taudhihul Ahkaam IV/450, & Shahih
Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa
disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi
(dengan huruf ha' tipis).
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan
hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena
datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih
Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. 'Aisyah
radhiyallahu'anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari
Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan
darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya." (HR.
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul
Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didla'ifkan oleh Syaikh Al Albani (Dla'if Ibn Majah,
671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya
keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan
qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai
atau seharga dengan hewan qurban, atau bahkan lebih utama dari pada
sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud
terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan
semata-mata nilai binatangnya. Disamping itu, menyembelih qurban lebih
menampakkan syi'ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 &
Syarhul Mumthi' 7/521)

Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama: Wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat
demikian adalah Rabi'ah (guru Imam Malik), Al Auza'i, Abu Hanifah,
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa'ad beserta
beberapa ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan:
"Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada
pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya
diwajibkan bagi yang mampu…" (lih. Syarhul Mumti', III/408) Diantara
dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang
berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan
sekali-kali mendekati tempat shalat kami." (HR. Ibnu Majah 3123, Al
Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu'akkadah (ditekankan). Dan ini
adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi'i, Ahmad, Ibnu Hazm
dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan
riwayat dari Abu Mas'ud Al Anshari radhiyallahu 'anhu. Beliau
mengatakan, "Sesungguhnya aku sedang tidak berqurban. Padahal aku
adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir
kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku." (HR. Abdur
Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh
Abu Sarihah, "Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua
tidak berqurban." (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih)
Ibnu Hazm berkata, "Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun
yang menyatakan bahwa qurban itu wajib." (lihat Al Muhalla 5/295,
dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah II/367-368, dan Taudhihul Ahkaam,
IV/454).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing
pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat
sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan
dengan menasehatkan: "…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak
meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan
hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a'lam. (Tafsir Adwa'ul Bayan,
1120).

Yakinlah…! Bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan
ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah
mengutus dua malaikat, yang satu berdo'a: "Yaa Allah, berikanlah ganti
bagi orang yang berinfaq." Dan yang kedua berdo'a: "Yaa Allah,
berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit)." (HR.
Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari jenis Bahiimatul Al An'aam (hewan
ternak). Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, "Dan bagi setiap
umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah
atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak
(bahiimatul an'aam)." (Qs. Al Hajj: 34). Dalam bahasa arab, yang
dimaksud Bahiimatul Al An'aam hanya mencakup tiga binatang yaitu onta,
sapi atau kambing. Oleh karena itu, berqurban hanya sah dengan tiga
hewan tersebut dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama
menukilkan adanya ijma' (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah
kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369
dan Al Wajiz 406) Syaikh Ibnu 'Utsaimin mengatakan, "Bahkan jika
seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih
mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah.
Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000
real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya
(dengan kuda) itu tidak sah…" (Syarhul Mumti' III/409)
Seekor Kambing untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya
mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub
radhiyallahu'anhu yang mengatakan, "Pada masa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai
qurban bagi dirinya dan keluarganya." (HR. Tirmidzi dan beliau
menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266)
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk
salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya qurban tahun ini
untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak
pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah
sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan
seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing
qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: "Yaa Allah ini – qurban
– dariku dan dari umatku yang tidak berqurban." (HR. Abu Daud 2810 &
Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa' 4/349).
Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan:
"Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala
sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam."
Adapun yang dimaksud: "…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi
untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…" adalah biaya pengadaannya.
Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan
sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan qurban onta hanya boleh
dari maksimal 10 orang.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang
kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak
mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah
hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada
pemilik hewan? Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian
sedekah maupun hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang
yang diberi sedekah maupun hadiah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta
untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu beliau mengatakan,
"Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat
sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi
kami berserikat sebanyak tujuh orang." (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536,
Al Wajiz, hal. 406).
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan
qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi,
pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut
urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan
berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian
ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya
adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, surat
Al Hajj: 36)[1]. Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau
menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang
dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah
kelahiran.
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang
dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama
tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih.
Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin
mengatakan: "Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan
pelunasan hutang dari pada berqurban." (Syarhul Mumti' 7/455). Bahkan
Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban
karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang,
dan beliau jawab: "Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban
atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang,
lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah
kerabat dekat." (lih. Majmu' Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling
bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam
memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan
untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang yang keadaanya
mudah dalam melunasi hutang atau hutang yang jatuh temponya masih
panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan
hutang dari pada qurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi
hutang atau orang yang memiliki hutang dan pemiliknya meminta agar
segera dilunasi.
Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang
jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban
dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a'lam.
Hukum Qurban Kerbau
Para ulama' menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan
keduanya dianggap sebagai satu jenis (Mausu'ah Fiqhiyah Quwaithiyah
2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban
dengan kerbau. Baik dari kalangan Syafi'iyah (lih. Hasyiyah Al
Bajirami) maupun dari madzhab Hanafiyah (lih. Al 'Inayah Syarh Hidayah
14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu
jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.

Isi Pertanyaan:
"Kerbau dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat sebagaimana
kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing
dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi,
sebagaimana disebutkan dalam surat Al An'am 143. Apakah boleh
berqurban dengan kerbau?"
Beliau menjawab:
"Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun
jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur'an adalah
jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk
hewan yang dikenal orang arab." (Liqa' Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di
atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena
kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a'lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di beberapa lembaga pendidikan di daerah kita,
ketika idul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan
qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang
tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di
hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang
memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari'at.
Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban,
alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah
pembiayaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, biaya pengadaan
untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh
karena itu kasus tradisi 'qurban' seperti di atas tidak dapat dinilai
sebagai qurban. Karena biaya pengadaan kambing diambil dari sejumlah
siswa.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi
tiga bentuk:
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun
statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya
seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di
antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini
dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya,
termasuk yang sudah meninggal.
Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat
dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu
hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana
sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 &
1765). Namun sebagian ulama' bersikap keras dan menilai perbuatan ini
sebagai satu bentuk bid'ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau
berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang
telah meninggal, mendahului beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang
menyatakan bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara
khusus tanpa ada wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena
Nabi r tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai
keluarganya yang telah meninggal seperti istri beliau tercinta
Khadijah dan paman beliau Hamzah.
Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah
mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia
meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika
dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki
Syarhul Mumti' yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin
51)
Umur Hewan Qurban
Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali
apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih
domba jadza'ah." (Muttafaq 'alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, diambil dari kata
sinnun yang artinya gigi. Hewan tersebut dinamakan musinnah karena
hewan tersebut sudah ganti gigi (bahasa jawa: pow'el). Adapun rincian
usia hewan musinnah adalah:
No. Hewan Usia minimal
1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing jawa 1 tahun
4. Domba 6 bulan (domba Jadza'ah)
(lihat Syarhul Mumti', III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)

Apakah yang menjadi acuan usianya ataukah ganti giginya?

Yan menjadi acuan hewan tersebut bisa digolongkan musinnah adalah
usianya. Karena penamaan musinnah untuk hewan yang sudah genap usia
qurban adalah penamaan dengan umumnya kasus yang terjadi. Artinya,
umumnya kambing yang sudah berusia 1 tahun atau sapi 2 tahun itu sudah
ganti gigi. Disamping itu, ketika para ulama menjelaskan batasan hewan
musinnah dan hewan jadza'ah, mereka menjelaskannya dengan batasan
usia. Dengan demikian, andaikan ada sapi yang sudah berusia 2 tahun
namun belum ganti gigi, boleh digunakan untuk berqurban. Allahu a'lam.

Berkurban dengan domba jadza'ah itu dibolehkan secara mutlak ataukah bersyarat

Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi menyebutkan ada
beberapa pendapat:
Pertama, boleh berqurban dengan hewan jadza'ah dengan syarat kesulitan
untuk berqurban dengan musinnah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn
Umar dan Az Zuhri. Mereka berdalil dengan makna dlahir hadis di atas.
Kedua, dibolehkan berqurban dengan domba jadza'ah (usia 6 bulan)
secara mutlak. Meskipun shohibul qurban memungkinkan untuk berqurban
dengan musinnah (usia 1 tahun). Pendapat ini dipilih oleh mayoritas
ulama. Sedankan hadis Jabir di atas dimaknai dengan makna anjuran.
Sebagaimana dianjurkannya untuk memilih hewan terbaik ketika qurban.
Insyaa Allah pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Karena pada hadis
Jabir di atas tidak ada keterangan terlarangnya berqurban dengan domba
jadza'ah dan tidak ada keterangan bahwa berqurban dengan jadza'ah
hukumnya tidak sah. Oleh karena itu, Jumhur ulama memaknai hadis di
atas sebagai anjuran dan bukan kewajiban. Allahu a'lam. (Syarh Shahih
Muslim An Nawawi 6/456)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 [2]:
- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta –
meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi
maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama'
madzhab syafi'iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk
qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
- Sakit dan jelas sekali sakitnya. Tetapi jika sakitnya belum jelas,
misalnya, hewan tersebut kelihatannya masih sehat maka boleh
diqurbankan.
- Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru
kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan
hewan qurban.
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di
atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih
Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti' 3/294).
b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 [3]:
- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
c. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan
untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari
itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak
bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung.
Wallahu a'lam (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Footnotes:
[1] Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: "Dulu Abu Hatim pernah
berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: "Kamu berhutang
untuk beli unta qurban?" beliau jawab: "Saya mendengar Allah
berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak
pada unta-unta qurban tersebut) (Qs. Al Hajj: 36). (lih. Tafsir Ibn
Katsir, surat Al Hajj: 36)
[2] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa
yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: "Ada empat
cacat…dan beliau berisyarat dengan tangannya." (HR. Ahmad 4/300 & Abu
Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama
menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang
terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana
dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi' 7/464)
[3] Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan
yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun
hadisnya dlo'if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis
kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul
Mumthi' 7/470)
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
==========

Dari artikel 'Panduan Ibadah Qurban (bagian 1) — Muslim.Or.Id'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar