Senin, 24 Juni 2013

MARHABAN YA RAMADHAN

Tidak terasa, hari berganti  minggu, minggu berganti bulan, kini pada tahun l434 H kita kembali menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan Marhaban Ya Ramadhan.
            Membalik lembaran sejarah, suatu ketika seorang sahabat bernama Abu Usamah Radhiallahuanhu bertanya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam menjawab : “Alaika bishshiami. la mitsla lahu”. Berpuasalah engkau, tak ada ibadah seumpamanya. (HR Annasai,Ibnu Hibban dan Al Hakim dengan sanad yang shahih}. Itu puasa dihari-hari biasa, apalagi berpuasa di bulan Ramadhan. Merugilah orang yang tak mau memanfaatkan bulan Ramadhan yang penuh dengan rahmat dan maghfirah Allah Subhana wa ta'ala ini.
            Jika diperhatikan bunyi ayat Al-Quran Surah Al-Baqarah 183 terdapat keistimewaan perintah berpuasa ini. Penyerunya tersembunyi. ”Ya ayyuhalladzina amanu kutiba ‘alaikumushshiyamu kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum la’allakum tattaqun “.
            Seruan puasa itu ditujukan kepada orang-orang yang beriman, percaya, yakin terhadap keberadaan Allah yang ghaib. Sadar bahwa ia dijadikan Allah adalah untuk mengabdi kepadaNya. Tapi  dalam ayat ini tidak nyata disebut Allah  disana. “ Kutiba ‘alaikum “, diwajibkan atas kamu. Redaksi ini tidak menunjukkan siapa pelaku yang mewajibkan. Agaknya kata Prof Dr Quraish Shihab dalam Al—Mishbah hal ini untuk mengisyaratkan bahwa puasa itu sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang dan kelompok sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia itu sendiri  yang akan mewajibkannya atas dirinya
            Muslim meriwayatkan sebuah hadis berasal dari Abu Hurairah, suatu ketika tatkala naik ke mimbar untuk berkhutbah,Nabi mengatakan : Amin, amin… Abu  Hurairah heran, lalu bertanya kenapa Nabi bercakap sendirian mengatakan Amin. Rupanya Nabi Shalallahu alaihi wassalam   sedang didatangi Malaikat  Jibril yang mengatakan : Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan, sedangkan dia tidak mendapat ampunan Allah Subhana wa ta’ala, maka kemungkinan dia akan masuk ke neraka,  semakin jauh dari ( rahmat )  Allah Subhana wa ta’ala.

 Selalu Terdorong Berbuat Kebajikan
            Dalam terminologi Islam, melaksanakan puasa ditinjau dari aspek akidah menunjukkan keimanan yang kuat, dari segi ibadah melaksanakan puasa merupakan bentuk ketaatan kepada  Allah, mencari ridhaNya. Dipandang dari sudut akhlak puasa menghaluskan budi pekerti , menanamkan disiplin waktu, kejujuran, kesabaran, dsb. Dari aspek muamalah menumbuhkan dan meningkatkan kepedulian sosial dengan berinfak, bersedekah, mengeluarkan zakat yang lebih besar pahalanya di bulan Ramadhan.
            Begitu beragamnya manfaat puasa itu, tidak habis untuk dibahas, sebagai siraman rohani bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah puasa.
            Suatu kenyataan di tengah-tengah masyarakat, bila bulan Ramahan tiba, selalu oramg terdorong berbuat berbagai  kebajikan.. Siangnya  berpuasa serta menjaga diri dari memperturutkan hawa nafsu, menjaga diri dari hal-hal  yang membatalkan puasa. Lalu pada malam harinya  beribadah, qiyamullail, mengerjakan sholat Tarawih ,tadarus Al-Quran, dsb dalam ragka untuk mendapatkan maghfirah dari Allah Sebhana wa ta'ala.
            Adakah keuntungan yang lebih besar daripada menerima maghfirah dan diselamatkan dari api neraka. Jawabnya tentu tidak ada, sebab rahmat yang diberikan Allah dalam menerima amal ikhlas kita, dengan balasan surga, justru merupakan dambaan setiap muslim dan mukmin di mana saja ia berada. Nabi  Shalallahu alaihi wassalam bersabda :”Man shoma Ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min  zambihi. Barangsiapa yang melaksanakan puasa karena iman dan ikhlas, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu Dalam hadis lainnya disebutkan “ Wa man qoma Ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min zanbihi”. Dan barangsiapa yang mengerjalan puasa dan sholat Tarawih pada bulan Ramadhan karena iman dan ikhlas, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. ( HR Bukhari-Muslim ).
Dalam hubungan  melaksanakan sholat Tarawih hendaknya dihidupkan semangat toleransi  dalam melaksanakannya. Tak perlu dipertentangkan antara 11 rakaat disertai witir sebagaimana dikerjakan Nabi Shalallahu alaihi wassalam sesuai hadis Aisyah yang diriwayatkan Bukhari Muslim, dengan 23 rakaat sejak zaman khalifah Umar bin Khattab. Bahkan 39 rakaat dizaman  khalifah  Umar bin Abdul Aziz.
Ulama kontemporer Saudi Arabia yang dikenal keras terhadap bid’ah, seperti Muhammad  bin Shaleh Ibnu Utsaimin dalam Al Jawahir Fi Khutabil Manabir menandaskan khilafiah itu tak perlu diperuncing. Maksudnya sikapi sajalah dengan toleransi.  Katanya yang perlu diperhatikan jika jumlah rokaatnya banyak jangan sholatnya dilaksanakan terburu-buru, sehingga tak tentu lagi thomakninahnya. Dan hilang pula makna kesempurnaan shalat itu. Karena itu muliakanlah Allah ketika membacanya serta aplikasikan maknanya dengan amal kebajikan.
Merupakan ibadah sirri.
Berbeda dengan ibadah lainnya seperti sholat, zakat dan haji yang pelaksaannnya zahirnya dapat dilihat oleh manusia, puasa merupakan ibadah “ sirri “, sehingga terjauh  dari  sifat  “riya”. Hanya ia sendiri yang paling tahu benarnya ia berpuasa karena taat kepada Allah Subhana wa ta’ala. Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan   “ Tiap-tiap amal Bani Adam  (manusia) untuknya kecuali puasa. Sebab ia puasa untukKu dan Aku akan memberi pahalanya. Dia tidak makan dan tidak berhubungan dengan isterinya karena menuruti perintahKu. (Hadis diriwayatkan Bukhari-Muslim). Itulah keistimewaan ibadah puasa, seruan bagi orang mukmin guna meraih ketaqwaan kepada Allah, karena  berhasil memerangi hawa nafsu. Meraih ketaqwaan inilah faktor penting yang membedakan puasa seorang   mukmin   dari    puasa   umat-umat   terdahulu    dan    penganut   non    muslim.
Ada yang berpuasa bukan karena Allah, tapi karena pengabdian buat berhalanya, karena takut terhadap kemarahan patung-patung sembahannya, menghormati bulan , bintang, atau berpuasa dengan cara yang berbeda dengan umat Islam. Tak ada kewajiban puasa untuk orang yang sakit, uzur, ketika musafir, perintah puasa itu luwes penuh kemudahan, sesuai dengan  aturan Al-Quran  dan tuntunan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam Ramadhan jangan diartikan sebagai bulan penebus dosa, atau suatu ketaatan  penuh yang hanya bersifat musiman. Sebab ketaqwaan, ketataan kepada Allah yang diperoleh pada bulan suci ini harus membias sepanjang kehidupan kaum muslimin guna memperoleh kebahagiaan di dunia dan  di akhirat.
Di sisi lain, mari kita manfaatkan bulan Ramadhan ini sebagai momentum meningkatkan jalinan silaturahmi antara sesama muslim, misalnya dengan mengadakan kegiatan berbuka puasa bersama, kunjungan dakwah ke pelosok-pelosok daerah sambil mmberikan bantuan kepada kaum dhuafa ,dsb. Sekali lagi  Marhaban Ya Ramadhan. Semoga dengan melaksanakan ibadah puasa keimanan dan ketaqwaan kita meningkat. Amin.***

Oleh :Drs  H.Syariful Mahya Bandar. MAP     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar